Mohon tunggu...
Bagus Suci
Bagus Suci Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat Pengetahuan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Suka belajar dan berbagi manfaat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cerdas Memilih BBM Berkualitas

7 Juni 2020   08:52 Diperbarui: 7 Juni 2020   09:04 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SPBU Pertamina. (credit: gridoto.com)

Polusi udara selalu berkaitan dengan aktivitas manusia. Ketika aktivitas manusia berhenti sejenak, maka tingkat polusi juga ikut turun dan udara menjadi bersih kembali. Inilah sekelumit berkah di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

Hal tersebut terbukti ketika DKI Jakarta dan beberapa kota lainnya melakukan pembatasan mobilisasi masyarakat karena pandemi Covid-19. Polusi udara di DKI Jakarta turun signifikan selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bahkan tingkat polusi itu turun ke level terendah dalam 3 tahun terakhir.

Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto menjelaskan pemberlakuan work from home (WFH) dan PSBB telah menurunkan rata-rata konsentrasi karbondioksida (CO2) sekitar 47 ppm atau turun 9,8% dibandingkan tahun 2019.

Tak hanya itu, kebijakan pembatasan aktivitas alias social distancing di DKI Jakarta juga berhasil membuat udara menjadi bersih kembali dengan kategori "Baik", yaitu nilai PM2,5 rata-rata sebesar 18,46 g/m3. Kualitas udara kota Jakarta seperti ini pertama kali terjadi setelah 28 tahun.

Tentunya, kita ingin kondisi kota dengan polusi yang rendah dan udara yang bersih ini bisa berlanjut ke depan, meski PSBB kemungkinan akan dilonggarkan. Hal itu seiring dengan kehidupan new normal yang diterapkan pemerintah pasca pandemi.

Pilih Bahan Bakar yang Tepat

Salah satu upaya untuk menekan angka polusi udara adalah dengan memperhatikan bahan bakar yang digunakan masyarakat. Orientasinya, kita harus mendorong penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi paling rendah.

Untuk kendaraan bermotor, gas buang (emisi) itu sangat tergantung pada jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digunakan. Biasanya ukuran untuk menentukan kualitas BBM itu disebut dengan Research Octane Number (RON), atau masyarakat kerap menyebutnya 'oktan'. 

Rumus sederhananya, BBM dengan angka RON yang rendah (atau kualitas yang buruk) akan menghasilkan polutan yang lebih besar. Sebaliknya, BBM dengan angka oktan yang semakin tinggi, maka pembakaran di mesin akan lebih sempurna. Alhasil, emisinya juga lebih rendah.

Di Indonesia, kita mengenal ada 5 pilihan BBM yang beredar berdasarkan angka oktan-nya, yaitu RON 88, 90, 92, 95 dan 98. Pertamina menjual Premium (88), Pertalite (90), Pertamax (92) dan Pertamax Turbo (98). Sementara, Shell punya Super (92) dan V Power (95), dan Total menjual Total 92 dan Total 95.

Di sini penting untuk mengetahui berapa oktan yang pas untuk kendaraan kita. Karena apabila tidak cocok, akan mengakibatkan knocking atau suara ngelitik pada mesin yang disertai getaran. Berikutnya, ruang mesin akan kotor karena pembakaran tak sempurna sehingga menimbulkan kerak.

Hal ini tentu akan merembet pada biaya perawatan yang tinggi karena sering ke bengkel, dan pada akhirnya harga jual akan turun sebab mesin sering bermasalah. Informasi mengenai kebutuhan RON kendaraan ini biasanya terdapat dalam buku manual kendaraan.

Nah, teknologi otomotif di Indonesia sebagian besar sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro2 sejak 1 Januari 2007, dan Euro3 khusus sepeda motor sejak 1 Agustus 2013. Secara umum, standarisasi kendaraan tersebut akan kompatibel dengan BBM yang nilai RON-nya di atas 90.

Bahkan untuk mobil yang berkategori Low Cost Green Car (LCGC) standarnya menggunakan BBM dengan nilai oktan 92 ke atas.

Bila dihitung secara rasional, penggunaan BBM dengan nilai oktan yang tinggi sebenarnya justru lebih irit bagi penggunanya. Kenapa? Karena jarak tempuhnya justru lebih jauh dan biaya perawatannya lebih murah.

Sebagai perbandingan, BBM dengan RON 88 (Premium) harganya Rp 6.450/liter dan jarak tempuhnya 'hanya' 11 km/liter. Sedangkan untuk RON 90 (Pertalite) harga Rp 7.650/liter daya tempuhnya 13 km/liter, kemudian RON 92 (Pertamax) harganya Rp 9.000/liter jarak tempuh lebih jauh lagi, yakni 14 km/liter.

Bila dihitung untuk jarak 20 km saja, mobil dengan RON 88 akan menghabiskan biaya Rp 11.727, kemudian RON 90 senilai Rp 12.000 (selisih Rp 273 dengan RON 88), dan RON 92 akan menghabiskan biaya Rp 13.000 (selisih Rp 1.273 dengan RON 88).

Menggunakan RON 88 sekilas memang terlihat lebih murah, tapi jika diterus-teruskan justru akan membengkak dalam biaya perawatan. Sebagaimana diterangkan di atas, BBM dengan nilai oktan yang rendah akan menghasilkan kerak di ruang pembakaran mesin.

Sedangkan, biaya pembersihan ruang mesin karena kerak itu bisa mencapai Rp 250.000 tiap perawatan, dan biaya penggantian piston itu sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Angka ini jelas tidak semurah jika kita menggunakan BBM dengan RON yang lebih tinggi.

Dengan hitungan matematis tersebut, bisa dikatakan jika menggunakan BBM dengan nilai oktan yang tinggi justru lebih menguntungkan bagi penggunanya. Inilah alasan logis dan rasional mengapa kita perlu memlih bahan bakar yang tepat dan sesuai dengan kapasitas mesin kendaraan.

Dampak Buruk pada Lingkungan

Sebagaimana diterangkan di atas, nilai RON berkaitan erat dengan gas buang (emisi) yang dihasilkan kendaraan. Logikanya, semakin tinggi nilai oktan BBM, maka pembakarannya semakin sempurna, dan polusi udara yang dihasilkan juga semakin rendah.

Sebagai perbandingan, BioSolar subsidi memiliki angka cetane 48 dan keluaran kadar sulfur mencapai <3.500 ppm. Sedangkan, Dexlite angka cetane-nya 51 dan kadar sulfurnya <1.200 ppm, kemudian Pertamina Dex sebagai flaghship produk terbaik Pertamina, memiliki angka cetane 53 dan kadar sulfur sangat rendah, yakni <300 ppm.

Yang perlu diketahui, penggunaan BBM dengan nilai oktan yang rendah memiliki banyak dampak negatif bagi lingkungan. Yang paling utama adalah menghasilkan polusi udara secara signifikan.

Dan, polusi udara itu sendiri memiliki beragam ekses negatif bagi kesehatan masyarakat. Misalnya, kandungan Nitrogen Dioksida yang terlalu tinggi sebagaimana dihasilkan emisi kendaraan bermotor beroktan rendah bisa menyebabkan penyakit paru-paru. 

Kemudian, hidrokarbon juga bisa menjadi pemicu kanker, serta polusi udara bisa berdampak buruk bagi perkembangan otak bayi dan anak-anak. Polusi udara juga bisa memicu stroke, kanker paru-paru, juga penyakit jantung.

Menurut catatan WHO, sembilan dari sepuluh orang menghirup udara kotor dan membunuh 7 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.

Epilog

Semua dari kita pasti berharap adanya kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Termasuk dari aspek lingkungan.

Pengalaman udara bersih karena adanya PSBB dan social distancing di Jakarta, harusnya menjadi motivasi agar kita bisa hidup dengan lebih sehat. Salah satunya dengan mendorong penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Inilah momentum penggunaan BBM yang lebih tepat dan sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun