Diriwayatkan ada seorang pemuda yang gemar berbuat maksiat pada zaman Nabi. Pemuda itu ingin bertaubat dan ingin masuk Islam. Ia datang menemui Rasulullah.
Pemuda itu mengutarakan niatnya dan menceritakan tabiatnya yang gemar bermaksiat. Rasulullah mengizinkan sang pemuda memeluk Islam. Sang pemuda mengajukan permintaan kepada Rasulullah.Â
Ia meminta untuk tetap diizinkan berbuat maksiat walau ia telah masuk Islam. Rasulullah hanya tersenyum. Lalu beliau mengizinkan. Namun beliau meminta satu syarat kepada sang pemuda.
"Apa gerangan syarat tersebut wahai Rasulullah?" Tanya sang pemuda.
"Syaratnya, saudara jangan berbohong!" Jawab Rasulullah.
Singkat cerita, sang pemuda pulang dengan perasaan lega. Ia sangat gembira masih diizinkan bermaksiat oleh Rasulullah. Mudah sekali syaratnya, hanya jangan berbohong. Bisiknya.
Suatu saat sang pemuda tergoda melakukan maksiat. Ia mendatangi seorang wanita tuna susila dan berniat melakukan maksiat sebagaimana yang sering ia lakukan. Namun sebelum ia melakukan maksiat, ia berpikir sejenak. Wah, bagaimana jika nanti aku ketemu Rasulullah. Jika beliau bertanya tentang kebiasaanku. Jika aku jawab jujur, aku malu telah melakukan maksiat. Jika aku bohong, aku melanggar janjiku.Â
Sang pemuda kini sadar. Pesan singkat Rasulullah yang terkesan ringan, sungguh sangat berat dan bermakna. Dan mampu merubah tabiatnya.
Dari kisah singkat di atas, bohong mendapat perhatian yang sangat serius oleh Nabi. Ia adalah sesuatu yang sangat prinsip dalam hidup. Sampai-sampai Rasulullah hanya berpesan kepada pemuda di atas untuk berjanji tidak akan berbohong. Sang pemuda pun dengan gembira menerima syarat itu. Bahkan itu terdengar remeh dan mudah. Namun ia salah. Justru dengan satu kata singkat itu akhirnya mampu merubah perilakunya.
Hoax dan Lunturnya Nurani
Cerita di atas kiranya mengingatkan kita semua untuk meninggalkan perbuatan bohong. Namun dewasa ini, kita banyak disuguhi berita-berita bohong atau sering kita sebut dengan hoax. Begitu mudah den menjamurnya fenomena hoax ini.Â
Mengutip pernyataan Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Nasional, Wawan Purwanto, dalam Kompas.com edisi 15 Maret 2018, "saat ini informasi hoax sudah mencakup 60% dari konten media sosial di Indonesia."Â
Angka ini mungkin dapat bertambah atau berkurang saat ini. Namun yang pasti, sampai saat ini hoax masih banyak tersebar di media-media sosial.
Fenomena hoax menunjukkan betapa mudahnya orang berbohong dan menyebarkan kebohongan tersebut. Seakan mereka tak acuh dengan dampak bahaya dari hoax bagi masyarakat, terutama masyarakat awam.Â
Dan yang memprihatinkan adalah hoax ini sudah menjadi sesuatu yang dijalankan dengan sistematis bahkan komersil. Ada pihak-pihak yang sengaja memproduksi hoax demi kepentingan kelompok tertentu.
Dampak dari hoax ini sangat serius. Masyarakat kita masih banyak yang menerima mentah-mentah hoax yang beredar. Sebagian masyarakat masih belum dapat mencerna (berpikir kritis) terhadap informasi yang masuk kepada mereka. Dan parahnya lagi, dengan mudah pula mereka mempublikasikan berita yang ternyata hoax itu.
Dengan maraknya fenomena berita bohong atau hoax ini, rasanya mereka (para pelaku hoax) sudah meremehkan sesuatu yang sebetulnya berat. Mungkin karena sudah terbiasa berbohong dan menyebarkannya, mereka tak lagi merasa beban dan tak merasa bersalah.
Bolehkah kita sebut mudahnya seseorang membuat hoax dan menyebarkannya sebagai seseorang yang sudah melupakan nuraninya?Â
Orang bijak berkata, untuk mengukur sesuatu yang kita perbuat bernilai tidak baik adalah dengan bertanya pada hati nurani. Jika hati nurani menolak apa yang kita perbuat, maka perbuatan itu berarti salah.Â
Jika kita berbohong dan nurani kita menolak, kita masih beruntung. Namun apa jadinya jika kita berbohong lantas nurani kita diam saja tanpa reaksi?!
Jika kita tarik pelajaran dari kisah di atas, Nabi telah berpesan kepada kita semuanya untuk menjauhi berbohong, apalagi menyebarkan kebohongan. Sebuah pesan yang sangat singkat namun sarat makna.Â
Mungkin melalui pesannya kepada pemuda di atas, Nabi sudah memprediksi jika umatnya kelak akan menganggap bohong sebagai sesuatu yang remeh, padahal bohong adalah perkara yang sangat berat dan berbahaya. Bohong akan merusak tatanan kehidupan, yang dimulai dari terkikisnya hati nurani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H