Polisi baru mulai membawa senjata api setelah pasukan Amerika membuatnya di tahun 1946. Dalam hukum Jepang pada tahun 1958 disebutkan bahwa tidak ada orang yang boleh memiliki senjata api.
Saat pemerintah melonggarkan undang-undang tersebut, pemerintah melakukan kontrol yang sangat ketat. Di Jepang, jika seseorang ingin memiliki senjata, mereka harus menghadiri kelas, lulus tes tertulis dan harus memiliki minimal 95% akurasi selama tes menembak.
Mereka juga harus lulus evaluasi kesehatan mental yang dilakukan di rumah sakit. Dan juga, lulus pemeriksaan latar belakang, di mana pemerintah akan menggali catatan kriminal dan mewawancari teman dan kerabat mereka. Jika lolos, mereka pun hanya dapat membeli senapan angin dan bukan pistol. Hebatnya lagi, setiap 3 tahun mereka harus mengulangi kelas dan tes dari awal.
Menurut sebuah organisasi global yang mengawasi transfer senjata, hanya 0,6 orang dari 100 orang yang memiliki senjata di Jepang. Dibandingkan dengan 6,2 di Inggris dan 88,8 di Amerika Serikat. Dengan data ini, bayangkan saja, dari 100 orang, berarti "hanya" 12 orang yang tidak punya senjata di Amerika Serikat. Tak heran angka penembakan di sana begitu tinggi.
Karena prosedur pengendalian senjata yang ketat, Jepang yang berpenduduk lebih dari 127 juta orang itu, melaporkan hanya tiga kematian akibat senjata pada 2019, menjadikannya 0,02 per 100.000 orang.
Lantas, kenapa bisa Tetsuya memiliki senjata? Ya itu tadi, dia merakit sendiri. Sepertinya, dengan adanya kejadian ini, pemerintah Jepang akan mengevaluasi lagi. Misalnya, dengan cara meblokir tayangan/tontonan yang memandu orang untuk dapat merakit senjata, termasuk memblok penjualan onderdil senjata itu sendiri. Saya yakin Tetsuya akan melewati penyelidikan yang begitu ketat.
Sekali lagi, kita berduka atas berpulangnya PM Shinzo Abe. Dan, semoga ke depan tidak ada lagi kasus penembakan di Jepang. Sedangkan, untuk di negara lain, ya harapannya juga sama. Semoga kepemilikan senjata dapat dilakukan dengan sangat ketat sehingga tidak ada masyarakat biasa yang menjadi korban.
Tulisan ini terinpirasi dari penjelasan Jurnalis Metro TV Iqbal Himawan lewat tayangan IG storynya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H