3 tahun memutuskan tinggal di Virginia, Amerika serikat berbekal lotere green card, hidup Mbak Dian yang semula dijalankan berempat --bersama suami dan kedua anak, kini harus berubah formasi yakni hanya bertiga saja dikarenakan beliau memutuskan untuk berpisah dengan suami.
"Jadi, mulailah aku menjadi pemain single dalam kehidupan di Amrik. Herannya, saat itu, meski nyata-nyata akan menjalani hidup yang semakin berat, tak sedikit pun aku berpikir untuk segera pulang for good atau balik ke Indonesia buat selamanya." Hal.3.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi, pertama, untuk memulai hidup dari 0 lagi dengan modal seadanya, tentu bukan hal yang mudah. Lalu, alasan kedua inilah yang menjadi alasan terbesar untuk Mbak Dian menetap yakni kedua anaknya betah dan senang bersekolah di Amerika Serikat.
Pasca bercerai, masalah pertama yang timbul ialah soal tempat tinggal. "Hal pertama yang membuatku menangis adalah bagaimana penghasilanku yang tidak banyak ini bisa membayar sewa apartemen yang selangit?" Hal.4.
Ya, sebagai pekerja restoran bernama GW Delicatessen yang ada di lingkungan George Washington University, tentu biaya akomodasi bulanan harus dikalkulasi dengan baik. Jangan sampai semua pendapatan habis untuk tempat tinggal. Padahal selain itu ada biaya-biaya lain yang menghadang di belakang. Namun, untunglah perihal apartemen dapat terpecahkan saat Mbak Dian mendapatkan tumpangan satu kamar.
Rupanya, tak hanya di Indonesia, di Amerika sana umum satu apartemen dihuni oleh beberapa orang. Dalam artian, mereka menyewa bersama. Asal, hal ini disampaikan langsung kepada pemilik unit sebab jika ketahuan berbohong, tak hanya diusir, namun bisa saja dilaporkan ke polisi.
Langkah lain yang dilakukan adalah pengetatan anggaran. Kebiasaan lama makan di restoran setiap akhir pekan harus diatur ulang. Sesekali masih boleh, tapi jelas memasak sendiri di rumah akan jauh lebih hemat.
"Seiring waktu, sedikit demi sedikit, aku tahu dan memahami bagaimana menyiasati hidup di Amrik meski kondisi keuangan minim." Hal.9.
Beruntung, sekolah di Amrik sampai tingkat SMA itu gratis. Apartemen dapat dipilih yang memang disediakan untuk orang yang berpenapatan low income.Â
Asuransi kesehatan juga bisa gratis atau membeli dengan harga yang sangat murah. Soal ini, memang kadang antara satu negara bagian dengan yang lainnya kadang punya kebijakan yang berbeda sehingga harus dipastikan dengan saksama.
Yang menarik dari buku ini, tak hanya Mbak Dian, namun kedua putrinya --Alma dan Cedar, turut menyumbangkan masing-masing satu cerita. Apa yang mereka ceritakan cukup sederhana, tentang kegiatan sehari-hari sebagai pelajar. Namun, dari tulisan itu, saya mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dari pendidikan yang ada di Amrik.
"Here are the extraordinary parts. Attending school in United States gives me the advantages of learning many new ideas as people believe comes from different parts of the world and possess diverse cultures. We were raised to be open-minded and to respect another's beliefs and each one of us is expected to offer a unique quality of ourselves to the school and outside community." Ujar Cedar di hal.58.
Salah satu sistem yang saya acungi jempol dari Amrik ialah mereka memperkenankan siswa sekolah untuk kerja paruh waktu. Untuk dapat melakukannya, prosedurnya cukup ketat.Â
Dan ada lembaga khusus yang memantau sehingga jangan sampai anak yang bekerja melupakan sekolah karena keasyikan mencari uang.
RAGAM KEHIDUPAN DI AMERIKA SERIKAT
Dalam satu buku, ada banyak sekali infomasi yang saya dapatkan. Kisah para imigran gelap yang banyak terdapat di Amerika Serikat mendapatkan porsi yang cukup banyak di buku ini. Pemerintah sana bukannya tidak tahu soal keberadaan mereka. Uniknya, walau tahu mereka pekerja gelap, tapi mereka diberikan berbagai macam kemudahan dalam administrasi.
Anak penduduk ilegal masih bisa bersekolah gratis. Di Washington DC bahkan pekerja ilegal juga dapat asuransi asal dia memiliki penghasilan low income. Untuk mencari kerja juga nggak sesulit yang saya bayangkan.
"Orang-orang ilegal juga masih bisa kerja di tempat-tempat negosiable, alias yang bisa menerima mereka bekerja meski mereka nggak punya dokumen resmi.Â
Kalau soal berapa dia dibayar, baik orang resmi maupun tak resmi, perbedaan tidak jauh-jauh amat. Sebab, di sini ada peraturan yang melarang orang-orang dibayar di bawah standar." Hal.117.
Walau begitu, tentu saja menjadi penduduk resmi adalah impian para illegal worker ini. Salah satu caranya dengan menikahi penduduk lokal atau mengarang cerita (baca: menjelek-jelekkan bangsa sendiri) demi mendapatkan suaka. Hmm.
                                   Suasana tempat kerja Mbak Dian di Deli( beliau muncul di menit 2:15)
Ada banyak sekali cerita yang tersaji di buku setebal 274 halaman ini. Sebagaimana buku pertamanya This is America, Beibeh! Saya mendapatkan beragam sudut pandang menarik perihal kehidupan imigran di Amerika Serikat, terutama yang dijalankan oleh ibu dengan dua anak.
Manis-pahit diceritakan apa adanya di buku ini. Soal gaya bahasa, I have no complaint. Apalagi sejak awal penulis sudah mengingatkan, "aku pernah bilang bahwa aku bukan penulis profesional, sekarang tambah jelas saja bahwa sebenarnya aku memang sama sekali bukan penulis, tapi cuma storyteller." Hal.Ix.
Tapi, untuk ukuran seseorang yang mengaku tidak jago menulis, I'm So Sorry, Indonesia! Ini termasuk paket yang lengkap. Jika mau dianggap sebagai kekurangan, saya hanya nggak nyaman dengan tampilan dalam bukunya yang tetap saja tidak menggunakan rata kiri-kanan sehingga terlihat berantakan.
Namun, selebihnya, dwilogi This is America, Beibeh dan I'm So Sorry, Indonesia adalah dua buku yang berkisah tentang imigran di Amerika yang jadi favorit saya.
Skor 8,5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H