Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perpanjangan Kontrak Freeport, Haruskah?

16 Desember 2015   17:52 Diperbarui: 16 Desember 2015   18:17 3835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[Kompasiana.com/Om-G, Opini, 15 Des 2015, 33]. 

Sudah beberapa lama soal perpanjangan kontrak Freeport ini menjadi perhatian masyarakat Indonesia, barangkali diantaranya terpicu oleh hingar bingar sidang MKD berkaitan dengan apa­kah SN dianggap melanggar etika dan kepatutan atau tidak. Bersamaan dengan itu, ada pertanyaan yang sangat penting yang harus dijawab: Apakah kontrak PT Freeport Indonesia ini sebaiknya diperpanjang atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita coba jawab dulu pertanyaan-pertanyaan sederhana ini: (1) Mungkin tidak, kontrak PT Freeport Indonesia tidak diperpanjang pada 2021?, (2) Apa konseku­ensinya kalau tidak diperpanjang dan apa plus-minusnya bahwa kontrak Freeport diperpanjang diban­dingkan de­ngan tidak diperpanjang? Dengan menjawab kedua pertanyaan utama tadi, mestinya akan lebih mudah bagi kita untuk menentukan alternatif mana yang harus dipilih di antara ke dua kemungkinan tadi: diperpanjang atau tidak?

Boleh tidak kontrak Freeport tidak diperpanjang setelah masa kontraknya habis? Secara logika sederhana:boleh dan bisa banget! Contoh sederhananya begini: Kalau Anda punya rumah yang kemudian dikontrak­kan kepada pihak lain selama dua tahun; lalu setelah dua tahun dan masa kontrak habis, apakah Anda diharuskan untuk memperpanjang kontrak bila yang mengontrak sebelumnya ingin memperpanjang? Ya ndak, toh?

Tentang perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia juga sama persis. Jadi kalau Indonesia sebagai pemilik, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, memutuskan untuk memper­panjang atau tidak memperpanjang kontrak, ya terserah Indonesia dong...

Apa konsekuensi kalau kontrak tersebut tidak diperpanjang? Secara sederhananya akan ada tiga konsekuensi yang sering dikemukakan: masalah (kemampuan) tenaga kerja Indonesia, masalah teknologi, dan masalah finansial. Begitu, ‘kan?

Baik, mari kita bicarakan satu demi satu:

Bagaimana tentang masalah (kemampuan) tenaga kerja Indonesia?Kalau misalnya kontrak tidak diper­panjang, sanggupkah orang Indonesia meneruskanmengoperasikan perusahaan per­tam­bangan yang kegiatannya kompleks dan berskala besar seperti yang ada di PT Freeport Indonesia? Lha, kenapa tidak sanggup? Sebagian besar karyawan Freeport ‘kan orang Indonesia? Sisanya yang expat pun diteruskan saja bekerja di sana, mereka hanya “berganti baju seragam” kok (yang disebabkan karena kepemilikan perusahaan yang berubah...)[1]. Bagaimana kalau ada yang resign? No problemo! Buka saja perekrutan baru. Di dunia pertambangan rasanya biasa sekali ada penawaran perekrutan secara internasional. Beres toh?

Bagaimana dengan masalah teknologi? Sama saja deh dengan persoalan tenaga kerja tadi. Kalau ada masalah paten atau masalah teknologi lainnya, kita tawarkan saja kepada pemilik paten atau teknologi tadi, mau tidak mereka meneruskannya setelah ada pergantian kepemilikan. Bagaimana kalau tidak? Seperti persoalan tenaga asing tadi, kita buka juga penawaran internasional. Beres juga toh?

Bagaimana tentang masalah finansial? Indonesia ‘kan barangkali tidak punya cukup uang untuk menasionalisasi PT Freeport yang konon bernilai ratusan (atau ribu) trilyun rupiah? Bukankah dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk keperluan pembangunan yang lainnya? 

Dalam hal ini, tolong bedakan pengertian antara menasionalisasi dan perpanjangan kontrak. Nasionalisasi diartikan sebagai pengambilalihan (oleh Negara) kepemilikan dari usaha yang kontraknya masih berjalan, dan untuk itu kita (Indonesia) harus memberikan ganti rugi kepada perusahaan yang dinasionalisasi tadi. Hanya dalam kasus inilah mestinya diletakkannya pertanyaan tentang apakah negara mempunyai uang, dan apakah uang (yang nominalnya sangat besar) tadi dialokasikan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan yang dinasionalisasi ataukah lebih baik dipergunakan untuk keperluan pembangunan yang lain.

Bagaimana kalau kasusnya adalah tentang perusahaan yang masa kontraknya sudah berakhir, perlu uang banyak atau tidak? Ya mestinya masalah ini tidak perlu ada, ‘kan pengontrak tinggal mengembalikannya kepada Indonesia.Secara gratis tis tis...Barangkali yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia adalah sebatas pada penyediaan working capital selama beberapa bulan.[2]Sebagai business entity yang sudah berjalan lama dan terbukti mempunyai kondisi finansial yang baik, kenapa tidak untuk menyediakan dana working capital itu, ‘kan?

Mungkin ada hal lain yang harus diperhitungkan berkaitan dengan masalah finansial ini, yaitu tentang biaya-biaya yang diperlukan untuk fasilitas pengolahan dan pemurnian material, dari konsentrat menjadi “barang jadi” (yaitu emas, tembaga, dan lainnya). Ini karena mestinya investasi untuk fasilitas ini sebetulnya ‘kan bukan merupakan kemauan dari perusahaan (yang sekarang), jadi kalau mau diberikan kompensasi, ya untuk keperluan ini deh...

Jadi untuk perusahaan lama tidak perlu diberi ganti rugi atau kompensasi yang lain, nih? Halah gaya, kalau dana negara masih terbatas mah, ya tidak usah lah mikir-mikir ke situ..., mestinya selama ini jugasemua pengeluaran mereka sudah tertutupi oleh keuntungan, bahkan mestinya sudah mendapatkan lebih yang banyak kok ya..?

Jadi, bagaimana kesimpulannya, setelah kontrak berakhir pada 2021, apakah sebaiknya kontrak PT Freeport Indonesia diperpanjang? Kalau melihat uraian di atas agaknya tidak perlu ada ke­raguan: TIDAK DIPERPANJANG!

Sekarang, bagaimana dengan kemungkinan intervensi pemerintah Uncle Sam, yang konon katanya kalau untuk kepen­tingan perusahaan Amrik, bahkan Presidennya pun akan bersediauntuk menelepon Presiden RI? Bahkan, menurut rekaman yang diperdengarkan pada saat sidang MKD beberapa hari yang lalu, konon katanya kalau kontrak PT Freeport Indonesia tidak diperpanjang, maka Indonesia akan “diobok-obok”...

Halah-halah, kalau untuk urusan yang satu ini mah saya tidak mengerti atuh... Tapi mestinya di Indonesia ada banyak pakar-pakar poleksusbudhankam yang bisa dikerahkan untuk mengatasi hal ini dengan sebaik-baiknya, ‘kan? Insya Allah, kalau niatnya baik, Tuhan akan memberi jalan.

Nah, Pak Jokowi, apakah Bapak sependapat dengan saya untuk tidak memperpanjang kontrak PT. Freeport Indonesia untuk kepentingan Bangsa dan Negara kita tercinta? Kalau “ya”, saya bersedia untuk mendukung Bapak sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.

Salam optimis!

 

Om-G

[Kompasiana.com/Om-G].

 

[1]       Contoh yang lebih sederhana tentang ini misalnya adalah ini: di banyak perusahaan yang berlokasi di remote area, penyediaan makanan/cattering untuk para karyawan sering dilakukan dengan kontrak untuk satu atau dua tahun. Pada saat kontrak habis, perusahaan mengadakan bidding untuk memilih perusaan catteringyang dianggappaling bagus. Sering terjadi bahwa perusahaan yang menang bidding tadi adalah perusahaan yang berlainan dengan yang sebelumnya. Apakah dengan demikian terjadi “bedol desa”? Ya tidak juga: untuk kepraktisan, yang berubah biasanya hanya para key person saja, sedangkan sebagian besar personil lainnya (para koki, helper, dan lain-lain) sih tetap orang-orang yang itu-itu juga, tetapi dengan baju seragam yang berbeda...

[2]       Working capital ini berupa sejumlah dana yang diperlukan untuk menanggung biaya operasi dan lain-lain sela­ma beberapa bulan sebelum penerimaan dari penjualan mulai mengalir lagi ke perusaaan (dengan pemilik yang baru, yaitu Pemerintah Indonesia). Jadi, working capital ini memang diperlukan untuk kepentingan internal perusahaan untuk kebutuhan operasionalnya, bukan untuk diberikan, sebagai bentuk kompensasi atau apapun, kepada perusahaan lama,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun