Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sarapan untuk Bapak

1 Mei 2020   16:38 Diperbarui: 2 Mei 2020   19:33 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum Bu Surati berangkat kerja, ia sempatkan mampir ke warung bi Inah. Ia ingin minta maaf atas kelakuan Kasrun yang merepotkan. Tapi, seperti biasanya bi Inah hanya menjawab ala kadarnya, lebih tepatnya jawaban basa basi, "Ah sudahlah Bu Surati, Kasrun memang begitu."

Pergilah Bu Surati ke tempat kerjanya. Mulai pagi sampai sore hari. Setiap pulang kerja Bu Surati selalu membawakan bungkusan makanan dari tempatnya bekerja. Harapannya Kasrun mau memakannya dan tidak menghamburkan uang hanya buat beli makan di warung.

Tapi, Kasrun berulah lagi. Sebelum ibunya datang, ia pergi ke warung bi Inah. Padahal, saat itu warung sudah mau tutup. "Bi Inaaaah, aku mau mati, perutku melilit" teriaknya dari kejauhan. Bi Inah yang mendengar itu terkejut seraya menoleh ke arah Kasrun yang berlari-lari kecil menghampiri warungnya. 

"Tolong bi, tolong aku, lapar ini membunuhku" seloroh Kasrun dengan mimik serius. Terpaksa bi Inah menuruti kemauan Kasrun. Dibukanya lagi bungkusan sisa sayur dan termos wadah nasi. Sebagai orang yang kelaparan, Kasrun dengan tangkas menghabiskan semua yang ada di atas piring. Kasrun tak peduli lagi ini lagi bulan puasa. Perutnya memang tak mau kompromi. 

"Run, kamu mbok ya kasihan sama ibumu, setiap hari sudah bawa bekal dari kerjaannya, tapi kok malah nggak kamu makan" bi Inah mencoba menasehati Kasrun.

"Tidak, aku sangat membenci makanan di rumahku, semua makanan di rumahku berbau rumah sakit. Bi Inah tahu kan kalau ibu kerja di dapur rumah sakit?" jelas Kasrun.

"Loh bukannya malah enak dan bersih to Run?" lanjut bi Inah penasaran.

"Nggaaaak, nggak enak, baunya seperti terbakar, menyengat" sanggah Kasrun menggebu. 

Tak terasa bi Inah meneteskan air mata. Ia tahu bahwa Kasrun sedang merindukan bapaknya. Ia masih ingat saat jenazah bapaknya Kasrun datang dan diletakkan di ruang tamu.

Saat itu Kasrun sedang menikmati bungkusan yang dibawakan ibunya dari tempat kerjanya. Sementara ia harus menenangkan tangis Bu Surati yang kehilangan suaminya. Saat itu adalah hari pertama bu Surati masuk kerja di dapur rumah sakit.

Sebenarnya bapaknya Kasrun menganjurkan bi Inah saja yang kerja di rumah sakit, karena punya warung nasi yang tentu sudah pandai memasak. Tapi, saat itu perasaan bi Inah tidak enak "Biarlah Bu Surati saja yang kerja pak, saya sudah cukup kerja di warung sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun