Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengulik puisi "Sepeda di Halaman Basilika" dan harapan puisi "KUAS" (Kreatif, Unik, Asli, dan Segar)

12 April 2020   20:26 Diperbarui: 14 April 2020   12:16 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini telah muncul gaya-gaya penulisan yang kreatif, unik, asli dan segar. Boleh saya katakan Joko Pinurbo penyebabnya. Jika boleh menambahkan lagi M. Aan Mansyur juga menjadi biang keladinya. 

Bahkan ketika sebuah tayangan di kanal youtube, seorang Joko Pinurbo mampu menjawab definisi puisi dari Sapardi Djoko Damono saat diminta membacakan sebuah puisi kreatif, unik, asli dan segar yang berjudul "Kamus Kecil."

Jelas di tayangan itu Sapardi Djoko Damono telah mendapat jawaban bahwa sebenarnya puisi itu permainan bunyi. Sebuah permainan bunyi ini itu. Perkara persepsi dan arti puisi itu sendiri diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Bunyi kata-kata begini begitu itulah akhirnya menjadi indah di dengar, dan itulah sebenarnya puisi.

Bahkan Joko Pinurbo sendiri menyatakan sering menafsirkan puisinya sendiri. "Oh kok bisa gila kayak gitu ya" kata Joko Pinurbo saat itu. 

Kreatifitas sebuah puisi 

Kembali ke rubrik puisi di Kompasiana, nampaknya gaya kreatif, unik, asli, dan segar (KUAS) akan menjadi karya puisi yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Contohnya puisi mbak Widha Karina yang berjudul "Sepeda di Halaman Basilika". Saya cukup terperanjat dan tak menyangka se-kreatif itu menulis puisi.

Saya tidak pula memprotes dengan kata "Wajarlah nongol di Artikel Utama, lha wong yang nulis empunya Kompasiana". Bukan, bukan gara-gara itu. Tapi sekali lagi, saya membaca sebuah gagasan yang berkonsep kreatif, unik, asli, dan segar (KUAS). Itu saja, tak lebih.

Sebab selama ini puisi di Kompasiana selalu identik dengan diksi yang aduhai. Tentang hiperbola yang terlalu muluk. Tentang personifikasi benda mati yang melampui kehidupan itu sendiri. Bahkan temanya selalu diulang-ulang.

Kita semua sudah paham bahwa senja yang jingga selalu mewakili konotasi indah, tapi juga lanjut usia. Kita juga sudah paham bahwa rindu itu selalu menyimpan keinginan bertemu. Pelangi juga masih nampak warna-warni. Kesunyian menjadi raja di setiap diksi puisi.

Adakah kompasiana meng-asimilasi puisi-puisi kreatif, unik, asli dan segar untuk segera bebas dari belenggu? Seperti tahanan-tahanan yang diungkap di puisi mbak Widha Karina? bahwa "Ia keluar penjara atas perintah Jasonna. Kampungnya lengang, dompetnya lebih-lebih".

Secuil kata dan bunyi yang menurut saya kreatif. Puisi ini keluar dan menjebol dinding "ejaan" puisi lawas yang selalu bermain-main dengan diksi mendayu aduhai atau puisi yang mencari aman, yaitu mengandalkan "RIMA" sebagai akhiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun