Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pembicaraan Lirih Orangtuaku

2 Februari 2020   10:17 Diperbarui: 2 Februari 2020   17:10 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: johnstuartcurry.files.wordpress.com

Sejak kejadian yang berkaitan dengan hal-hal membayar atau menyerahkan uang, nampak sekali ada perubahan wajah pada ibuku. Sebentar kemudian pembicaraan mereka menjadi lirih, berbisik-bisik. Bahkan, kadangkala ibu dan bapak berbicara menggunakan bahasa yang tak kupahami. "Sebenarnya mereka bicara apa sih, mengapa selalu begitu saat aku minta uang untuk sekolah."

Mengapa tidak biasa saja seperti saat membahas nasi dan sayur lodeh ikan pindang. Bapak juga begitu, mengapa saat bicara tentang kejadian-kejadian lucu di kantor maka suara mereka justru lebih fasih kudengar, apalagi saat tertawa lepas, sampai mereka bergantian saling mencubit. Ah, aneh saja menurutku.

Semakin dewasa aku masih menyimpan misteri tentang bapak dan ibuku yang selalu berbicara lirih saat kuminta uang untuk keperluan sekolah. Bahkan keanehan lain yang kurasakan saat kuliah adalah tidak diperbolehkannya mengikuti organisasi yang terlarang. "Aduh, apalagi ini ya? Memang ada organisasi terlarang di kampus?" batinku selalu dipenuhi gejolak dan tanda tanya.

Jika bapak saya tanya alasan tentang organisasi terlarang, maka jawabannya selalu diulang-ulang, dan itu-itu saja. "Bapakmu itu PNS, kalau kamu ikut demo, ikut organisasi terlarang, bapak bisa dipecat, terus kamu tidak bisa melanjutkan kuliah."

Suatu waktu, bapak masuk ke kamarku, disana tergantung sebuah jas merah. Bapak langsung meraih jas merah itu dan melipat lalu disembunyikan di lemarinya. Mengetahui hal itu ibu seperti ketakutan. Ibu tak berani berkata apapun. Keduanya seperti terlibat pertengkaran yang sengit. Bapak sampai menggebrak meja. Menganggap selama ini ibu tidak bisa mengawasiku.

Aku terbangun dan mencuri dengar apa yang mereka perdebatkan. "Anton, bangun kau, sini cepat!" panggil bapak dengan nada tinggi. "Ya pak" jawabku sedikit gugup. "Ton, kau ini bagaimana sih, bapak pernah bilang, jangan macam-macam dengan organisasi terlarang, gaji bapakmu itu pas-pasan, bapakmu itu PNS biasa, apa kau mau kalau bapak dipecat sekarang ha? ayo jawab!." Kali ini bapak benar-benar marah. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Gara-gara jas merah itu, aku seperti anak durhaka.

"Bapak sudah susah payah bekerja, kepala dipakai kaki, kaki dibuat kepala, kamu terus bayar ini, bayar itu, minta ini, minta itu, memangnya semua itu nggak pakai uang apa?" cerocos bapak terus menerus di kupingku. Posisiku yang terhakimi jelas tak bisa meminta bantuan kepada ibu, selain sesenggukkan, ibu tak berbicara sepatah katapun. Matanya hanya memandangku dengan kekecewaan. Gelap kamar justru menambah aroma "penyidikan" menjadi keramat. Aku tak punya pilihan lain selain memohon maaf, dan segera membuang jas merah itu dari rumah.

                                                                                                                           -----****-----

Sepuluh tahun berlalu, aku mulai menata keluarga kecilku. Bapak dan ibu tetap tinggal di sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur, sedangkan aku dan keluargaku harus tinggal di kota besar, tempat dimana terakhir kalinya aku lulus kuliah. Seperti menjadi tradisi model urbanisasi modern, yaitu kuliah, dan mendapatkan pekerjaan di kota yang sama. Istriku seorang perempuan taat sekaligus aktif dalam berorganisasi. Maka, tak heran jika ia keturunan dari seorang politikus dari partai yang berbasis keagamaan.

Ini menjadi warna baru dalam kehidupanku. Sebab keluargaku cenderung mendukung sebuah partai yang lekat dengan PNS, sedangkan jiwaku selalu termotivasi oleh wiraswasta. Hal inilah yang mempertemukan aku dengan warna-warna kontra dalam keluarga. Keluarga dominan menyukai warna kuning, sedangkan aku tertarik dengan warna merah. Pada saat berkeluarga, istriku terbiasa oleh warna hijau.

Tapi bukan warna-warna politik itu yang menjadikan aku besar bersama perkembangan kota. Tetapi adalah tingkah laku orang tua yang tak mau menampakkan kesusahan di mataku. Kini, aku semakin mengerti mengapa bapak selalu berbisik pada ibu saat aku minta uang untuk sekolah hingga lanjut kuliah. Sebenarnya mereka saat itu sangatlah pas-pasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun