"Mungkin karena kasihan, melihat ada perempuan nguli. Rasa kasihan juga sering kuterima dari pengunjung pasar lainnya." Hal.39.
Uang yang ia terima disimpan ke sebuah bumbung. Setelah beberapa waktu, diambilnya beberapa keping untuk dibelikan entrok. Betapa bahagianya Marni saat benda impian itu akhirnya berhasil ia miliki.
"Begitu sampai di rumah, segera kulepas bajuku. Kupasang entrok pada dua gunungku. Rasanya pas dan kencang. Aku meloncat dan berlarian. Dadaku seperti terikat kencang, tidak nglawer-nglawer lagi."Hal.40.
Rupanya, tabungannya masih tersisa banyak walau sudah dibelanjakan entrok. Marni kemudian kepikiran untuk berjualan juga, menjadi tengkulak. Dengan modal yang ada, ia belanjakan berbagai macam kebutuhan harian warga. Ia menjajakan dagangannya mengelilingi kampung, bukan di pasar.
Berkat kerja kerasnya dan doa yang ia berikan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa usaha Marni kian maju. Ya, sebagaimana Simbok, Marni meyakini leluhur sebagai Sang Pencipta. Untuk berdoa, biasanya di tengah malam Marni akan menyediakan sesajen dan meletakkannya seraya berdoa di pohon besar yang ada di perkarangannya.
Hidup terus berlanjut. Teja, pria yang kemudian berjodoh dengannya pun memilih pensiun dini menjadi kuli. Kini, Teja fokus membantu Marni menjalankan usahanya.
Marni yang miskin perlahan dikenal sebagai orang berada. Dari menjual barang secara tunai, Marni kemudian memberikan keringan warga untuk membeli dengan cara mencicil. Panci, kuali, pakaian atau apa saja bisa dibeli dengan cara mencicil.
Hidup Marni kembali berubah saat salah seorang tetangganya minta bantuan meminjam uang. Awalnya Marni menolak sebab dia hanya menjual barang. "Sama saja toh, anggap saja saya membeli panci dari kamu. Saya bayar cicil dengan bunga," ujar tetangga itu.
Rupanya hal itu tersiar dari mulut ke mulut. Marni yang mulanya menjual barang kini hanya fokus meminjamkan uang. Dia beralih profesi dengan menjadi rentenir. Dia semakin kaya. Rumahnya gedongan. Ketika di kampungnya baru pejabat desa yang mampu membeli TV, dia juga bisa mengimbangi.
Sayangnya, seiring dengan kesuksesan secara ekonomi, cobaan demi cobaan terus menghadang. Tentara menagih uang keamanan tiap 2 minggu. Tiap kali ada kegiatan kampung terlebih acara partai, dia dipaksa untuk menyumbang dalam jumlah tertentu.