Stabilisasi Harga BBM
Problem kedua, banyak masyarakat yang mengaitkan perihal dana kompensasi ke Pertamina ini dengan harga BBM.
Dalam logika awam, Pertamina dapat untung double saat harga BBM tidak turun, padahal harga minyak dunia lagi anjlok. Plus mendapat suntikan dana dari pemerintah pula.
Masalahnya, dunia perminyakan tidak sesederhana itu logikanya. Banyak pertimbangan lain yang menentukan harga BBM. Tidak hanya dipengaruhi oleh harga minyak dunia saja.
Yang perlu diketahui, BBM yang beredar saat ini masih menggunakan minyak mentah lama. Pertamina membeli minyak mentah saat harga belum jatuh beberapa bulan lalu. Jadi kalau diturunkan, Pertamina justru rugi besar.
Di sisi lain, harga minyak mentah dunia itu selalu fluktuatif. Harga minyak dunia memang sempat turun ke level terbawah beberapa waktu lalu. Tapi itu tidak bertahan lama. Saat ini, harga minyak dunia sudah merangkak naik lagi, bahkan sudah di atas 30 USD/barrel.Â
Jika harga BBM nekat diturunkan, Pertamina justru berpotensi rugi besar. Jika kerugian ini terjadi, maka akan terjadi pengurangan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Padahal, justru ini yang hendak dihindari di tengah pandemi.
Di samping itu, meski harga BBM tidak turun, Pertamina juga tidak bisa mengeruk keuntungan lebih. Karena saat ini, permintaan (demand) BBM juga turun akibat adanya pembatasan mobilisasi masyarakat (PSBB).
Turunnya penjualan BBM Pertamina ini hingga mencapai 30-50 persen. Padahal dalam kondisi normal 70 persen revenue Pertamina dari sisi penjualan BBM.
Sehingga tuduhan bahwa Pertamina sedang menikmati keuntungan besar karena tidak menurunkan harga BBM itu salah besar. Tudingan tersebut mengabaikan faktor bisnis Pertamina yang kompleks.
Sebaliknya, posisi Pertamina justru serba tidak enak akibat kondisi pandemi ini, plus masih berusaha mencari cara agar bisnisnya tetap bertahan.