Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengulik puisi "Sepeda di Halaman Basilika" dan harapan puisi "KUAS" (Kreatif, Unik, Asli, dan Segar)

12 April 2020   20:26 Diperbarui: 14 April 2020   12:16 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain Kompasianer, ternyata admin alias pengurus Kompasiana juga menulis lo? keren kan? mereka juga tak sekedar menampung ribuan tulisan per bulan dan memeriksa tulisan yang masuk hanya kisaran 2 menitan - demikian ulas Mbak Widha Karina saat blogshop A to Z Kompasiana kemarin (09/04).

Karena sudah terlanjur mengetik nama mbak Widha Karina, maka ijinkan saya untuk mengupas sedikit tentang karya Puisinya yang pada Minggu, 12 April 2020 ini tayang di Artikel Utama, resmi sekali, pakai ijin segala :).

Minggu pagi ini saya dikejutkan dengan tulisan Puisi berjudul "Sepeda di Halaman Basilika" karya Widha Karina. Puisi unik sarat makna ini selain membuat saya tercengang juga menjadi bahagia. Mengapa bahagia?  

Jadi begini awalnya. Saya mulai mendaftar di Kompasiana sejak 5 Maret 2013, namun baru sekitar 8 Maret 2019 lalu aktif menulis di Kompasiana. Materi yang saya unggah adalah puisi. Sebuah puisi berjudul "Perempuan Gerbong" yang mengisahkan tentang modernitas per-keretaapian di Indonesia, sehingga cerita perempuan pengais sampah tak lagi ada di Stasiun sebagaimana beberapa tahun silam.

Saya terus menulis puisi dan baru mendapat label Artikel Utama (AU) untuk pertama kalinya pada tanggal 20 Mei 2019 dengan puisi berjudul "Bapak Tua Demam."

Saat mendapat label Artikel Utama untuk pertama kalinya, saya masih belum percaya. Puisi yang saya tulis sebelum mengikuti upacara Harkitnas itu ternyata mampu menarik perhatian Admin Kompasiana - kusebut Admin saja ya, maaf Kompasiana nggak ada emoji :).

Sengaja saya menulis puisi dengan muatan sosial dan unik. Bukannya saya tidak suka puisi yang romantis, diksi yang mendayu-dayu, tapi saya ingin memberikan gambaran dari hasil membaca karya penyair lain. Sejatinya menulis puisi itu sangatlah luas.

Kita bisa mengeksplorasi berbagai hal yang ada di sekitar kita. Utamanya tema-tema sosial, lingkungan, ekonomi, politik dan kejadian-kejadian terkini sekalipun.

Puisi tak hanya memunguti diksi lalu dirangkai secara apik dan dirangkai dengan cantik, sehingga ketika dibaca dan diiringi musik membuat kita berimajinasi dengan berbagai persepsi. Puisi-puisi saat ini masih didominasi oleh model puisi yang belum berani keluar dari batas ketentuan sebuah puisi. Kreatifitas menjadi terpasung. Selalu membosankan juga tidak unik.

Seringkali puisi juga hanya tambal sulam dari puisi yang ada sebelumnya dan yang menyedihkan orang tak mendapatkan kesegaran dalam membaca puisi. "Ah paling-paling puisi ya seperti itu" kata orang awam saat disodori karya puisi.  

Perkembangan Puisi saat ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun