Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tarif Bis Kota Tidak Selalu Harus Murah!

15 Januari 2016   14:04 Diperbarui: 15 Januari 2016   14:10 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Kompasiana.com/Om-G, 15 Januari 2016]

Yup, betul sekali Om dan Tante sekalian...  Sampeyan tidak salah baca, salah dengar atau sedang ngelindur! Om-G benar-benar bilang bahwa tarif bis kota/ angkot tidak selalu harus murah! Wah wah wah... Om-G nyelenéh sendiri nih, tidak membela rakyat kecil, borju,... Apa pengen digebukin orang se-RT?

Yé ntar dulu, dengar dulu penjelasan Om-G ya..?

Sudah pada baca belum, tulisan Om-G yang berjudul “Apa Yang Diharapkan Oleh Penum­pang Bis Kota” ? [http://www.kompasiana.com/om-g/apa-yang-diharapkan-oleh-penumpang-bis-kota_5695d2e63eafbd72048b4568]. Kalau belum, baca dulu, gih...

Di situ, Om-G menulis bahwa “...Sekarang, bagaimana dengan keinginan Pemerintah Provinsi DKI (dan mungkin ini juga merupakan keinginan dari masyarakat banyak) bahwa keberadaan bis kota dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, yaitu dengan berkurangnya jumlah kendaraan pribadi yang “beredar” di jalan raya...”.

Nah tuh, Om dan Tante kepingin nggak, bermacet-macet terus di jalan? Pasti tidak,’kan? Padahal kenyataannya makin lama makin parah deh... Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, macet terus... Iya nggak?

Dan, diakui atau tidak, kemacetan ini antara lain merupakan kontribusi dari banyaknya kendaraan pribadi yang berseliweran di jalan, padahal satu mobil mungkin isinya hanya satu atau dua orang. Bandingkan dengan bis yang isinya bisa puluhan orang... Jadi misalnya kalau 50 orang yang tadinya menggunakan 25 mobil pribadi bisa “ditarik” semuanya menjadi menggu­nakan bis kota (1 bis saja), jalan raya akan lebih kosong, ‘kan?

[Mungkin membacanya akan lebih “enak” begini: Kalau 5 juta penduduk Jakarta tadinya memakai 2,5 juta mobil (dan jadi macet di mana-mana) kemudian semuanya memilih memakai bis kota (sebanyak ~ 100 ribu bis kota), maka jalan raya pasti tidak akan semacet sekarang,’kan?]. (Memang sih, contoh tadi lebay banget, karena yang 5 juta tadi tidak semuanya memakai mobil pribadi, dan tidak bakalan juga bahwa semua dari mereka akan berpindah ke bis kota... Tapi prinsipnya mah pasti betul: ada pengurangan jumlah kendaraan kalau orang-orang bisa dipindahkan dari mobil pribadi ke kendaraan berkapasitas lebih besar. Setuju, ‘kan?].

Trus, bagaimana caranya “memindahkan” orang-orang yang tadinya memakai kendaraan pribadi agar mau menjadi penumpang bis kota (dalam rangka mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalan raya tadi) ?

Menurut Om-G, seperti telah ditulis pada artikel sebelumnya tadi, antara lain kuncinya adalah masalah kondisi dan pelayanan.  “Kalau pelayanan yang diberikan oleh bis kota sudah sesuai dalam memenuhi keinginan masyarakat dalam ber-bis-kota, pasti deh tanpa diimbau, tanpa disuruh, tanpa dipaksa pun sebagian besar dari masyarakat akan beralih dari tadinya mempergunakan kendaraan pribadi menjadi pengguna setia bis kota...”.  Dan di artikel itu Om-G menuliskan adanya 15 point yang harus dipenuhi untuk “membujuk” para Om dan Tante yang biasa memakai mobil pribadi agar mau beralih ke bis kota.

Masalah selesai? Belum! Justru di sini lah tulisan Om-G ini dimulai, yang tadi itu mah baru “intro”...!

Begini, taruhlah Pemprov. DKI bersedia dan mau untuk merealisasikan “petisi 15 point” yang dituntut oleh para pemakai mobil pribadi tadi... Tapi trus ongkosnya bisa besar sekali lho, karena agar acceptable untuk semua orang (termasuk harus acceptable untuk orang-orang yang biasanya memakai mobil pribadi yang kinclong...), berarti harus diambil standar yang paing tinggi, ’kan?

Contoh, ambil masalah “kenyamanan”. “Standar kenya­manan” antara satu orang dengan orang lain bisa (jauh) berbeda lho...

Misalnya tentang masalah sound system: ada orang yang merasa bahwa musik yang diperdengarkan sudah bagus kalau suaranya keras, sedangkan bagi orang yang lain, pengertian bagus itu adalah kalau sound system nya Hi-fi a.k.a high fidelity. [Ada teman yang cerita bahwa bagi kebanyakan orang, musik digital dengan perangkat yang bagus mungkin sudah dianggap bagus, tetapi bagi para  “fanatik” mah itu tidak cukup. Mereka menginginkan musik yang “analog”, jadi kalaupun source-nya digital, signalnya diubah lagi menjadi analog... Ah Om-G juga gak ngerti deh tentang yang begini-begini mah...]. Nah, harga pengadaan sound system untuk “konsumen” yang berbeda tadi bisa sangat berbeda, ‘kan?

Contoh lain. Bagi sebagian orang, sudah cukup banget kalau temperatur ruangan di dalam bis sudah adem karena memakai AC; tapi untuk sebagian orang lain, itu belum cukup, karena selain AC nya harus adem, tidak berisik, juga harus ditambahkan air purifier yang juga menyemburkan ion-ion negatif untuk menetralkan polutan-polutan yang ada.

Mau contoh satu lagi? Nih... Bagi sebagian orang, jarak antar kursi yang “x” centimeter sudah cukup, tapi bagi orang lain yang lebih jangkung, yang kakinya lebih panjang, diperlukan jarak antar kursi yang lebih besar daripada “X”  tadi agar nyaman bagi dia. Kalau kita mengikuti standar yang ke dua, barangkali kapasitas bis kota jadi menurun dari 50 penumpang menjadi 40 penumpang karena dengan jarak antar kursi yang lebih besar berarti jumlah deretan/baris kursi akan berkurang.

Dsb, dst, dll.

Nah kalau kita ingin membuat bis kota yang memenuhi keinginan setiap orang, yang artinya kita harus memakai standar yang tertinggi, artinya bisa mahal sekali... Lha, rasanya lebay juga ya kalau untuk bis kota saja harus dengan “at any cost”... Mendingan APBD nya dialokasikan untuk hal-hal yang lain juga...

Trus bagaimana dong, kita pakai saja standard yang “di bawah” ? Heu, nanti para pemobil pribadi yang bagus-bagus tadi susah dong diajak ber-biskota-ria, padahal ‘kan katanya kita pun berkepentingan bahwa mereka naik biskota supaya kemacetan jalan raya berkurang...

Nah, Om-G mengusulkan agar bis kota dibikin dua versi: versi biasa dan versi mewah. Yang versi biasa ya memakai standar yang bawah (tapi mestinya cukup bagus juga: pakai AC, pakai musik, bersih, nyaman, dsb.). Yang versi mewah memakai standar yang lebih tinggi. [Kalau perlu malah kita buat saja tiga versi: biasa, lumayan mewah dan mewah, dengan perbedaan standar seperti yang diceritakan di atas...].

Lha, demi memenuhi rasa keadilan, mestinya tarif bis kota yang mewah kita pasang pada tarif yang “mewah” juga dong (tapi harus tetap di bawah tarif taxi yang mewah juga deh, kalau tidak, mereka akan mempergunakan taxi mewah tadi dong, trus jadi tetap macet...). Iya ‘kan? Adil, ‘kan?

Nah  keuntungan dari bis kota mewah ini bisa dipakai untuk mensubsidi silang bis kota biasa (yang bisa kita bikin lebih bagus dan lebih nyaman dengan subsidi silang ini...). Setuju, ‘kan?

Tapi Om-G, apakah ini tidak melukai perasaan masyarakat banyak, yaitu para pengguna bis kota biasa? Wah Om-G bukan pakar masalah sosial ya, tapi mudah-mudahan masalah seperti ini tidak terjadi. Lha untuk kereta api, bis antar kota, kapal laut, kapal terbang juga ada kelas ekonomi, bisnis, dan first class, ‘kan? Mestinya kalau hal seperti ini diterapkan pula untuk bis kota, (mudah-mudahan) mah tidak menimbulkan gejolak...

Mudah-mudahan dengan penjelasan yang panjang dan lebar ini Om dan Tante tidak lagi cemberut kepada Om-G karena berani-beraninya mengusulkan bahwa tarif bis kota tidak perlu selalu murah. Jelasnya, untuk masyarakat banyak, tarif bis kota nya tetap murah tapi untuk yang ingin bis kota “kelas bisnis” atau “kelas satu”, wajar juga kalau tarifnya tidak harus murah, ‘kan?

Setuju, Om dan Tante?

 

Salam hangat,

Om-G.

[Kompasiana.com/Om-G].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun