Tai menurut Om-G mah, rasanya mengubah “layanan yang menyebalkan” tadi menjadi sebuah “layanan prima” tidak terlalu sukar kok, dan tidak memerlukan “pengorbanan”(dan biaya) yang berlebihan. Yang penting adalah perhatian, dan mau menempatkan diri sebagai pelanggan (seolah-olah).
Lalu bagaimana dengan biayanya? Ya tidak berlebihan lah... apalagi kalau dibandingkan dengan dampak buruk dari “iklan negatif” yang disebarkan oleh para pelanggan yang kesal dan sebal tadi...
- Pada kasus “mobil travel”,kalau Om drivernya lebih perhatian, dan menempatkan diri atau membayangkan diri sebagai orang yang sudah sepuh dan sukar menahan pipis, lha apa salahnya berhenti 2-3 menit di SPBU terdekat, tidak usah menunggu 3,5 jam dulu setelah berkali-kali SPBU nya terlewat. Berapa biayanya? Nol!
- Pada kasus “lesehan”, dengan harga yang wajar (yang diterapkan untuk “penduduk asli”), penjual pasti sudah mendapatkan untung, ‘kan? Ya sudah, jangan serakah deh!
- Pada kasus “gelas berlipstick”, lha apa susahnya si waiter diberdayakan pula sebagai petugas QC sehingga gelas yang belum bersih tadi tidak sampai lolos kepada pelanggan. Kalaupun sekali-sekali lolos juga, ya sudah, jangan nyolot... ganti saja jus dan gelasnya dengan yang baru dengan disertai permohonan maaf yang tulus. Untuk mengambil hati si pelanggan yang kesal, mungkin bagus juga kalau jus nya (atau keseluruhannya) digratiskan. Berapa ongkosnya? Pasti lebih sedikit daripada dampak negatif akibat iklan negatif dari pelanggan yang sebal.
- Pada kasus perusahaan penerbangan, jangan pernah lagi membedakan pemberian layanan berdasarkan bule dan bukan bule deh! Amat sangat menyebalkan banget, tahu? Sebaliknya, kalaupun itu terjadi, tawarkan saja kepada kedua penumpang yang nomornya sama tadi seat di kelas yang lebih tinggi (apa sih istilahnya? Di-upgrade ya..?).
Berapa cost-nya? Halah... hampir nol deh. Paling-paling seharga selisih harga makanan yang diberikan selama penerbangan (karena perbedaan antara kelas ekonomi dan kelas bisnis atau kelas utama). [Catatan: Karena pada saat itu bukan peak season, sehingga seat di kelas bisnis / kelas utama ndak penuh, jadi meng-upgradedua penumpang tadi tidak berarti membatalkan pendapatan perusahaan untuk penjualan ticket di kelas bisnis utama, wong banyak seat yang kosong kok...].
Kalau ini dilaksanakan, ada kemungkinan bahwa “iklan negatif”yang mungkin akan disebarkan oleh penumpang yang dibuat ribet tadi, akan berubah menjadi “iklan positif” karena si penumpang puas terhadap penanganan masalah yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan tadi. Jangan-jangan mereka mengharapkan agar suatu hari nanti terjadi lagi “nomor seat ganda” terhadap mereka, agar kembali di-upgrade kelas nya...
Sekarang bagaimana dengan biaya tambahan untuk contoh-contoh kasus yang bagus tadi? Tidak besar deh, wong cuma cukuran jenggot dan sambel doang kok... Paling-paling yang agak mahal adalah kue ulang tahun tadi yang mungkin berharga beberapa ratus ribu rupiah. Tapi apa artinya beberapa ratus ribu rupiah dibandingkan dengan tarif menginap tiga malam untuk 30 kamar?
Nah sekian dulu ya cerita Om-G tentang layanan prima. Setelah membaca ini, Om dan Tante akan memilih layanan yang bagaimana untuk bisnis Om dan Tante? Pasti layanan prima, ‘kan?
Selamat berpuasa bagi umat muslim.
Salam,
Om-G.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H