Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanggapi Trik "Ajaib" Kompasianers dalam Mendapatkan K-Rewards Bernilai Fantastis

27 Oktober 2021   21:01 Diperbarui: 20 Januari 2022   14:28 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat melihat pengumuman perolehan K-Rewards bulan Agustus yang diumumkan di minggu pertama September lalu, saya tercengang. Tidak menyangka jika perolehan Kompasianers (K-ers) dari menulis di Kompasiana ternyata bisa sebesar itu angkanya. 

Reaksi pertama, saya kaget dan takjub. Reaksi kedua, saya sirik! Haha. Dan ini sungguh manusiawi rasanya. Dan, reaksi ketiga, saya termotivasi untuk menjajal kesempatan yang sama.

Namun, berhubung saat itu udah jalan minggu pertama bulan September, saya merasa sudah kalah start. Makanya, saya berencana mengatur strategi dan niatnya akan saya terapkan di bulan Oktober ini. 

Ada beberapa tema yang sudah ada di benak saya bertahun lamanya namun tidak juga saya eksekusi dalam sebuah tulisan karena: malas. Memang bagus K-Rewards ini untuk memotivasi K-ers biar lebih giat nulis.

Satu hal yang saya sesalkan saat melihat pengumuman perolehan K-Rewards bulan Agustus itu. Yakni, saya tidak mengecek profil para K-ers yang meraih posisi puncak (setidaknya beberapa posisi teratas yang nominal pendapatannya luar biasa). Saya tidak mau terdistraksi dan lebih memilih fokus merencanakan tulisan apa saja yang ingin saya angkat di bulan Oktober ini.

Rabu, 29 September 2021, saya mendapatkan pesan singkat dari seorang teman yang juga Kompasianer. Singkatnya, dia bertanya apakah saya mengetahui trik/rahasia yang digunakan oleh salah satu kompasianer yang namanya masuk ke dalam daftar penerima K-Rewards Agustus itu. Saat ditanya, spontan saya menjawab tidak tahu. 

Mestinya dia mendapatkan K-Rewards fantastis karena tulisannya bagus atau tema yang diangkat unik, bukan? Itu satu-satunya alasan yang terbersit spontan di kepala saya.

Dokpri
Dokpri

Tapi saat teman ini bilang dalam satu tulisan minimal viewersnya 10 ribu, tak ayal mencuatkan rasa penasaran. Seketika saya langsung cek profil kompasianer-kompasianer tersebut, dan wow, rata-rata tulisan yang dia buat "dibaca" oleh setidak-tidaknya 30 ribuan orang bahkan ada yang tembus 70 ribu viewers. 

Pantas saja jika K-Rewards yang dia dapat gede banget. Nilai yang kalau saya bandingkan dengan UMR Kota Palembang, itu hampir tembus 3 kali lipatnya. Emejing!

Seketika perasaan aneh mencuat. Saya melihat ada yang tidak wajar. Tadinya, saya kira ada satu-dua tulisan saja dari kompasianer ini yang meledak sehingga K-Rewardsnya juga meroket. 

Namun, sepertinya tidak demikian. Saya cek, semua tulisan dia viewesnya membludak. Coba lihat beberapa angka viewers yang berhasil dia peroleh. Ini saya ambil beberapa contoh saja.

Dokpri
Dokpri

Saya paham, memang sih, gak semua yang baca tulisan di Kompasiana itu adalah Kompasianers sehingga dengan akun mereka bisa kasih label nilai semacam "Menarik", "Inspiratif", "Bermanfaat", dsb. 

Tapi masa iya, dari 70 ribu orang yang baca, gak ada gitu sekian persennya Kompasianers yang bisa kasih label nilai dan komentar? Ini contohnya, saat saya skrinsut, yang baca hampir 60 ribu orang, yang kasih label nilai hanya 2 orang dan tidak ada satupun orang yang komentar. Padahal jika 0,5%-nya saja pembaca dari Kompasiana, setidaknya akan ada 300 label penilaian.

Katakanlah saya suuzon. Namun jelas, ybs memakai cara khusus nan "ajaib" untuk mendapatkan jumlah viewers demi tujuan utama: memperoleh pendapatan K-Rewards dalam jumlah besar.

Pertanyaan selanjutnya? Apa ini fair? Apakah ini tidak menciderai keadilan para Kompasianers lain?

Melaporkan Kejadian Ini ke Tim Kompasiana Pusat

Hal ini sangat mengganjal pikiran saya. Saya gelisah dengan perlakuan yang (menurut saya) curang ini. Maka, Kamis pagi tanggal 30 September 2021, saya mengontak salah satu tim Kompasiana Pusat melalui aplikasi pesan singkat, dan saya menceritakan kronologis kecurigaan saya itu.

Tidak banyak yang dapat saya ceritakan soal komunikasi yang terjalin di antara kami berdua saat itu di tulisan ini atas alasan etis. Satu hal pasti dan dapat saya spill di tulisan ini, ternyata, sebelum saya protes akan hal itu, sudah ada beberapa Kompasianers lain yang juga melaporkan kecurigaan yang sama kepada beliau. 

Saya bahkan mengenal nama-nama yang disebutkan sebagai pelapor itu. Terus terang, saya ikutan lega. Setidak-tidaknya, saya merasa tak sendirian.

Dokpri
Dokpri

Itu adalah cuplikan pesan yang saya kirimkan ke tim Kompasiana pusat. Dari sana jelas, mencuat juga kekhawatiran apakah saya sampai rela japri itu hanya karena rasa iri atau benar-benar demi mencari jawaban dari keanehan yang terjadi. 

Dari jawaban sementara yang saya dapatkan, rupanya Kompasiana sudah mengetahui soal "keanehan" viewers pada BEBERAPA akun kompasianers. Dan mereka sedang berdiskusi untuk memastikan apakah itu menyalahi aturan sehingga dapat terus dibiarkan atau harus dihentikan.

Berhari-hari saya menunggu jawaban dengan perasaan penasaran dan gemas. Sejak ikutan Tebar Hadiah Ramadhan di edisi perdananya, dan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya, saya menyadari bahwa butuh strategi yang jitu untuk mendapatkan jumlah viewers. Segala hal dilakukan. Dari cari judul yang menarik, mengangkat tema unik serta menulis dengan baik, dan membagikan tulisan itu ke sosial media secara bersemangat sudah dilakukan.

Sebaran pembaca Kompasiana tentu saja masih besar, tapi untuk menggiring mereka datang ke tulisan kita, bukan hal yang mudah. Apalagi, jika sampai semua tulisan dari seorang kompasianers lantas mendapatkan pembaca yang luar biasa banyaknya hingga puluhan ribu orang, jelas mencuatkan tanda tanya.

Apa benar tulisannya mereka sebagus itu sehingga viral dan dibaca banyak orang?

Sekali lagi, saya tidak terlalu paham IT. Saya juga tidak tahu bagaimana cara "ajaib" orang-orang ini mendapatkan viewers sebanyak itu. Apa benar hanya mengandalkan iklan/ads di sosial media? Tentang ads di sosmed, saya pernah melakukannya di akun jualan/usaha milik keluarga. 

Sedikit banyak saya tahu gambaran penyebaran iklannya dalam menggaet pembaca/viewers. Pengalaman saya, dari sekian sebaran dan dengan biaya puluhan ribu rupiah, hanya beberapa yang akan mampir dan baca. Lalu, untuk mendapatkan 50 sd 70 ribu viewers, butuh modal berapa banyak? Atau, ada tools lain yang mereka gunakan?

Tools ini misalnya saja dengan menyebarkan link lewat hal-hal tertentu, yang bikin orang klik dengan cepat. Tapi setahu saya, google analytic itu detil banget. 

Berapa jumlah view yang didapat? Lalu bounce pagenya berapa? Jadi bounce itu dalam bahasa sederhana, berapa lama orang untuk stay di satu halaman/menghabiskan waktu di situs tsb. Jadi, kalau sekadar klik dan dalam sekian detik kemudian orang akan close page, ya buat apa? Belum lagi ini bicara engagement.

Apakah Kompasiana tidak tahu tentang ini? Saya yakin tahu. Kurang pintar apa tim IT di Kompasiana pusat itu. Namun, yang jadi pertanyaan saya, apakah ujung-ujungnya perhitungan bisnis lebih dikedepankan ketimbang etis dan asas keadilan? Ya Kompasiana yang dapat menjawab.

Katakanlah, jika kelak Kompasiana "tutup mata" dengan hal ini dan lebih mengedepankan keuntungkan dari segi bisnis, ya, saya yang hanya anggota biasa ini harus berkata apa? Yang jelas, saya memanfaatkan platform ini, di tulisan ini, untuk menyuarakan rasa tidak adil yang saya rasakan. Jelas, tiap orang punya pendapat masing-masing. 

Jika sebagian kecil dari kalian, para Kompasianers merasa ini hal yang wajar, tidak apa-apa. Kita berhak berpendapat. Namun, melalui tulisan ini, isi kepala saya dapat kalian selami.

KERJA CERDAS ATAU KERJA CULAS?

Kita hari ini, adalah cerminan nilai-nilai yang ditanamkan di lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan sejak kita masih kecil.

Saya tidak mengatakan diri saya baik tanpa cela. Jelas sebagai manusia biasa, saya jauh dari sempurna. Namun, ada nilai-nilai kejujuran dan kepantasan yang sekuat penuh saya coba pertahankan dan saya terapkan dalam hidup. Ada nurani saya yang terusik jika satu kali saya melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Sebaliknya, kegelisahan yang sama juga saya rasakan jika ada tindakan tidak adil terlihat dan ada di depan mata. Salah satunya kejadian ini.

"Nggak ada larangan dari Kompasiana untuk melakukan segala cara demi mendapatkan viewers."

Mungkin ada di antara para pembaca yang berpendapat seperti itu. Yang kemudian dilanjutkan dengan opini, "kalau orang-orang itu berhasil menemukan cara untuk mendapatkan viewers besar, itu namanya kerja cerdas. Mereka berhasil memaksimalkan potensi yang ada pada diri mereka untuk memperoleh keuntungan. Dan itu sah-sah saja."

Well, jika ada yang berpendapat begitu, silakan saja, di situasi kebebasan berpendapat sekarang ini, semua orang bebas beropini, asal disampaikan dengan cara yang baik. Namun, di kesempatan ini izinkan saya akan mengutarakan pemikiran saya.

Apa sih tujuan awalnya Kompasiana ini? Media untuk berekspresi dan mengutarakan pendapat dalam bentuk tulisan, bukan? Walau ada nilai bisnis, tapi rasanya tetap saja tujuan utamanya bukan itu. Saya kira, para kompasianers rela mendaftar dan memiliki akun bukan semata-mata karena uang pada awalnya, terlebih bagi Kompasianers yang sudah lama eksis jauh sebelum K-Rewards ada.

Sudah banyak sekali hal-hal hebat yang ditorehkan oleh Kompasianers melalui tulisan yang menggugahnya. Jika kemudian Kompasiana mau memberikan apresiasi lebih dalam bentuk uang sekaligus memotivasi Kompasianers agar lebih semangat nulis, itu sangat bagus. Saya angkat topi.

Tapi, lakukanlah dengan cara yang fair dan setara. Beri kesempatan pada tiap orang untuk berjuang dengan cara yang sama. Dengan cara yang dilakukan sebelum adanya K-Rewards. Biarkan kami, para Kompasianers ini berlomba memeras ide, mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan tulisan yang bagus, yang kemudian akan banyak dibaca, dan lebih bagus lagi jika dapat menginspirasi.

Dengan adanya keistimewaan terhadap beberapa orang yang punya kemampuan lebih dalam mendapatkan viewers ini, jelas memunculkan ketimpangan dan jurang perbedaaan. Apakah saya salah jika saya merasa ini bentuk ketidakadilan? Apalagi, setahu saya Kompasiana menjunjung tinggi soal itu.

Dalam sebuah kompetisi menulis misalnya, Kompasiana melakukan kuncian terhadap tulisan yang diikutsertakan dalam kompetisi sehingga tidak dapat diutak-atik lagi. Nah, ini bentuk sederhana keadilan yang Kompasiana terapkan. Namun, dalam hal K-Rewards ini, saya belum menemukannya. Bahkan, bagi saya pribadi ini alih-alih memotivasi namun hal ini dapat bikin demotivasi. (Belum lagi bicara jika dalam satu lomba menulis kriteria penilaiannya mencakup jumlah viewers, waaah).

Ada perasaan di dalam diri saya, "ah percuma nulis bagus, berharap banyak yang baca dan diapresiasi di program K-Rewards tapi ujung-ujungnya viewersnya kalah sama orang yang pake mesin/robot."

Jika ada dari kalian yang lagi-lagi nyeletuk dalam hati, "Ya kalau mau nulis, nulis ajalah. Gak usah mikirin duit. Kan tujuannya untuk menginspirasi, berbagi pengalaman blablabla, duit itu bonus."

Wah wah wah, coba opini yang sama kalian ucapkan langsung kepada orang-orang yang sudah melakukan cara-cara "ajaib" itu untuk mendapatkan K-Rewards. Apa mereka akan nulis serajin ini jika motivasinya bukan uang hasil K-Rewards? Trus jika tujuan menulis semata-mata untuk berbagi bukan untuk uang kenapa nggak minta Kompasiana menyetop program K-Rewards saja sekalian biar Kompasiana kembali lagi seperti dulu?

Lagi pula, jika bicara soal menulis, saya sudah melakukannya sejak 16 tahun lalu saat awal-awal ngeblog. Dulu gak ada tuh kepikiran soal duit. Nulis ya nulis aja. Bahkan, hingga detik ini blog saya di omnduut.com tidak dimoneytize. Sesekali iya saya mendapatkan job sponsored post. Tapi, tanpa tawaran itu pun ya saya tetap nulis dan menghasilkan karya.

Dalam KBBI online, culas dapat berarti curang, tidak jujur dan tidak lurus hati.

Bagi kalian yang masih menganggap kelakuan Kompasianer-kompasianer itu merupakan bentuk kerja cerdas, we have to agree to disagree. Menurut saya, ini tindakan culas. Mengoyak nilai-nilai kebersamaan, keguyuban dan kejujuran yang sudah ada di Kompasiana sejak lama sekali. Sungguh saya kecewa. Sangat kecewa. Bagi saya, Kompasiana (melalui perwujudannya di Kompasianer Palembang) tak hanya sebuah komunitas. Tapi sebuah keluarga. Apa mau dirusak oleh hal semacam ini? Demi hitungan-hitungan cuan yang sesungguhnya semu ini?

Dengan trik-trik "ajaib" yang mereka lakukan, jika mereka menulis tulisan penting-nggak-penting semacam: 3 Trik Praktis Membuat Es Batu atau 5 Cara Memilih Lauk di Warung Padang pun viewers mereka akan membludak hingga ke puluhan ribu. Ini faktanya jika melihat track record pencapaian viewers yang mereka dapatkan selama ini. Bukan berarti nulis tentang es batu atau nasi bungkus gak butuh effort ya. Tapi tetap saja, ada ketimpangan jika kelak diukur dari K-Rewards.

Anggap ini saya lagi kurang kerjaan, saya coba memprediksi dengan mendata jumlah viewers dari masing-masing tulisan beberapa kompasianers, saya dapat menakar berapa pendapatan K-Reward mereka di bulan September kemarin. 

Misalnya saja, kompasianer A, dari semua tulisan yang dia buat selama bulan September, total dia mendapatkan kurang lebih 608.417 viewers yang setara Rp.17.035.676 (Jika 1 view setara Rp.28/ dua puluh delapan rupiah). Dan Kompasianer B, dari total tulisan yang dia buat sepanjang September, dia mendapatkan pembaca sebanyak 381.165 yang itu setara dengan Rp.10.672.620

"Tapi kan itu bukan unique view?"

Benar, itu masih hitungan kasar. Namun katakanlah jumlah unique viewsnya hanya 70% dari total viewers keseluruhan, Kompasianer A masih akan mendapatkan Rp.11.924.973, dan Kompasianer B akan mendapatkan Rp.7.430.834. Atau pun jika unique viewnya 50% dari total viewers yang saya data dan sebutkan itu, tetap saja hasilnya lumayan banget, kan? Untuk angka pastinya mari kita lihat pengumumannya nanti.

Jika terbukti mereka melakukan pengelembungan viewers, sekali lagi saya tanya, apa ini adil? Apakah kalian yang selama ini niat lurus nulis sambil mengharapkan K-Rewards sudah merasa diperlakukan dengan setara?

(MUNGKIN INI) SOLUSI TERBAIK

Pandemi memberikan dampak yang besar terhadap sebagian besar hidup masyarakat di Indonesia. Saya termasuk yang terkena imbasnya. Tak ingin bercerita panjang lebar bak menampilkan satu season kisah sedih drama Korea, dapat saya sampaikan bahwa, sama seperti (sebagian dari) kalian, saya juga menghadapi situsi sulit itu. Namun, tetap, saya ingin menjalani hidup ini dengan kepala tegak. Sebagaimana nilai-nilai yang saya jadikan prinsip hidup dewasa ini.

Saya ingin mencari rezeki tanpa melukai orang lain. Sebab, ada nilai keberkahan dari rezeki yang saya kejar dari setiap sen uang yang masuk.

Saat saya menuliskan ini, belum ada jawaban dari Kompasiana terhadap protes yang saya sampaikan. Jika dapat berandai-andai. Pertama, jika ternyata Kompasiana memutuskan jika apa yang dilakukan oleh beberapa kompasianers itu sebagai pelanggaran, maka ke depan, Kompasiana harus lebih jeli dan tegas untuk memantau tindakan curang tersebut.

Mungkin terlalu ekstrem jika Kompasianers tersebut akunnya dibekukan, diminta permohonan maaf apalagi jika sampai harus mengembalikan K-Rewards yang sudah didapat SEBAB aturan baku pelarangan melakukan pengelembungan viewers memang tidak tertulis jelas selama ini. Aturan itu (mungkin) baru (akan) muncul setelah protes yang saya (dan beberapa Kompasianers lain lakukan). Kelak, Kompasiana dan kita semua dapat melakukan kontrol jika menemukan akun-akun yang jumlah viewersnya terlihat tidak wajar. Saya, dan juga kamu, dapat melaporkan itu kepada Kompasiana untuk kemudian dicek lebih lanjut.

Kedua, jika ternyata Kompasiana menyatakan itu bukan sebuah pelanggaran dan Kompasiana mempersilakan oknum-oknum itu untuk terus mengelembungkan jumlah viewersnya, apa boleh buat. Saya hidup "menumpang" di kanal Kompasiana ini. Dan, apapun aturannya akan saya patuhi terlepas rasa tidak adil (atau rasa iri, you named it) yang saya rasakan. Saya akan tetap berada di Kompasiana sampai kapan pun. Sambil berharap nantinya akan ada perubahan kebijakan yang lebih baik yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi Kompasiana di masa yang akan datang.

Menulis tulisan ini bukan satu hal yang mudah. Ada banyak hal yang saya pertaruhkan yang rasanya akan panjang sekali jika saya jabarkan. Namun, dengan pertimbangan kegelisahan dan menyuarakan rasa tidak adil (sebagian teman merasakan ketidakadilan yang sama, tapi anggap saja tulisan ini murni dari saya sendiri), maka tulisan ini saya putuskan untuk dibuat dan diunggah di Kompasiana.

Jika keputusan kedua ini yang diambil, saya punya usulan bagus. Bagaimana jika Kompasiana merekrut Kompasianers ini bekerja menjadi tim inti di kantor pusat (bisa juga bekerja dari jauh, toh mereka bisa melakukan pengelembungan suara itu bahkan dari rumah mereka sendiri). Serahkan tanggung jawab perolehan viewers kepada mereka. Kasih mereka upah 2, 3 atau 5 kali lebih besar dari K-Rewards yang mereka dapatkan setiap bulannya.

Jika ini yang terjadi, maka akan jadi win-win solution. Kompasiana akan diuntungkan dari segi bisnis, Kompasianer-kompasianer yang selama ini memakai cara "ajaib" dalam mendulang viewers akan mendapatkan penghasilan yang sama atau bahkan lebih besar, dan juga para kompasianers lainnya seperti saya tetap dapat menulis dalam bingkai kesetaraan dan persaingan yang sehat.

Siapa yang menulis dan berstrategi dengan baik (selama tidak melakukan pengelembungan viewers dengan cara "ajaib") dapat memperoleh K-Rewards yang sepadan, sesuai kerja keras mereka. Lagian, jika pengelembungan viewers ini mendapat pemakluman, bukankah lebih baik tim marketing Kompasiana sendiri melakukan hal yang sama? Mending tulisan yang dibuat oleh admin/content writer Kompasianalah  yang viewersnya digelembungkan. Maka, tidak akan menciderai Kompasianers lain yang "bertarung" sehat dalam mendapatkan K-Rewards.

TULISAN SENSASI MENGEJAR K-REWARDS DAN OPINI PEMBACA

Saat menulis tulisan ini, tentu saya tidak tahu reaksi semacam apa yang akan saya terima dari kalian, para pembaca khususnya Kompasianers. Pasti akan ada Pro dan kontra. Itu biasa, namun saya harap dapat disampaikan dengan bahasa yang baik. Silahkan saja. Saya juga tidak tahu apakah tulisan ini akan booming atau malah akan senyap. Tujuan saya menulis ini untuk menyarakan kegelisahan dan rasa tidak adil yang saya rasakan.

Namun, jika ternyata tulisan ini mampu mendongkak pembaca/viewers, dan turut mempengaruhi perolehan K-Rewards saya. Dan, jika ada yang berfikiran saya menulis ini untuk mencari sensasi dan uang, maka kalian nggak usah bersedih, hehehe.

Perolehan K-Rewards yang akan saya dapatkan, akan saya hitung dan bagi rata dari semua viewers tulisan yang saya buat dan muncul di bulan Oktober ini. Dan, khusus perolehan uang dari tulisan ini, akan saya sumbangkan dan bukti sumbangannya akan saya tampilkan/update di tulisan ini nantinya.

Saya butuh uang. Tapi nggak dibutakan juga hingga melakukan segala cara demi uang. Jadi kalian nggak perlu khawatir.

Yang perlu kalian khawatirkan ialah bagaimana Kompasiana akan berjalan pasca protes yang saya layangkan ini. Tulisan ini bisa jadi mewakili isi hati sebagian kecil dari kalian yang terpendam lama. Jika demikian, silakan turut urun suara. Bisa melalui kolom komentar atau juga turut membuat tulisan yang sama. Biar suara kecil kita dapat didengarkan jika sama-sama "diteriakkan" dan digaungkan dengan lantang. Bagi yang tak sependapat dan mau ikut urun komentar, tentu saja juga tak ada yang melarang. Silakan komen di bawah, atau bikin tulisan untuk menjawab protes saya ini.

Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat bermanfaat. Dan, bagi para Kompasianers yang saya maksudkan di tulisan ini, semoga kalian dapat melihat hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Yakni sudut pandang saya (dan juga teman-teman lain) yang merasa tidak adil dengan apa yang sudah kalian lakukan walaupun itu sepenuhnya juga bukan salah kalian sebab keputusan akhir akan dikembalikan ke Kompasiana.

Terima kasih, dan maaf jika kurang berkenan. Salam dari Palembang.

[Tulisan di atas saya garap bertahap sejak awal Oktober. Sengaja saya tunda unggah agar tidak terkesan mengintervensi keputusan Kompasiana terhadap protes yang saya layangkan ini. Berikut ini adalah tanggapan saya terhadap keputusan yang diambil oleh Kompasiana.]

Dokpri
Dokpri

[Update 27 Oktober 2021]

Sebagaimana niat awal, saya baru akan menggunggah tulisan ini jika K-Rewards sudah diumumkan. Saya apresiasi Kompasiana yang sudah menelaah laporan kami (saya dan teman-teman lain). 

Jelas keputusan yang Kompasiana ambil tidak dapat menyenangkan semua pihak. Satu yang jelas, saya harap ke depan Kompasiana dapat lebih bijak, adil dan ketat dalam mengontrol perhitungan K-Rewards agar K-Rewards hadir sebagai motivasi bagi kami semua.

Sekali lagi, terima kasih, mohon maaf sebesar-besarnya dan semoga kita semua senantiasa sehat. 

[Update 1 November 2021]

Sesuai janji saya di atas, di mana, jika saya akan mendapatkan K-Rewards untuk hasil kerja selama Oktober, berikut jumlah viewers yang saya dapatkan dari 23 tulisan yang saya hasilkan selama bulan Oktober. Nanti, pembagian hasil K-Rewards dari tulisan ini yang mana akan saya sumbangkan, akan saya bagi berdasarkan total viewers yang saya akumulasikan per 1 November ini. 

Sejumlah 10.474. Jelas dibandingkan Kompasianers hebat lainnya ini masih belum ada apa-apanya.
Sejumlah 10.474. Jelas dibandingkan Kompasianers hebat lainnya ini masih belum ada apa-apanya.

Saya akan mengupdate kembali tulisan ini setelah nanti ada pengumuman K-Rewards beserta bukti transfer sumbangan ke lembaga yang resmi (mungkin akan saya sumbangkan ke KitaBisa atau lembaga lainnya). 

Terima kasih. 

[UPDATE 25 November 2021]

Pagi ini saya mendapatkan notifikasi jika ada saldo gopay sejumlah Rp.40.273 yang diirimkan oleh Kompasiana. Setelah saya cek rupanya itu K-Rewards yang saya dapatkan selama Oktober dengan total viewers sebanyak 9300 orang. Dengan demikian 1 viewers dihargai Rp.4,4 saja (Rp.40.273/9300).

Dokpri
Dokpri

Dengan total viewers tulisan ini yang saya data 1 November lalu sebanyak 734, maka jumlah yang akan saya sumbangkan ialah 734 x Rp.4,4 = Rp.3229,6. Sebuah angka yang kecil. Bukan bermaksud menyombong, bahkan sumbangan Jumatan yang biasa saya berikan di masjid lebih dari itu. Namun, jumlah itulah yang akan saya sumbangkan. 

"Kenapa nggak disumbangkan aja semuanya sekalian?"

Itu adalah K-Rewards pertama yang saya dapatkan di sepanjang tahun 2021 ini. Izinkan saya merasakan sisanya, sebab walaupun sedikit, rezeki yang didapatkan dengan cara yang halal tanpa berlaku curang dan culas biasanya akan terasa manis sekali.

Berikut bukti sumbangan saya melalui KitaBisa.com, berhubung nominal minimal di sana ialah Rp.10.000 maka sejumlah itu pula yang saya sumbangkan. Terakhir, saya masih mendapati para orang culas ini mencoba berlaku curang, hanya saya tidak dapat membuktikannya saja secara langsung. Semoga Kompasiana semakin ketat dalam memberikan K-rewards ini. Terima kasih.

[Pengumuman perolehan K Rewards bulan September dapat dilihat di sini. Oktober di sini. Orang yang udah jelas curang masih menang banyak, bukan?]

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun