Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alih-alih Meminta, Kenapa Perpustakaan Daerah Tidak Membeli Buku Karya Penulis Lokal?

4 Januari 2022   13:39 Diperbarui: 7 Januari 2022   11:53 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syarat menerbitkan buku secara indie di Penerbit Ellunar. 2 eksemplar jatah untuk Perpusnas dan para penulis mengeluarkan uang pribadinya untuk ini.

Dari segi penulis pun tentu lebih merasa dihargai dan diapresiasi karya-karyanya. Dan, dari segi pemerintah, peran serta mereka dalam memajukan anak bangsa (di dunia literasi) dapat dibuktikan dengan wujud nyata.

Dalam perkiraan "ngawur" saya, katakanlah penulis yang sudah menerbitkan karya solo di Sumsel ini berjumlah 50 orang. Tentu saja tidak semuanya aktif dan produktif menulis satu karya dalam satu tahun.

Sebagai penulis, tentu saya senang jika karya saya dapat diapresiasi oleh pembaca dan pemerintah. Dokpri.
Sebagai penulis, tentu saya senang jika karya saya dapat diapresiasi oleh pembaca dan pemerintah. Dokpri.

Apabila dalam setahun hanya 20%-nya saja atau sekitar 10 orang menerbitkan buku, dan pemerintah setidak-tidaknya membeli satu-dua buku dari para penulis ini, saya kira tidak akan terlalu membebankan anggaran.

Jika satu buku seharga Rp.100.000 dikalikan 2 eksemplar dari 10 penulis, pemerintah daerah "hanya" mengeluarkan biaya Rp.2000.000/tahun sebagai bentuk apresiasi terhadap karya penulis lokal.

Lalu, jika anggaran masih tersedia banyak dan Perpusda di seluruh Indonesia mau meniru apa yang dilakukan Perpusda Banten, saya kira para penulis, termasuk saya, akan menyambutnya dengan bahagia.

Secara teknis, saya yakin orang yang bekerja di pemerintahan itu pribadi-pribadi terpilih. Jadi, konsep acara dapat dikemas dan diadakan sebagaimana yang mereka mau. Acara bedah atau peluncuran buku dapat diadakan secara berkala sehingga dalam setahun pemerintah hanya perlu mengadakan acara serupa sebanyak 3 atau 4 kali misalnya.

Acara bedah buku yang dilakukan oleh Ade Ubaidil sebagaimana saya ceritakan di atas juga bebarengan dengan peluncuran buku kumpulan cerpen penulis lain. Jadi, hal semacam ini sah-sah saja dilakukan.

Jadi, semua penulis mendapatkan tempat dan perlakuan yang sama. Dan, tidak menutup kemungkinan, nantinya dari audiens yang hadir muncul bakat-bakat baru yang kelak akan menghasilkan karya besar, sebab dari pertemuan itu mereka meyakini bahwa pemerintah tak tutup mata terhadap karya-karya penulis lokal yang ada.

Salam Literasi!

Penulis bagian dari Kompasianer Palembang
Penulis bagian dari Kompasianer Palembang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun