Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perkara Kutang, Animisme dan Benturan Politik dalam Novel "Entrok"

16 Desember 2021   14:13 Diperbarui: 16 Desember 2021   14:55 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mungkin karena kasihan, melihat ada perempuan nguli. Rasa kasihan juga sering kuterima dari pengunjung pasar lainnya." Hal.39.

Uang yang ia terima disimpan ke sebuah bumbung. Setelah beberapa waktu, diambilnya beberapa keping untuk dibelikan entrok. Betapa bahagianya Marni saat benda impian itu akhirnya berhasil ia miliki.

"Begitu sampai di rumah, segera kulepas bajuku. Kupasang entrok pada dua gunungku. Rasanya pas dan kencang. Aku meloncat dan berlarian. Dadaku seperti terikat kencang, tidak nglawer-nglawer lagi."Hal.40.

Rupanya, tabungannya masih tersisa banyak walau sudah dibelanjakan entrok. Marni kemudian kepikiran untuk berjualan juga, menjadi tengkulak. Dengan modal yang ada, ia belanjakan berbagai macam kebutuhan harian warga. Ia menjajakan dagangannya mengelilingi kampung, bukan di pasar.

Berkat kerja kerasnya dan doa yang ia berikan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa usaha Marni kian maju. Ya, sebagaimana Simbok, Marni meyakini leluhur sebagai Sang Pencipta. Untuk berdoa, biasanya di tengah malam Marni akan menyediakan sesajen dan meletakkannya seraya berdoa di pohon besar yang ada di perkarangannya.

Hidup terus berlanjut. Teja, pria yang kemudian berjodoh dengannya pun memilih pensiun dini menjadi kuli. Kini, Teja fokus membantu Marni menjalankan usahanya.

Marni yang miskin perlahan dikenal sebagai orang berada. Dari menjual barang secara tunai, Marni kemudian memberikan keringan warga untuk membeli dengan cara mencicil. Panci, kuali, pakaian atau apa saja bisa dibeli dengan cara mencicil.

Hidup Marni kembali berubah saat salah seorang tetangganya minta bantuan meminjam uang. Awalnya Marni menolak sebab dia hanya menjual barang. "Sama saja toh, anggap saja saya membeli panci dari kamu. Saya bayar cicil dengan bunga," ujar tetangga itu.

Rupanya hal itu tersiar dari mulut ke mulut. Marni yang mulanya menjual barang kini hanya fokus meminjamkan uang. Dia beralih profesi dengan menjadi rentenir. Dia semakin kaya. Rumahnya gedongan. Ketika di kampungnya baru pejabat desa yang mampu membeli TV, dia juga bisa mengimbangi.

Versi lain sampul buku Entrok. Sumber Gramedia.com
Versi lain sampul buku Entrok. Sumber Gramedia.com

Sayangnya, seiring dengan kesuksesan secara ekonomi, cobaan demi cobaan terus menghadang. Tentara menagih uang keamanan tiap 2 minggu. Tiap kali ada kegiatan kampung terlebih acara partai, dia dipaksa untuk menyumbang dalam jumlah tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun