Hoax dan Lunturnya Nurani
Cerita di atas kiranya mengingatkan kita semua untuk meninggalkan perbuatan bohong. Namun dewasa ini, kita banyak disuguhi berita-berita bohong atau sering kita sebut dengan hoax. Begitu mudah den menjamurnya fenomena hoax ini.Â
Mengutip pernyataan Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Nasional, Wawan Purwanto, dalam Kompas.com edisi 15 Maret 2018, "saat ini informasi hoax sudah mencakup 60% dari konten media sosial di Indonesia."Â
Angka ini mungkin dapat bertambah atau berkurang saat ini. Namun yang pasti, sampai saat ini hoax masih banyak tersebar di media-media sosial.
Fenomena hoax menunjukkan betapa mudahnya orang berbohong dan menyebarkan kebohongan tersebut. Seakan mereka tak acuh dengan dampak bahaya dari hoax bagi masyarakat, terutama masyarakat awam.Â
Dan yang memprihatinkan adalah hoax ini sudah menjadi sesuatu yang dijalankan dengan sistematis bahkan komersil. Ada pihak-pihak yang sengaja memproduksi hoax demi kepentingan kelompok tertentu.
Dampak dari hoax ini sangat serius. Masyarakat kita masih banyak yang menerima mentah-mentah hoax yang beredar. Sebagian masyarakat masih belum dapat mencerna (berpikir kritis) terhadap informasi yang masuk kepada mereka. Dan parahnya lagi, dengan mudah pula mereka mempublikasikan berita yang ternyata hoax itu.
Dengan maraknya fenomena berita bohong atau hoax ini, rasanya mereka (para pelaku hoax) sudah meremehkan sesuatu yang sebetulnya berat. Mungkin karena sudah terbiasa berbohong dan menyebarkannya, mereka tak lagi merasa beban dan tak merasa bersalah.
Bolehkah kita sebut mudahnya seseorang membuat hoax dan menyebarkannya sebagai seseorang yang sudah melupakan nuraninya?Â
Orang bijak berkata, untuk mengukur sesuatu yang kita perbuat bernilai tidak baik adalah dengan bertanya pada hati nurani. Jika hati nurani menolak apa yang kita perbuat, maka perbuatan itu berarti salah.Â
Jika kita berbohong dan nurani kita menolak, kita masih beruntung. Namun apa jadinya jika kita berbohong lantas nurani kita diam saja tanpa reaksi?!