Seketika perasaan aneh mencuat. Saya melihat ada yang tidak wajar. Tadinya, saya kira ada satu-dua tulisan saja dari kompasianer ini yang meledak sehingga K-Rewardsnya juga meroket.Â
Namun, sepertinya tidak demikian. Saya cek, semua tulisan dia viewesnya membludak. Coba lihat beberapa angka viewers yang berhasil dia peroleh. Ini saya ambil beberapa contoh saja.
Saya paham, memang sih, gak semua yang baca tulisan di Kompasiana itu adalah Kompasianers sehingga dengan akun mereka bisa kasih label nilai semacam "Menarik", "Inspiratif", "Bermanfaat", dsb.Â
Tapi masa iya, dari 70 ribu orang yang baca, gak ada gitu sekian persennya Kompasianers yang bisa kasih label nilai dan komentar? Ini contohnya, saat saya skrinsut, yang baca hampir 60 ribu orang, yang kasih label nilai hanya 2 orang dan tidak ada satupun orang yang komentar. Padahal jika 0,5%-nya saja pembaca dari Kompasiana, setidaknya akan ada 300 label penilaian.
Katakanlah saya suuzon. Namun jelas, ybs memakai cara khusus nan "ajaib" untuk mendapatkan jumlah viewers demi tujuan utama: memperoleh pendapatan K-Rewards dalam jumlah besar.
Pertanyaan selanjutnya? Apa ini fair? Apakah ini tidak menciderai keadilan para Kompasianers lain?
Melaporkan Kejadian Ini ke Tim Kompasiana Pusat
Hal ini sangat mengganjal pikiran saya. Saya gelisah dengan perlakuan yang (menurut saya) curang ini. Maka, Kamis pagi tanggal 30 September 2021, saya mengontak salah satu tim Kompasiana Pusat melalui aplikasi pesan singkat, dan saya menceritakan kronologis kecurigaan saya itu.
Tidak banyak yang dapat saya ceritakan soal komunikasi yang terjalin di antara kami berdua saat itu di tulisan ini atas alasan etis. Satu hal pasti dan dapat saya spill di tulisan ini, ternyata, sebelum saya protes akan hal itu, sudah ada beberapa Kompasianers lain yang juga melaporkan kecurigaan yang sama kepada beliau.Â
Saya bahkan mengenal nama-nama yang disebutkan sebagai pelapor itu. Terus terang, saya ikutan lega. Setidak-tidaknya, saya merasa tak sendirian.