Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money

Alternatif Solusi Konflik Buruh Versus Pengusaha Mengenai Upah Minimum

25 November 2015   08:22 Diperbarui: 25 November 2015   09:30 7858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[4]      Sederhananya, “waktu baku” adalah “waktu yang layak diberikan kepada sorang operator untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu,... dst...”. Waktu yang layak, jadi bukan waktu yang terlalu ketat yang para operator tidak bisa mencapainya, tetapi juga bukan waktu yang terlalu longgar di mana para operator bisa mencapainya tanpa perlu mengeluarkan usaha yang sungguh-sungguh... (ibaratnya sambil “tiduran” juga bisa!). Jangan kuatir, mestinya semua operator rata-rata dapat mencapai waktu baku ini. Operator yang berprestasi dapat mengerjakan pekerjaannya dengan waktu yang lebih kecil daripada waktu baku (dengan kata lain: menghasilkan lebih banyak produk), tetapi operator yang memblé mengerjakan pekerjaannya dengan waktu yang lebih panjang daripada waktu baku (dengan kata lain: menghasilkan lebih sedikit produk) selama jam kerja per hari.

[5]      Asumsinya para karyawan bekerja antara pk.08.00-12.00 dan pk.13.00-16.00, di mana pk.12.00-13.00 adalah waktu istirahat, sholat dan makan siang.

[6]      Kenapa sih harus rata-rata mingguan atau bulanan, dan bukan ditinjau ari pencapaian produksi harian masing-masing operator saja? Nah di sini juga ada “cerita di balik berita” nya. Tapi agar cerita kita pada artikel ini tidak terlalu ke sana-ke mari, “cerita di balik berita” nya kita bahas pada artikel yang akan datang saja ya? Kalau memang tertarik, tolong beritahu Om-G, karena kalau tidak diingatkan, Om-G suka lupa-lupa tuh...

[7]      Tentunya yang diperhitungkan adalah jumlah produk yang memenuhi spesifikasi, sedangkan yang mengandung “product defect” tidak diperhitungkan (karena akan “berbahaya”: kalau “product cacat” ini ikut dihitung, maka para operator cenderung hanya akan mengejar jumlah tetapi tidak terlalu memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan...).

[8]      Hal ini pun mempunyai “efek samping”: Para operator diharapkan akan termotivasi untuk meningkatkan keterampilan dan prestasi mereka. Tegasnya: kalau ingin mendapat upah yang lebih besar, tingkatkan prestasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun