Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Deg-degan Jelajah Masjid di Dataran Tinggi Gayo Takengon, Aceh

30 April 2020   15:45 Diperbarui: 30 April 2020   15:51 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar akhir 2017, saya berkesempatan mengunjungi Tanah Gayo yang menjadi sebutan bagi Kota Takengon yang juga merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Ini kali pertama saya ke Provinsi Aceh. Terus terang, mengingat Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum jinayat (syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam), saya jiper juga.

"Tenang, Takengon nggak seketat Banda Aceh, kok," ujar Bang Yudi, salah satu teman di perjalanan saya saat itu.

Dari Palembang, saya sempat transit dulu di Jakarta sebelum kemudian menempuh perjalanan ke Medan untuk berganti pesawat ke Takengon. Kota ini berada di tengah-tengah antara Banda Aceh dan Medan. Jarak tempuh dari dua kota itu menggunakan mobil berkisar 7 sd 8 jam. Namun, jika mau lebih cepat, ya naik pesawat dari Kuala Namu ke bandara Rembele.

Saya sengaja memilih window seat agar dapat melihat pemandangan Tanah Gayo dari ketinggian. Sebagai orang Palembang yang terbiasa dengan dataran rendah, saya takjub dengan keindahan di sepanjang perjalanan yang memperlihatkan jajaran perbukitan. Begitu akan tiba, mulai tampaklah suasana kota dan sebuah masjid berwarna putih yang indah sekali.

Masjid indah yang dilihat dari pesawat. Dokpri.
Masjid indah yang dilihat dari pesawat. Dokpri.
Dari sini, kami masih harus naik mobil lagi sekitar sejam untuk tiba di pusat kota Takengon yang berada di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Lumayan tinggi, ya! Tak heran udara di Takengon terasa lebih sejuk dan dingin di waktu-waktu tertentu.

Omong-omong, Takengon disebut sebagai Dataran Tinggi Gayo karena berada di salah satu punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang di sepanjang Pulau Sumatra. Nama Gayo melekat karena banyak suku Gayo yang mendiami kawasan ini. Masyarakat Gayo penganut agama Islam yang kuat. Tak heran jika keberadaan masjid mudah ditemukan di sana.

Melipir ke Masjid Ruhama Takengon

Saya dan rombongan menginap di sebuah hotel yang berada di jantung kota. Nah, asyiknya, hotel kami ternyata jaraknya dekat sekali dengan Masjid Raya Ruhama Takengon yang berdiri pertama kali pada tahun 1969 atas tanah wakaf seluas 1.431 persegi. Gede banget, ya!

Tak heran jika kemudian masjid megah yang indah ini dapat menampung hingga 2000 jamaah. Yang saya suka, view-nya langsung ke arah dataran tinggi yang terlihat bak pelindung. Aritekturnya juga menarik dan mengambil corak khas Suku Gayo. Terutama pada bagian kubah emas serta gapuranya. 

Gerbang dan kubah Masjid Raya Ruhama. Dokpri.
Gerbang dan kubah Masjid Raya Ruhama. Dokpri.
Bagian dalam masjid. Dokpri.
Bagian dalam masjid. Dokpri.
Saya dan rombongan beberapa kali mencicipi beribadah di masjid raya ini, terutama lagi saat salat Jumat. Ruang wudhunya terpisah jauh dari bangunan utama. Bagus juga sehingga aktifitas di tempat wudhu yang biasanya menyatu dengan toilet tak mengganggu kebersihan bangunan utama.

Saya merasa kerasan berada di Takengon. Menurut saya penduduknya pribadi yang ramah. Saya tidak merasa "terintimidasi" dengan respon mereka sebagaimana yang saya khawatirkan sebelumnya. Secara ya, sekilas saya mirip dengan orang tionghoa yang bermata sipit walaupun err kulit saya gelap. (herannya jika keluar negeri selalu disangka orang Jepang, Korea atau Tiongkok).

Belakangnya bukit. Indah, ya. Dokpri.
Belakangnya bukit. Indah, ya. Dokpri.
Ornamen khas gayo. Dokpri.
Ornamen khas gayo. Dokpri.
Bahkan, saat pagi hari saya iseng keliling kota, saya melihat sepasang bule Eropa yang prianya santai saja bercelana pendek dan istrinya tak memakai jilbab. Sepertinya benar yang dibilang Bang Yudi bahwa penduduk Takengon lebih laidback alias lebih selow. Saya bahkan beberapa kali bertemu gadis Takengon yang tak memakai penutup kepala. Dan, sepertinya semua baik-baik saja.

Panik di Sebuah Masjid

Berhubung saya dan rombongan membawa kendaraan sendiri dan Takengon kebanyakan wisata alam, saya, Salman dan beberapa rekan perjalanan lain keesokan harinya memutuskan untuk memakai celana pendek saja. Jangan bayangkan celananya tipe celana pantai gitu ya! Celana pendeknya masih sopan menurut saya karena masih menutupi lutut. Tapi ya bagian betis sih nampak, ya.

Walau begitu, saya sengaja membawa sarung untuk berjaga-jaga. Ya, siapa tahu kan ketemu penduduk yang tak berkenan dengan tampilan saya. Sehingga dengan sekejap, bagian betis dapat ditutupi.

Kami menikmati menjelajah beberapa tempat wisata terkenal di Takengon. Tak hanya berkeliling ke Danau Laut Tawar, kami juga sempat ke Pantan Terong yang merupakan dataran tertinggi di Takengon, lalu ke Loyang Mandale, situs yang memuat bukti peradaban manusia.

dsc-0900-5eaa8d28d541df2ff24c8462.jpg
dsc-0900-5eaa8d28d541df2ff24c8462.jpg
Di Goa Putri Pukes kami melihat sebuah batu berbentuk manusia yang diyakini sebagai seorang putri yang terkena kutukan. Di Air Terjun Mengaya kami sempat sedikit hiking ke perbukitan. Sungguh objek wisata di Takengon sungguh indah. Tak lupa, kami mencicipi kuliner dan menyesap kenikmatan Kopi Gayo yang terkenal itu.

Suatu sore, kami sempat mampir ke sebuah masjid sebelum kembali ke hotel. Masjid ini berada di pinggir sungai yang bersih. Rumah-rumah penduduk berderet rapi di sepanjang aliran sungai. Begitu tiba, saya segera ke tempat wudhu yang lagi-lagi bangunannya terpisah.

Saat masih berada di kamar mandi, saya mendengar ketukan suara yang cukup cepat.

"Yan, jangan keluar ya. Kamu harus pakai sarung dulu, tadi Salman dimarahin pengurus masjid."

Masjid tempat kami ditegur. Dokpri.
Masjid tempat kami ditegur. Dokpri.
Pemandangan indah di sekitar masjid. Dokpri.
Pemandangan indah di sekitar masjid. Dokpri.
Saya membuka pintu dan mendapati Aufa, menginformasikan tentang itu. Langsung saya buka tas selempang dan mengenakan sarung di sana. Begitu mendekati masjid, semua nampak senyum-senyum kecut.

"Nggak dimarahin kok, tapi tadi ya ditegurlah," sahut Bang Yudi memberi penjelasan.

Ah syukurlah. Saat itu, saya sempat menyesali kenapa harus nekat mengenakan celana pendek. Mestinya selalu pakai celana panjang. Tapi ya sudah terjadi dan kejadian ini saya jadikan pelajaran. Cukuplah jalan-jalan pakai celana pendek di kota lain saja, tidak untuk semua kawasan yang ada di Aceh.

Surau Indah di Tengah Sawah

Setahun berselang, siapa sangka saya dapat kembali ke Takengon secara tak sengaja. "Hah, kok bisa?" yup, dibilang tak sengaja karena tujuan saya ke Aceh kali ini ialah ke kota Lhokseumawe untuk menghadiri pernikahan sepupu.  Ternyata, jarak Lhoksumawe dan Takengon itu dekat! Jadilah, setelah pesta pernikahan selesai, saya dan rombongan memutuskan untuk one day tour ke Takengon. Yeay!

Hidangan saat pernikahan di prosesi Preh Dara Baru. Dokpri.
Hidangan saat pernikahan di prosesi Preh Dara Baru. Dokpri.

Berbekal kejadian sebelumnya, tentu di perjalanan ini saya tak mau mengambil risiko dengan lagi-lagi memakai celana pendek. Saya benar-benar menerapkan pepatah, "di mana  kaki berpijak di situ langit dijunjung."

Jadilah, saya mendadak jadi pemandu. Di hadapan orangtua, saya berlagak pamer karena sudah pernah ke sana hehe, tentu sembari mengenang perjalanan seru setahun sebelumnya. Dan, sebagaimana sebuah perjalanan, lagi-lagi kami mampir ke beberapa masjid untuk beribadah.

Surau indah di tengah sawah yang indah itu. Dokpri
Surau indah di tengah sawah yang indah itu. Dokpri
Di sebuah masjid di pinggir jalan, saya sempat melipir ke sisi samping dan mendapati ada sebuah surau sederhana yang berada di kejauhan tepat di tengah sawah. Kami memang tak salat di masjid/surau indah itu. Jadilah, saya hanya mengandalkan kamera hingga lensa mentok untuk mengabadikannya. Indah sekali!

Ah, semoga saya bisa kembali ke Tanah Gayo ini.

Penulis bagian dari Kompal.
Penulis bagian dari Kompal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun