Parahnya lagi Kasrun orang yang tak tahan lapar. Setiap kali puasa tiba hanya beberapa kali saja ia tertib berpuasa. Selebihnya kalau tidak makan di warung bi Inah ia selalu "terpaksa" makan di rumah.
Bu Surati sebenarnya tak setuju jika Kasrun selalu makan di warung. Selain boros juga tak terjamin kebersihannya. Meskipun hidup pas-pasan, Bu Surati tetap menjaga kebersihan untuk urusan makan dan minum.
Pernah pada suatu pagi sebelum warung bi Inah buka, Kasrun sudah menunggui. "Bi Inah, cepetan, saya lapar berat ini" kata Kasrun saat itu.
Bi Inah tentu senang ada pelanggan tetap dan tentu uang yang masuk. Sebab di warung tertulis "Hiroshima hancur karena bom, Warung Bi Inah Hilang karena Hutang. Harap Bayar Kontan."
Ada yang lebih parah, ketika hari pertama puasa kemarin. Saat sahur tiba, Kasrun tidak ada di kamarnya. Bu Surati kelabakan mencari anak satu-satunya itu. "Lha wong ditinggal menghangatkan masakan kok hilang" Bu Surati geram.
Akhirnya malam itu ia habiskan masakan untuk Sahur. Sedangkan Kasrun malah sibuk menggedor pintu bi Inah, ia minta sepiring nasi dengan sayurnya.
"Kamu ini Run, kerjaannya ganggu saya terus. Apa ibumu nggak masak?" keluh bi Inah.
"Sudahlah bi, saya kesini hanya makan, makan dan makan" tukas Kasrun sambil mengunyah kerupuk.
"Ya tapi kalau terus-terusan saya yang rugi, saya juga jualan, butuh duit, butuh ketenangan" omel bi Inah semakin panjang. Kasrun malah asyik menandaskan seluruh makanan. Dijilatinya satu persatu jari tangannya dan meledaklah suara dari kerongkongannya "Hooooooook, aaah". Supaya lekas turun, diminumnya segelas air putih, "Glek...glek...glek....glek...hooooook, ah" dua kali suara sendawa itu menembus gendang telinga bi Inah. Alisnya terangkat dan mulutnya terus ngomel.Â
"Mau diladeni kok ya begitu, kalau nggak diladeni tapi tetangga, aduh serba repot" gumam bi Inah meneruskan memasak untuk jualan di warung.
PAGI HARINYA