Tak ada pilihan hidup di dunia ini selain menjalani dan terus berusaha. Tak perlu disesali atau bahkan mengakhiri hidup dengan berbagai alasan. Seperti Yati, perempuan berkulit coklat yang lahir dari seorang pembantu rumah tangga dan bapaknya sebagai kuli bangunan.Â
Yati tak pernah menuntut mengapa ia dilahirkan oleh Suratmi, seorang mantan pesinden yang telah lama tidak manggung karena ki dalang Wasis meninggal dunia. Sehingga tak ada penerusnya dan mendadak berhenti begitu saja. Hal ini berpengaruh pada rejeki Suratmi, tiba-tiba saja ia seperti dicekik, digorok, dan dibungkam. Seluruh aliran rejeki seperti tersumbat berbulan-bulan.
Tapi untunglah ada Karman, sang suami yang setia mencarikan pekerjaan serabutan untuk istrinya itu. Meskipun sekedar pembantu rumah tangga paruh waktu, tapi lumayan ada pemasukan. "Ya mau gimana lagi, daripada bengong di rumah mas, mending kerja serabutan, yang penting dapat uang" jelas Karman ketika diinterogasi oleh calon juragan istrinya.
"Jadi kerja apa saja mau ya pak, ya cuci, ngepel, nyapu, cuci piring, gitu ya pak?" tanya calon juragan. Percakapan singkat itu hanya berbuah kesepakatan bahwa sekali datang Suratmi akan bekerja mulai jam enam pagi hingga jam tiga sore. "Lima puluh ribu sehari mau ya pak" tegas calon juragan. Karman sebenarnya berat mengiyakan upah yang akan diterima istrinya, mengingat Yati semakin besar, dan tentu harus ditinggal seharian di rumah. Namun, jika ditolak, sudah pasti seisi rumah akan kesulitan bertahan. Pilihannya hanya puasa atau mencium bau masakan tetangga.
Bagi Karman dan Suratmi hidup terbatas sudah terbiasa, tapi bagaimana dengan Yati buah hati satu-satunya? masak harus ikut-ikutan menanggung kemiskinan orang tuanya? "Ah, biar kita saja bu yang puasa, kalau Yati jangan, aku nggak tega" bisik Karman pada suatu sore.Â
Maka, ketika calon juragan itu sudah menawarkan upah lima puluh ribu rupiah per hari, Karman dengan terpaksa menganggukkan kepala tanda sepakat. "Besok pagi kasih tahu istrimu, jam enam pagi harus sudah tiba disini, cuci piring dulu, menyapu terus mengepel lantai" tukas calon juragan mengakhiri kesepakatan kerja.
------- **** ------
Suratmi menjalani pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga paruh waktu. Juragannya seorang keturunan asing yang bekerja di perwakilan perusahaan asing pula. Rumah mewah yang ditempati juragannya seperti kuburan di pagi hingga sore hari. Bagaimana tidak, rumah besar dengan tiga kamar itu hanya ditempati seorang diri oleh lelaki yang belum berumah tangga. Padahal usianya sudah 35 tahun, sebuah usia yang matang kalau di Indonesia.
Untuk mengusir sepi, kadangkala Suratmi mengajak Yati ikut bekerja di siang hari. Sekalian mengajari anaknya untuk mengetahui bagaimana susahnya mencari uang. Mengajari tidak manja, dan tentunya mumpung juragan tidak ada di rumah. Namun Yati hanya membantu ibunya saat sepulang dari sekolah. Sekitar jam dua siang hingga jam tiga sore.
Seperti hari ini, Yati ikut membantu mengangkat jemuran sekaligus menyetrika. Tak sadar menjelang jam empat sore saat juragan datang Yati masih sibuk menyeterika. Suratmi sebagai ibunya juga lupa untuk menyuruh Yati pulang.Â
Akhirnya juragan benar-benar datang. Suratmi kebingungan, antara segera berlari membuka pagar atau memberitahu Yati untuk pulang. "Aduh gimana bu, kepalang basah, ya sudah nanti Yati mengaku saja membantu ibu." Akhirnya Suratmi bergegas menuju pagar dan segera membukakan pagar agar mobil juragan segera masuk garasi.
"Loh, ini tas siapa bu, kok ditaruh di teras" tanya juragan kepada Suratmi. Mendengar tanya yang mengejutkan itu Suratmi mengaku dan menjelaskan keberadaan anaknya, Yati. Juragan penasaran dan ingin tahu dimana Yati.Â
Maka, Suratmi mengenalkan Yati kepada juragannya. Sebenarnya saat itu jantung Suratmi dag dig dug, takut kalau juragannya emosi mengajak anaknya ikut bekerja. Ternyata diluar dugaan juragannya malah tertarik dengan Yati. Diajak ngobrol santai di meja makan dan bahkan ditawari pekerjaan jika lulus sekolah SMA nanti. Selanjutnya Suratmi sering ditemani oleh Yati. Juragan juga semakin akrab dengan Yati.
------- **** ------
Yati telah lulus dari SMA, sesuai dengan apa yang pernah dijanjikan oleh juragan, maka Suratmi memberanikan diri menagih pekerjaan yang pernah ditawarkan juragan kepada Yati. Juragan pun tersenyum menganggukkan kepala.Â
"Jangan khawatir, tenang bu Ratmi, sebentar lagi kawan saya dari luar kota akan datang, ibu siapkan saja pakaian Yati" papar juragan. "Haaa? Masak sekarang juragan? Apa tidak besok saja, saya belum cerita ke Yati" Suratmi merasa bahagia sekaligus terkejut dengan persetujuan juragan yang mendadak itu. "Ok, besok jam sembilan, Yati sudah siap di rumah ini" pungkas juragan seraya menghisap kretek dalam-dalam.
