Tentu kita semua paham siapa padanan susunan kata yang dimaksud kaul "Dah sana, ambil sepedanya" bukan? Coba bandingkan jika padanan itu diganti misalnya:
Sepeda yang sunyi sepi. Tak ada yang menghampiri.
Hanya mampu mengenang masa lalunya. Sepeda dari seorang Presiden yang gemar menyapa rakyatnya.
Ingin mengayuh sendiri, namun, pedalnya tak berjumpa dengan kaki.
Lebih segar mana penggunaan padanan atau sinonim Presiden dengan Kaul (berkata atau kata). Jelas lebih segar yang pertama bukan? meskipun agak panjang lebar, tapi kita seperti dirupakan menjadi sebuah sepeda yang sahaja. Kita seolah-olah ikut menengguk kesegarannya.
Lalu kesegaran apalagi yang bisa direguk dalam puisi?
Kata orang awam, menulis puisi harus patah hati dulu, harus mendapatkan wangsit (emangnya togel?), harus benar-benar mood dan tak bisa sekali jadi. Jika demikian adanya, maka kita akan meninggalkan puisi untuk selama-lamanya. Bagaimana tidak? untuk membuat es segar saja kita hanya perlu membekukan air dan mengaduknya dengan sirup atau pemanis yang dilarutkan dalam air.
Begitu pula dengan puisi, kita memang butuh mengendapkan pikiran dari sesuatu yang terjadi di sekitar kita.
Kita coba aduk-aduk permasalahan yang terjadi. Penyelesaiannya seperti apa, dan jika kurang cair bisa diberi diksi lain yang membantu. Jika kurang manis bisa di raih dengan makna-makna padanan. Aduk hingga merata dan segera reguk kesegarannya. Segar tidak selalu dingin, segar tidak selalu sedikit manis dan segar tidak selalu banyak air.Â
Terkadang puisi yang singkat dengan seduhan yang tak banyak pemanis dan pewarna justru membuat pembaca serasa "mak jleb". Misalnya kata "TAWA" dapat diganti dengan "CANDA" sehingga bisa menjadi kesegaran berpuisi dengan judul "Candamu adalah candu"
Terakhir, dengan semangat Hari Minggu Paskah, ijinkan saya memohon kepada pihak Kompasiana untuk memikirkan semangat pembaharuan Paskah pada penulisan puisi di rubrik Fiksiana. Beri kesempatan puisi kreatif, unik, asli, segar (KUAS) untuk mendapatkan label Artikel Utama (AU) dan berikan pula kesempatan pada penulis lain yang memiliki potensi KUAS untuk tampil.
Saya yakin banyak penulis puisi di Kompasiana yang kreatif dan entah mengapa mereka jarang mendapat perhatian. Semoga gara-gara puisi mbak Widha Karina ini pula, lahir kreativitas menulis puisi yang dinamis dari beberapa penulis puisi yang kreatif.
SALAM PUISI KUAS