Saat aku masih duduk di bangku Sekolah dasar, tak kuingat tentang apa saja yang dilakukan bapak ibu. Setiap subuh bapak menggoyang-goyang tubuhku supaya segera bangun tidur. Begitu pula ketika sholat subuh, aku hanya mengingat saat itu terasa kantuk yang sangat berat. Kata ibu aku disuruh melihat yang hijau-hijau, misalnya daun-daun di pohon. "Mana bisa bu, ini kan masih gelap?" protesku saat itu. Makanya ibu selalu membasuh mukaku berulangkali, tapi tetap saja, mataku masih mengantuk dan akhirnya aku tertidur lagi di kamar.
Tingkah laku bapak dan ibu baru kuingat ketika untuk pertama kalinya aku minta uang SPP Sekolah. Saat itu sekitar tahun 1990-an, besarnya sekitar Rp 10.000. Memang aku tidak langsung minta kepada bapak, aku selalu minta uang SPP kepada ibu. Kata orang anak lelaki cenderung lebih dekat dengan ibunya. Apalagi ibuku juga selalu ada waktu lebih jika dibanding bapak yang baru pulang kerja sore jam 3.
Tiap pagi bapak berangkat kerja bersamaan denganku. Hanya bedanya bapak ke arah utara, karena kantornya memang ada di pinggiran kota. Sedangkan aku ke arah selatan, sebuah sekolah SMP favorit yang membanggakan. Bisa sekolah di negeri dan sekolah favorit adalah keuntungan besar kala itu. Selain biayanya murah, teman-temanku memiliki kemampuan rata-rata yang lebih bagus. Hal inilah yang membuatku menjadi terbiasa belajar dan berpikir cerdas. Pada masa itu kalau sekolah di swasta berarti konotasinya adalah kurang pandai dan tentu biaya lebih mahal.
Masih kuingat saat pertama kali aku masuk SMP dan membawa kartu SPP sekolah. Saat itu aku hanya memahami apa yang disampaikan guru kelas bahwa SPP ini nanti harus dibayar setiap bulan, sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Gunanya SPP itu untuk apa aku tak begitu memahaminya, sebab saat duduk di bangku sekolah dasar aku tak menjumpainya. Mungkin saja saat sekolah dasar ada semacam SPP yang nilainya kecil dan sudah diurus oleh bapak saat pembagian raport.
Saat kusodori kartu SPP ibu hanya membaca sekilas dan mengecilkan kedua matanya. Lalu berbalik badan dan menyerahkan kepada bapak. Aku tak paham apa yang dilakukan kedua orang tuaku saat itu. Mereka berbicara, tapi sangat lirih, hanya terdengar desas-desus kalimat tertentu. Selanjutnya sunyi kembali mendiami ruang tamu tempat aku bersantai maupun belajar di malam hari.
Sebuah rumah kecil yang hanya dihuni tiga orang saja. Sehingga kemana-mana mudah bertemu dan mudah mengenali perubahan. "Kenapa harus bicara lirih? apa yang mereka bisik-bisikkan itu ya?" seperti itulah aku mengamati orang tuaku.
Pernah suatu awal bulan, ibu kusodori kartu SPP sekolah dan surat edaran dari sekolah, intinya setiap siswa diharapkan menyumbang uang untuk latihan berkurban, yaitu membeli sejumlah kambing yang akan disembelih saat hari raya Idul Adha. Mendadak raut wajah ibu seperti gusar, lalu dengan nada lirih ibu memintaku untuk segera pergi ke ruang tamu, tempat favorit di rumahku.
Sebab di ruang tamu sempit itu hanya tersedia dua kursi tamu kecil serta satu kursi besar sebagai tuan rumah. Aku biasa menghabiskan waktuku di kursi besar itu. Orang menyebutnya sofa, tapi menurutku itu hanya kursi tamu biasa saja, sebab selain model lama, warna kovernya juga sudah kusam. Jika dibuat tiduran selain bau keringatku juga sudah tidak empuk. Selain itu di ruang tamu juga ada televisi yang teronggok diatas buffet kecil dengan rak di kanan dan kiri. Pada rak itulah buku sekolahku tersimpan.
Sekali lagi aku penasaran mendengar percakapan tentang uang kurban, semakin lama, semakin mengecil dan kembali sunyi. "Anton, coba sini sebentar, bapak mau bicara," tiba-tiba ibu memanggilku, kupikir kenapa tidak bapak saja yang harus memanggil? mengapa harus melalui ibu?. Ah, sudahlah, aku segera menjawab panggilan ibu toh aku juga selalu ke ibu kalau ada perlu dengan bapak. "Ya bu sebentar" balasku seraya mendekati kamar bapak ibuku yang pintunya terbuka.
Terlihat bapak sudah duduk di pinggir ranjang bersama ibu. Perlahan aku memasuki sebuah kamar yang sedikit gelap, sebab hanya ada satu jendela menghadap ke teras. Aku pun mengambil posisi duduk berhadapan dengan mereka. "Ton, coba besok tanyakan ke gurumu ya, apakah boleh membayar uang kurban setelah tanggal 15 Mei." Aku tak mengerti mengapa bapak berbicara seperti itu, yang penting aku besok ke guru kelas, dan menyampaikan maksud bapak. "Ya pak" jawabku singkat sambil menganggukkan kepala.
 Keesokan hari, saat guruku mendengar apa yang kusampaikan permintaan bapak terlihat wajah dengan senyum masam. Aku tahu betul guruku ini jika tersenyum selalu enak dipandang. Melegakan sekaligus menggugah semangat. Tapi, kali ini ada suatu yang lain, senyum yang tak pernah kulihat padanya. "Sampaikan pada orang tuamu ya Ton, sebisa mungkin tanggal 15 Mei sudah lunas, sebab segera kita belanjakan kambing di pinggiran kota." Aku hanya mengiyakan saja, dan seperti biasanya kusampaikan pesan guru melalui ibu, tidak langsung ke bapak. Entahlah, mengapa demikian.
Sejak kejadian yang berkaitan dengan hal-hal membayar atau menyerahkan uang, nampak sekali ada perubahan wajah pada ibuku. Sebentar kemudian pembicaraan mereka menjadi lirih, berbisik-bisik. Bahkan, kadangkala ibu dan bapak berbicara menggunakan bahasa yang tak kupahami. "Sebenarnya mereka bicara apa sih, mengapa selalu begitu saat aku minta uang untuk sekolah."
Mengapa tidak biasa saja seperti saat membahas nasi dan sayur lodeh ikan pindang. Bapak juga begitu, mengapa saat bicara tentang kejadian-kejadian lucu di kantor maka suara mereka justru lebih fasih kudengar, apalagi saat tertawa lepas, sampai mereka bergantian saling mencubit. Ah, aneh saja menurutku.
Semakin dewasa aku masih menyimpan misteri tentang bapak dan ibuku yang selalu berbicara lirih saat kuminta uang untuk keperluan sekolah. Bahkan keanehan lain yang kurasakan saat kuliah adalah tidak diperbolehkannya mengikuti organisasi yang terlarang. "Aduh, apalagi ini ya? Memang ada organisasi terlarang di kampus?" batinku selalu dipenuhi gejolak dan tanda tanya.
Jika bapak saya tanya alasan tentang organisasi terlarang, maka jawabannya selalu diulang-ulang, dan itu-itu saja. "Bapakmu itu PNS, kalau kamu ikut demo, ikut organisasi terlarang, bapak bisa dipecat, terus kamu tidak bisa melanjutkan kuliah."
Suatu waktu, bapak masuk ke kamarku, disana tergantung sebuah jas merah. Bapak langsung meraih jas merah itu dan melipat lalu disembunyikan di lemarinya. Mengetahui hal itu ibu seperti ketakutan. Ibu tak berani berkata apapun. Keduanya seperti terlibat pertengkaran yang sengit. Bapak sampai menggebrak meja. Menganggap selama ini ibu tidak bisa mengawasiku.
Aku terbangun dan mencuri dengar apa yang mereka perdebatkan. "Anton, bangun kau, sini cepat!" panggil bapak dengan nada tinggi. "Ya pak" jawabku sedikit gugup. "Ton, kau ini bagaimana sih, bapak pernah bilang, jangan macam-macam dengan organisasi terlarang, gaji bapakmu itu pas-pasan, bapakmu itu PNS biasa, apa kau mau kalau bapak dipecat sekarang ha? ayo jawab!." Kali ini bapak benar-benar marah. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Gara-gara jas merah itu, aku seperti anak durhaka.
"Bapak sudah susah payah bekerja, kepala dipakai kaki, kaki dibuat kepala, kamu terus bayar ini, bayar itu, minta ini, minta itu, memangnya semua itu nggak pakai uang apa?" cerocos bapak terus menerus di kupingku. Posisiku yang terhakimi jelas tak bisa meminta bantuan kepada ibu, selain sesenggukkan, ibu tak berbicara sepatah katapun. Matanya hanya memandangku dengan kekecewaan. Gelap kamar justru menambah aroma "penyidikan" menjadi keramat. Aku tak punya pilihan lain selain memohon maaf, dan segera membuang jas merah itu dari rumah.
                                                              -----****-----
Sepuluh tahun berlalu, aku mulai menata keluarga kecilku. Bapak dan ibu tetap tinggal di sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur, sedangkan aku dan keluargaku harus tinggal di kota besar, tempat dimana terakhir kalinya aku lulus kuliah. Seperti menjadi tradisi model urbanisasi modern, yaitu kuliah, dan mendapatkan pekerjaan di kota yang sama. Istriku seorang perempuan taat sekaligus aktif dalam berorganisasi. Maka, tak heran jika ia keturunan dari seorang politikus dari partai yang berbasis keagamaan.
Ini menjadi warna baru dalam kehidupanku. Sebab keluargaku cenderung mendukung sebuah partai yang lekat dengan PNS, sedangkan jiwaku selalu termotivasi oleh wiraswasta. Hal inilah yang mempertemukan aku dengan warna-warna kontra dalam keluarga. Keluarga dominan menyukai warna kuning, sedangkan aku tertarik dengan warna merah. Pada saat berkeluarga, istriku terbiasa oleh warna hijau.
Tapi bukan warna-warna politik itu yang menjadikan aku besar bersama perkembangan kota. Tetapi adalah tingkah laku orang tua yang tak mau menampakkan kesusahan di mataku. Kini, aku semakin mengerti mengapa bapak selalu berbisik pada ibu saat aku minta uang untuk sekolah hingga lanjut kuliah. Sebenarnya mereka saat itu sangatlah pas-pasan.
Gaji minim tapi ingin anaknya sekolah hingga perguruan tinggi. Hidup dengan segala keterbatasan dan "dibatasi" menjadikan bapakku senantiasa waspada. Kondisi pemerintahan saat itu selain dibatasi juga diawasi. Hal ini membuat bapak harus berhati-hati. Bapakku sangat paham dan menjaga "doktrin" yang diterima sebagai PNS. Ada rahasia yang mereka simpan agar aku tak mengetahui doktrin itu hingga dewasa.
Ketika kondisi sudah berubah, rezim telah berganti, maka saat itu pula bapakku telah melewati masa-masa "keterbatasan dan pengawasan" dengan selamat. Terbatas gajinya, terbatas pilihan politiknya, diawasi penerapan "doktrin" sebagai PNS dan terpaksa harus menyimpan sesuatu agar kewibawaan orang tua terjaga.
Kini, setelah aku berkeluarga, anakku sudah sekolah dan mulai membayar sejumlah uang untuk berbagai keperluan sekolah, maka aku pun menyimpan rahasia untuk kemandirian dan kewibawaan dimata anakku. Bahwa jangan mengeluh di depan anak-anak, sebab mereka harus kuat dalam segala kondisi dan perubahan.
MALANG, 2 FEBRUARI 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H