Bahkan, saat harga crude dunia mulai naik sekalipun, Pertamina juga tidak ingin menaikkan harga BBM. Karena harga minyak dunia bukan satu-satunya parameter, namun ada berbagai hal lain yang menjadi pertimbangan.
Stabilisasi harga BBM ini lebih ditujukan untuk ketahanan energi dan stabilitas perekonomian nasional. Bayangkan saja jika harga BBM itu naik-turun tidak menentu, pasti banyak aktivitas ekonomi yang terganggu. Apalagi saat ini tengah ada pandemi covid-19.
Hal ini juga terkait dengan ekosistem industri hulu-hilir migas nasional, dimana ada ribuan pekerja di dalamnya. Opsi menurunkan harga BBM akan berpotensi mematikan bisnis sektor hulu migas nasional, sekaligus mendorong adanya PHK besar-besaran.
Tentu saja, itu bukan opsi yang bijak di tengah banyaknya industri yang kolaps dan jutaan pekerja yang dirumahkan karena pandemi Covid-19.
Di sisi lain, meski harga BBM tidak turun, Pertamina juga tidak bisa mengeruk keuntungan lebih. Karena saat ini, permintaan (demand) BBM juga turun akibat adanya pembatasan mobilisasi masyarakat (PSBB).
Alhasil juga berdampak pada penjualan BBM Pertamina yang menurun hingga 30-50 persen. Padahal dalam kondisi normal 70 persen revenue Pertamina dari sisi penjualan BBM ini.
Sehingga tuduhan bahwa Pertamina sedang menikmati keuntungan besar karena tidak menurunkan harga BBM itu salah besar. Tudingan itu mengabaikan faktor bisnis Pertamina yang kompleks secara logis dan rasional.
Sebaliknya, posisi Pertamina justru serba tidak enak akibat kondisi pandemi ini, plus masih berusaha mencari cara agar bisnisnya tetap bertahan.
Bahkan di tengah kesulitan tersebut, Pertamina masih membuat sejumlah program karikatif untuk membantu masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan memberikan cashback untuk sopir angkot dan pengemudi ojol.
Harga BBM Masih Kompetitif
Meski tidak diturunkan, harga BBM Pertamina sebenarnya masih kompetitif, baik di dalam maupun di luar negeri.