Dari segi penulis pun tentu lebih merasa dihargai dan diapresiasi karya-karyanya. Dan, dari segi pemerintah, peran serta mereka dalam memajukan anak bangsa (di dunia literasi) dapat dibuktikan dengan wujud nyata.
Dalam perkiraan "ngawur" saya, katakanlah penulis yang sudah menerbitkan karya solo di Sumsel ini berjumlah 50 orang. Tentu saja tidak semuanya aktif dan produktif menulis satu karya dalam satu tahun.
Apabila dalam setahun hanya 20%-nya saja atau sekitar 10 orang menerbitkan buku, dan pemerintah setidak-tidaknya membeli satu-dua buku dari para penulis ini, saya kira tidak akan terlalu membebankan anggaran.
Jika satu buku seharga Rp.100.000 dikalikan 2 eksemplar dari 10 penulis, pemerintah daerah "hanya" mengeluarkan biaya Rp.2000.000/tahun sebagai bentuk apresiasi terhadap karya penulis lokal.
Lalu, jika anggaran masih tersedia banyak dan Perpusda di seluruh Indonesia mau meniru apa yang dilakukan Perpusda Banten, saya kira para penulis, termasuk saya, akan menyambutnya dengan bahagia.
Secara teknis, saya yakin orang yang bekerja di pemerintahan itu pribadi-pribadi terpilih. Jadi, konsep acara dapat dikemas dan diadakan sebagaimana yang mereka mau. Acara bedah atau peluncuran buku dapat diadakan secara berkala sehingga dalam setahun pemerintah hanya perlu mengadakan acara serupa sebanyak 3 atau 4 kali misalnya.
Acara bedah buku yang dilakukan oleh Ade Ubaidil sebagaimana saya ceritakan di atas juga bebarengan dengan peluncuran buku kumpulan cerpen penulis lain. Jadi, hal semacam ini sah-sah saja dilakukan.
Jadi, semua penulis mendapatkan tempat dan perlakuan yang sama. Dan, tidak menutup kemungkinan, nantinya dari audiens yang hadir muncul bakat-bakat baru yang kelak akan menghasilkan karya besar, sebab dari pertemuan itu mereka meyakini bahwa pemerintah tak tutup mata terhadap karya-karya penulis lokal yang ada.
Salam Literasi!