Jika berkesempatan pelesiran dan mengunjungi satu tempat, biasanya yang akan saya cari adalah di mana titik tertinggi di kota itu, yang dapat saya datangi demi melihat panorama kota dari ketinggian.
Untuk yang kontur kotanya memang memiliki perbukitan sih lebih mudah ya. Kayak terakhir saya main ke Minahasa, modal mendatangi Puncak Kimuwu, pesan satu cangkir kopi dan sedikit camilan, sudah bisa melihat panorama kota. Atau, kalau main ke Tidore, tinggal datang saja ke Benteng Tahula, gratis, panorama bentang pantai pun langsung dilihat dengan mudah.
Nah, jika yang kotanya tergolong flat kayak di Palembang gimana? Jelas butuh bangunan tinggi jika mau berkesempatan melihat langsung panorama melalui mata kepala telanjang. Ya, sebagian yang punya peralatan canggih kayak drone sih bisa juga, tapi tetap beda dong kalau kitanya bisa berada langsung di tempat ketinggian itu dan memandang langsung suasana kota dari ketinggian.
Jakarta yang bisa dibilang juga flat, beruntung punya Monas. Pengunjung pun dengan leluasa bisa naik ke puncaknya dengan membayar tiket masuk. Saya pernah naik ke Monas dan betapa kagumnya dapat melihat kota Jakarta berputar 360 derajat. Selain itu, Jakarta sih banyak gedung bertingkat lainnya ya, jadi ada banyak kesempatan orang untuk melihat Jakarta dari ketinggian.
Palembang Juga Punya Gedung Tinggi
Ya, namanya juga kota besar, pasti ada gedung tingginya. Beberapa hotel di Palembang punya gedung tinggi yang memungkinkan pengunjung untuk melihat kota Palembang dari ketinggian. Namun, ada permasalahan tersendiri. Pertama, hotel ini berada nggak di pusat kota banget. Jembatan Ampera pun hanya kelihatan seupil dari sana. Kedua, namanya juga hotel, jelas gak sembarangan orang bisa masuk.
Hanya pengunjung yang menginap di sana, atau yang menggunakan fasilitas di sana (ntah berenang/makan di restonya) yang dapat leluasa keluar masuk. Biaya untuk menggunakan fasilitas ini pun jelas gak murah.
"Apa nggak ada gedung tinggi di sekitaran Jembatan Ampera dan Sungai Musi?"
Oh ada. Pertama, gedung Pasar 16 Ilir. Walau nggak tinggi-tinggi banget, tapi lumayan kalau mau lihat Jembatan Amprea. Sebelum ini, sempat marak dengan hadirnya beberapa kafe sehingga pengunjung dapat menikmati panorama sambil bersantai di sana. Sayangnya, sejak bangunan ini direnovasi, lantai atasnya ditutup seng sehingga pengunjung tidak dapat lagi menikmati pemandangan dari atas.
Bangunan kedua, adalah Monpera. Ini Monumen Perjuangan Rakyat yang dialihfungsikan menjadi museum dan letaknya tak jauh dari Ampera. Jika ke bagian atapnya, maka pengunjung dapat melihat Palembang dari ketinggian. Sayangnya, museum ini jam bukanya terbatas. Hanya sampai sore dan juga bagian atap itu tidak didesain untuk sepenuhnya menikmati panorama. Ada pagar tinggi yang "mengganggu" pemandangan walau saya paham tujuannya untuk keamanan.
Bangunan tinggi lainnya adalah Menara Ledeng yang sekarang dialihfungsikan sebagai Kantor Walikota. Lalu ada pula minaret Masjid Agung, tapi kedua bangunan ini aksesnya tertutup untuk umum. Sehingga, tidak ada lagi opsi masyarakat yang ingin menikmati Palembang dengan cara yang berbeda.
Andai Ada Bianglala di Pinggiran Musi
Saya kebetulan pernah berkesempatan mendatang tiga kota besar London, Singapura dan Bangkok yang secara karakteristik nggak jauh beda dengan Palembang. Apalagi London dan Bangkok di mana kedua kota ini sama-sama dibelah oleh sungai besar sehingga ya, kotanya flat dan nggak ada kawasan ketinggian yang masif.
Asyiknya, sebagai ibukota, banyak sekali bangunan tinggi di sana bak kota Jakarta. Ada banyak opsi untuk melihat pemandangan dari ketinggian. Walau sebagian besar gedung dengan akses terbatas (karena merupakan kantor atau hotel), tapi ketiga kota ini punya bianglala yang dapat diakses oleh masyarakat umum karena ditujukan emang untuk kepentingan wisata.
Nggak jauh dari Big Ben ada London Eye. Di sekitaran Asiatique Bangkok ada Asiatique Sky. Di Singapura pun ada Singapore Flyer yang memungkinkan wisatawan diajak untuk melihat pemandangan kota dari ketinggian.
Sebetulnya, saya pribadi pernah beberapa kali dengar desas-desus di pinggiran Musi akan dibangun hotel bertingkat atau juga dibangun bianglala. Tapi sampai detik ini belum tampak realisasinya.
Saat perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, saya sempat menyaksikan adanya bianglala di sana. Sayangnya, itu letaknya jauh dari pusat kota dan sifatnya musiman. Baru-baru ini di salah satu komplek perumahan dibangun juga bianglala berukuran besar, tapi letaknya jauh banget dari sungai musi.
Jadi, sampai sekarang belom ada opsi untuk masyarakat dapat menikmati ketinggian di kota Palembang, hingga baru-baru ini, Jembatan Ampera direnovasi dan bagian atas menaranya direncanakan akan dibuka untuk umum....
Renovasi yang Menuai Kontroversi
Kabar mengembirakan saya dengar 2 tahun lalu saat ada rencana untuk renovasi Jembatan Ampera. Jembatan kini berusia 59 tahun ini menjadi saksi sejarah dan sudah beberapa kali dilakukan renovasi. Namun, setahu saya hanya sebatas pengecatan ulang, pemasangan jam besar, setting lampu, atau pemasangan dan pelepasan baliho raksasa (mungkin ada yang masih ingat, sekitar 20 tahun lalu ada baliho raksasa di bagian tengahnya? Ehem).
Berikut video suasana menara Jembatan Ampera sebelum direnovasi.
Namun, renovasi di 2022 ini ternyata lebih dari sekadar itu. Di salah satu menara, rencana akan dibangun akses lift sehingga pengunjung dapat naik ke atas menara dengan lebih mudah. Nah, bagian atas menara yang tak terawat dan dipenuhi mesin-mesin tak terpakai pun akan diremajakan. Sempat ada wacana akan dibuat semacam galeri yang memuat sejarah Jembatan Ampera dan kota Palembang. Persis bagian bawah Monas-lah. Sekaligus tempat nongkrong bagi masyarakat yang ini sekadar ngopi atau nyemil.
Namun, rencana renovasi ini mendapat tentangan dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang menilai proyek Satker PJN Wilayaj III Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini berisiko merusak cagar budaya.
Beberapa kenalan pun masif banget menyuarakan ketidaksetujuannya. Saya yang setuju dengan rencana renovasi ini memilih untuk diam. Ibaratnya, saya termasuk silent majority hehe. Sebab, menurut pemikiran awam saya, jelas para pemangku kebijakan pasti sudah memikirkannya.
Sebagaimana yang saya kutip di Kumparan yakni Kasatker PJN PPK 3.6 Jembatan Khusus BBPJN Wilayah Sumsel, Dicky Romansyah, mengatkan pembangunan lift Jembatan Ampera sudah melalui proses perencanaan oleh Satker P2JN (Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional) dan melibatkan pembahasan, perhitungan serta pengkajian KKJTJ (Komisi Keselamatan Jembatan dan Terowongan Jalan).
Walau saya mendungung sepenuhnya rencana renovasi ini, tapi saya juga paham kecemasan dan kekhawatiran teman-teman lain mengingat sebelum ini pemerintah menghancurkan Pasar Cinde. Niatnya mau dipugar yang sayangnya proyeknya mandeg dan ada indikasi korupsi sehingga pimpinan kota Palembang. Dalam hal ini saya pun menyayangkan, sebab Pasar Cinde yang sudah ada sejak 1958 dan diarsiteki oleh Thomas Karsten ini (yang juga membangun Pasar Johar, makanya pilar bangunan antara kedua pasar ini sama) punya kisah sejarah tersendiri.
Kapan Ampera Dibuka untuk Umum?
Kini renovasi Jembatan Ampera sudah dilakukan. Lift sudah terpasang dan bagian atas menara pun sudah rapi dan bersih. Bebeapa admin akun sosmed yang punya followers cukup besar sudah diajakin untuk menjajal lift tersebut.
Bahkan, baru-baru ini tayangan TV pun melakukan peliputan khusus di mana kedua hostnya (yang kebetulan berasal dari Palembang) mengajak penonton untuk main ke atas menara. Sayangnya, hingga detik ini saya belum dapat informasi kapan akses ke menara ini dibuka untuk umum.
Untuk menghindari membludaknya pengunjung, saya punya beberapa usulan terkait mekanismenya nanti. Pertama, jumlah pengunjung benar-benar harus dibatasi. Misalnya dalam 1 jam hanya boleh dikunjungi oleh 10 atau 20 pengunjung.
Kedua, pembelian tiket secara online (ya sistemnya harus disiapkan berarti) dengan pengaturan jadwal yang ketat. Seperti pengaturan di aplikasi pembuatan paspor. Diatur jedanya per-30 sd 60 menit. Jika telat datang? Ya harus ambil jadwal selanjutnya itu pun kalau ada yang kosong. Di sisi ini sih harapanna ada kemudahan untuk reschedule atau cancel.
Ketiga, biayanya harus dikaji. Nggak boleh terlalu murah, tapi juga jangan kemahalan. Kalau daftar pun menggunakan NIK (seperti naik kereta atau pesawat), dan dalam sekian hari hanya boleh naik 1 kali. Atau atur sekalian aja hanya bisa naik ke Ampera seminggu atau sebulan sekali.
Intinya sih, saya senang jika pembangunan lift ini dapat digunakan wisatawan untuk melihat Palembang dari POV yang berbeda. Terutama wisatawan kayak saya yang punya kepuasan tersendiri jika bisa memandang satu kota dari titik tertinggi yang ada di sana.
Di sisi lain, uangnya bisa jadi sumber pemasukan bagi kota dan pemeliharaan Jembatan Ampera itu sendiri. Nah, renovasi dan pemasangan lift sudah dilakukan. Harapannya sih, teman-teman yang tadinya menolah dapat mendukung. Atau, setidaknya, jikapun masih keukeuh dengan pendiriannya, setidaknya nggak perlu mengeluarkan statement memojokkan bagi mereka yang nantinya akan menjajal fasilitas tersebut.
Cukup adil, bukan?
Harapannya Palembang semakin maju dan menjadi kebanggaan bagi warganya sendiri. Amiiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H