Mohon tunggu...
Oman Salman
Oman Salman Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Surel: salmannewbaru@gmail.com

Sedang belajar memahami anak dan ibunya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia Menjadi Perantara Kebahagiaan

31 Desember 2020   14:49 Diperbarui: 31 Desember 2020   15:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru di SMA kami sedang menyalurkan daging kurban di depan gedung sekolah. Dokpri

Memaknai Kebahagiaan dalam Pekerjaan

Izinkan dalam tulisan ini saya bercerita tentang pengalaman pekerjaan saya sebagai perantara, atau yang menjembatani kebahagiaan antara seseorang atau sekelompok orang dengan sekelompok lainnya. 

Pekerjaan apakah yang dimaksud?

Lebih dari 10 tahun saya menjadi salah satu guru sekaligus pengurus, juga perintis sekolah gratis bagi siswa kurang mampu. Mulanya sekolah itu mendirikan PAUD, lalu SMP dan kemudian SMA. Semuanya gratis sampai lulus. Syarat menjadi siswa di sekolah kami cuma dua: 1. Berasal dari keluarga tidak mampu; 2. Punya kemauan belajar.

Awal Mula Mendirikan Sekolah Gratis

Mulanya sekolah tersebut adalah sanggar belajar gratis yang menyediakan pendidikan ilmu komputer (terutama Microsoft word) dengan program unggulan mengetik sepuluh jari. Selain pembelajaran komputer, ada taman bacaan.

Selain kedua program itu, ada satu program lagi yaitu menyediakan beasiswa bagi siswa tidak mampu yang sedang menempuh pendidikan menengah.

Kegiatan ini berlangsung lumayan lama, kurang lebih tiga tahun, sehingga akhirnya pada sekitar tahun 2004 atau 2005, didirikanlah PAUD. Lalu tahun 2006 SMP berdiri. Dengan berdirinya SMP dan PAUD ini, sanggar belajar dan program beasiswa diberhentikan, atau lebih tepatnya dialihkan ke pendidikan PAUD dan SMP.

Kenapa Sekolah Gratis ini Bisa Berdiri?

Mulanya karena teman kami, lebih tepatnya senior saya di kampus, jatuh cinta kepada desa tempat ia KKN. Yaitu Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Selepas KKN ia kembali ke Desa dan menetap di sana lalu mendirikan sanggar, SMP dan SMA, seperti yang saya deskripsikan di atas secara singkat.

Alasan utamanya mendirikan sekolah gratis tersebut adalah karena waktu itu di desa tersebut belum ada PAUD, apalagi SMP dan SMA. Hanya ada satu SD negeri, dan satu madrasah ibtidaiyah swasta. 

Tingkat putus sekolah di desa tersebut sangat tinggi.
Karenanya, mayoritas anak-anak yang seharusnya bersekolah (SLTP), karena tidak ada sekolah yang dekat, dan karena ketidakmampuan ekonomi, mereka putus sekolah.

Lalu apa yang mereka lakukan? Anak-anak laki-laki bekerja, menganggur, dan sebagian dari perempuannya menikah muda.
Hal-hal itulah yang menjadi alasan utamanya mendirikan sekolah gratis.

Saya sendiri baru benar-benar bergabung dan ikut merintis sekolah tersebut pada bulan Januari tahun 2007. Sebelumnya saya hanya sesekali berkunjung ke kampung tersebut sambil silaturahmi kepada senior saya itu.

Mungkin ada pertanyaan bagaimana dan dari mana biaya untuk pendidikan gratis tersebut? Dan di mana tempat belajarnya, apakah sudah mendirikan bangunan sebelum ada siswa? Dan bagaimana gaji guru-gurunya?

Untuk sumber dana, ada sebuah yayasan sosial yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan gratis bagi anak-anak tidak mampu yang membantu memberikan dana bulanan. Meskipun dengan dana yang terbatas. Seraya pihak yayasan meminta keyakinan kepada para pengajar dan terutama perintisnya, apakah mereka yakin akan menyelenggarakan pendidikan tersebut secara berkesinambungan.

Sementara para guru yang mengajar di sana lebih tepatnya disebut sebagai relawan. Sebab mereka belum atau tidak digaji. Ada sedikit sebagai uang transportasi.

Sejak berdirinya di tahun 2006, SMP gratis tersebut mengalami kesulitan tenaga pengajar. Jadi, pengajar yang ada sering keluar-masuk. Ya, mungkin namanya relawan, jadi tidak ada ikatan kerja apapun. 

Dengan kondisi ini teman kami, benar-benar kebingungan.
Sehingga di tahun 2006 akhir ia berhasil membujuk saya dan sekitar enam oang teman lainnya untuk membantu SMP yang ia kelola. Waktu itu kami masih kuliah, semester 7 atau 8. Akhirnya sekitar Januari 2007 kami bersedia membantu mengajar di sana.

Menariknya, semua pengajar waktu itu berusia sekitar 23 tahunan, kecuali teman kami yang mendirikan sekolah tersebut, usianya 30an. Namun dari kami belum satu pun yang sudah menikah.

Mungkin karena masih muda atau mungkin memang ada dorongan ingin membantu anak-anak tidak mampu agar tetap bersekolah, kami mengajar dengan enjoy walaupun hanya ada uang transportasi sebagai apresiasi dari tugas kami mengajar.

Tempat Tinggal Sekaligus Sekolah Tempat Belajar

Jadi, teman kami mendirikan sekolah betul-betul dengan modal nekad. Tak ada tanah, apalagi gedung. Di tahun pertama, baik PAUD maupun SMP, menyewa gedung madrasah ibtidaiyah sebagai kelas sekaligus kantor. Dan menyewa satu rumah sebagai tempat tinggal senior kami.
Kenapa harus menyewa rumah? 

Jadi, senior kami yang mendirikan sekolah di sana bukanlah orang sana, ia seorang pendatang. Maka ia harus mengontrak rumah sebagai tempat tinggal. Kami semua pun adalah pendatang. Jadi ketika kami mengajar, kami istirahat di rumah sewaan tempat tinggal senior kami tersebut.

Setahun kemudian, gedung madrasah tersebut tak lagi dapat digunakan. Akhirnya setelah diskusi, kami putuskan mulai sekitar Maret 2007 tempat belajar PAUD sekaligus SMP adalah di rumah sewaan tempat tinggal kami para pengajar.

Rumahnya lumayan besar, ada 3 kamar, ruang tamu yang lumayan luas, dapur dan kamar mandi. Serta halaman depan rumah sekitar 10 meter persegi.

Ruang tengah tersebut disekat oleh rak buku sebagai pemisah kelas. Jadi, pagi hari jadwal anak-anak PAUD, dan selepas duhur jadwal anak-anak SMP. Jadilah, kami tidak boleh malas bangun pagi. Sebab jika malas, maka belum juga kami mandi siswa PAUD akan sudah tiba diantar ibunya.  

Thun berikutnya, 2008, PAUD menyewa sebuah ruko, sebagai tempat belajar. Sementara SMP masih di rumah. Namun tetap saja jam belajar dibagi pagi dan siang. Sebab tahun 2008 jumlah kelas bertambah. Tidak cukup jika semuanya harus masuk pagi.

Di tahun 2008 ini beberapa teman kami mulai berhenti mengajar. Sebab tahun 2008 beberapa dari kami sudah ujian skripsi. Beberapa dari teman kami ada yang pulang kampung, ada yang mencari pekerjaan, dan ada yang menikah. Sehingga tinggal saya dan dua teman lainnya. Serta teman kami yang pendiri sekolah tersebut. Dan satu lagi ada warga pribumi, perempuan, yang mengajar agama. Oh ya semua guru di sana waktu itu laki-laki, kecuali guru agama, yang orang asli dari desa tersebut.

Kedua teman saya lebih sering pulang pergi dari tempat mengajar ke tempat kos di Depok. Sementara saya lebih sering menginap di rumah sekaligus sekolah tersebut bersama senior saya tersebut.

Kami sering bertukar pikiran, khususnya tentang, masa depan sekolah yang masih belum punya gedung. Sementara, yayasan belum siap membangun gedung. Waktu terus berjalan, dan siswa semakin bertambah.

Untuk tanah, sekitar tahun 2006, waktu awal-awal pendirian, ada seseorang yang menyumbangkan uangnya yang sebetulnya uang itu mau dia pakai untuk umroh. Orang tersebut adalah kenalan senior saya dan temannya.

Mengetahui jika senior saya mendirikan sekolah dan belum ada tanah, beliau membatalkan umrohnya dan uang itu dipakai untuk membayar tanah. Namun tidak sampai lunas. Sebab masih kurang.

Sehingga untuk kurangnya, dengan kesepakatan dengan penjualnya, dicicil. Untuk cicilan tanah perbulan, kami mendapat bantuan dari seorang dermawan yang sekaligus juga pendiri yayasan yang membantu sekolah gratis tersebut. 

Namun sampai berjalannya cicilan tanah tersebut masih belum ada tanda-tanda akan dibangun sekolah. Desas-desus tentang masa depan sekolah yang tidak punya harapan dan sekolah tidak jelas mulai berkembang. Kami selaku dewan guru sekaligus pengurus sekolah dibuat pusing.

Tak sedikit dari siswa, wali siswa, serta masyarakat umum yang menanyakan masa depan sekolah kami. Khususnya yang berkaitan dengan gedung. Sementara itu, rumah sewaan tempat tinggal kami yang sekaligus tempat belajar anak-anak pun kabarnya akan segera digunakan oleh pemiliknya. Malah ada kabar akan dijual.

Kami benar-benar kebingungan. Sehingga selain mengajar kami juga menyusun proposal guna mendapatkan bantuan dana untuk pembangunan gedung sekolah. Siang mengajar, malam berdiskusi tentang proposal dan ini itu tentang masa depan sekolah.

Hingga akhirnya proposal kami berbuah manis. Ada donatur dan yayasan lainnya yang bersedia menyumbangkan dana untuk pembangunan gedung. Termasuk Yayasan kami yang setiap bulan rutin memberikan biaya operasional pun turut membantu untuk pembangunan gedung tersebut.

Nafas kami mulai lega. Kini kami bisa fokus mengajar lagi, tanpa harus memikirkan untuk mencari bantuan dana untuk pembangunan gedung. Walau sederhana dan masih berlantai tanah, gedung itu kami gunakan untuk yang pertama kalinya dalam acara syukuran kelulusan siswa angkatan pertama SMP pada tahun 2009. Jumlahnya ada sekitar 24 orang, jika saya tidak salah ingat. Kami semua lega dan bahagia.

Sebagai catatan tambahan, legalitas SMP kami adalah SMP Terbuka menginduk ke SMP Negeri. Maka ijazah pun didapatkan dari SMP Negeri. Lalu di tahun kelulusan angkatan pertama siswa SMP, kami kembali nekad dengan mendirikan SMA guna menampung mereka. Jadilah kami memiliki SMP dan kini SMA. Alhamdulillah yayasan mendukung.

Kini di desa tersebut tak ada lagi anak yang putus sekolah, tak ada anak perempuan yang harus menikah muda karena tidak ada sekolah. Bahkan, kini PAUD dan SMP serta MTs berdiri di desa tersebut.

Mungkin ini keberkahan dari yang namanya berbagi dan memberi. Ketika kita berbagi, maka bukan hal yang mustahil darinya akan lahir kebaikan-kebaikan. Apalagi jika kita berbagi kepada orang-orang yang tidak mampu.

Bahagia Sebagai Perantara Kebahagiaan

Apa yang kami lakukan tak ubahnya seperti perantara. Ya, kami hanya mampu menjadi perantara antara orang kaya yang dermawan dengan anak-anak tidak mampu. Ada kebahagiaan tersendiri dapat berperan seperti ini.

Dapat membantu orang lain bahagia adalah kebahagiaan itu sendiri.

Juga apa yang telah diperjuangkan oleh JNE selama 3 dekade ini. JNE telah menyambungkan kebahagiaan masyarakat Indonesia. JNE telah memberikan jutaan senyum bahagia mereka yang mendapatkan paket yang dinanti-nanti dan mereka yang mengirimkan paket tersebut.

Tanpa jasa pengiriman, tak mungkin hal itu dapat terwujud. Senyum penerima paket mungkin akan menjadi penawar lelah Abang pengirim paket. Bahagia mereka, tentu bahagia JNE pula.

Seperti halnya bahagia anak-anak tidak mampu yang akhirnya dapat bersekolah dan kini mampu hidup mandiri dari bekal pendidikan, adalah kebahagiaan kami dan siapapun yang bergerak di bidang sosial pendidikan.

Mari berbahagia dengan semangat memberi, berbagi, dan menyantuni kepada sesama.


Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun