Ketika ketersediaan properti rumah seken melimpah sementara konsumennya tidak bertumbuh secara signifikan maka harga menjadi sensitif terkoreksi sehingga lebih menguntungkan end user.
Jauh sebelum pandemi global covid-19, investasi properti merupakan bisnis yang relatif mudah dijalani dan tidak membutuhkan banyak waktu, sehingga banyak orang yang tergiur untuk mencobanya. Â
Apalagi di era digital 5.0 orang dengan leluasa dapat mengakses informasi termasuk di dalamnya tentang trend pasar yang menguntungkan dari bisnis ini.
Para investor/pemilik modal yang berasal dari beragam profesi tersebut diatas tadi berbondong-bondong berinvestasi properti dengan harapan gain di masa depan.
Para pemain/investor properti ini mampu membeli properti hingga rumah kedua dan ketiga bahkan keempat. Sementara end user properti rumah dari kalangan pasangan keluarga muda tidak bertambah secara signifikan.Â
Ditambah lagi pengembang perumahan yang notabene bermain di pasar rumah primer/rumah baru memberikan layanan dengan harga jual yang kompetitif. Tentu saja hal ini menguntungkan end user karena memiliki banyak pilihan dalam menentukan hunian.
Selain properti dari pasar primer yang dibangun dan dibeli dari pengembang perumahan, juga tersedianya pilihan rumah sekunder yang melimpah yang banyak ditawarkan para investor yang notabene merupakan penyedia rumah sekunder.
Dari kondisi tersebut mau tidak mau harga rumah sekunder menjadi tertekan. Akibatnya terciptalah gap/selisih harga antara rumah primer dengan rumah sekunder menjadi semakin "mepet".Â
Dengan kondisi seperti ini, investor properti atau pemain rumah sekunder menjadi tidak berkutik.
Apabila memasang harga jual rumah terlalu tinggi pasti tidak ada yang menawar karena end user lebih memilih properti primer/baru yang ditawarkan pengembang perumahan.
Dengan selisih harga yang mepet antara rumah primer dengan rumah sekunder, mengakibatkan end user lebih memilih rumah baru daripada rumah seken.Â