Sebelum jam sembilan pagi, Yati sudah duduk menunggu berita dari juragan. Ibunya sibuk mengerjakan tugas seperti biasa. Juragan masih di dalam kamar, suaranya sedang menelepon kawannya terdengar hingga ke telinga Yati.Â
Antara bahagia, cemas dan berbagai perasaan campuraduk dirasakan Yati. Juragan tidak menceritakan dirinya akan bekerja apa dan dimana. Saat ibunya didesak pertanyaan juga tak memberi jawaban yang memuaskan. Sedangkan bapaknya percaya apa kata istrinya. "Ya sudahlah, aku pasrah, apapun pekerjaannya akan kujalani" batin Yati sembari menggigit ujung kuku jarinya.
------- **** ------
Yati telah tiba di kota yang tak pernah dikunjungi sebelumnya. Wajahnya pucat kelelahan setelah empat jam naik pesawat terbang. Bersama seorang keturunan asing ia tinggal di rumah mewah, seperti rumah juragan ibunya. Namun yang aneh adalah, rumah mewah itu berisi banyak lelaki-lelaki melambai atau bergaya flamboyan. Mereka sibuk melihat-lihat album foto dan saling bercanda tanpa mempedulikan Yati yang baru tiba. Yati semakin terperanjat lagi saat berjalan ke belakang rumah, sebab ada sebuah kamar yang berisi beberapa bayi yang tertidur di ranjang bayi.
"Rumah macam apa ini? aku semakin gelisah, hatiku tidak enak" pikir Yati. Saat berjalan dan memikirkan kondisi yang dilihatnya itulah tiba-tiba seseorang telah menyeretnya dengan paksa dari belakang. Tubuhnya yang letih dibekap sebuah lengan lelaki yang kuat. Hidungnya dibius dengan saputangan. Ia tak sadarkan diri.
Saat siuman Yati merasakan pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Ia merasakan ada yang ganjil dengan kondisinya. Ia merasakan sakit di kemaluannya. Kakinya seperti sulit digerakkan. Air matanya meleleh menghujami pipi. Dunia seperti kiamat. Jiwanya terguncang hebat. Namun sia-sia saja ia meronta, sebab sebuah tali dari kulit telah mengikat kedua kakinya, sehingga tak bisa bergerak leluasa. Hanya ikatan di lengannya saja yang agak longgar, tetapi itupun juga gagal melepas ikatan. Hari itu Yati menangis sejadi-jadinya.
Esok hari seorang perempuan mendekati kemurungan Yati diatas ranjang yang masih menampakkan ikatan di kaki dan lengannya. Perempuan itu mencoba menenangkan Yati. Memeluknya dan memberikan rasa nyaman kepada Yati.Â
Lama sekali perempuan itu melepaskan duka yang menjerat Yati. Sampai akhirnya Yati meletakkan semua kejadian tragis yang dialaminya pada kehidupan seperti biasa. Sebab ada calon jabang bayi yang dikandungnya. Selama sembilan bulan lamanya dokter kandungan memantau perkembangan bayi yang dikandung Yati. Semuanya terjadi di dalam rumah mewah itu. Rumah terkutuk yang harus diterima Yati sampai bayi yang dikandungnya lahir.
------- **** ------
"Arrrrghhh"
"Ibuuuuuu"
"Arrrrghhh"
"Ibuuuuuu"
Dua teriakan yang sempat terucap Yati saat melahirkan bayi yang dikandungnya. Tiga orang yang mendampingi persalinan Yati nampak serius menangani bayi yang lahir tersebut. Mereka berpakaian layaknya dokter kandungan, dokter anestesi dan perawat yang membantu persalinan. Sehingga pada pagi itu Yati telah menjadi seorang ibu. Bayi mungil berkelamin laki-laki telah diahirkan Yati secara normal.
"Oeeeek, oeeeeek, oeeeeekk."
Bayi itu terus menangis. Yati hanya memandang bayinya dengan sisa-sisa letihnya serta keringat di sekujur wajahnya. Tubuhnya sangat lemas. Selangkangannya sakit. Lalu terpejamlah matanya. "Biarkan ia sitirahat dulu" kata seorang yang berpakaian ala dokter. Bayi itu dibersihkan oleh perawat dan diserahkan kepada seorang perempuan tua yang sudah menunggu di sebuah ruangan. Disamping perempuan tua itu terdapat dua orang lelaki yang nampak bahagia.
"Sayang, lihat, anak kita lahir. Kau akan jadi nenek bu, kau akan jadi nenek sekarang. Kita harus segera membayar bayi ini. Kita buktikan bahwa rumah ini adalah rumah terindah bagi gay yang sudah menikah" kata lelaki yang flamboyan itu kepada pasangannya yang juga lelaki.
Hidup tak bisa memilih dari siapa ia dilahirkan, Yati tak pernah menyesali hal itu. Tapi, Yati sangat sakit, hancur jiwanya saat bayi yang dilahirkan telah dipilih oleh orang lain. Apalagi orang itu adalah pasangan gay yang ingin memberikan cucu kepada ibunya, seorang perempuan tua dengan duka lebih dalam, karena anak lelakinya menjadi gay.
Â
MALANG, 4 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H