Seperti contoh, kemungkinan keterlambatan atau tidak tercapainya target listrik 35.000 MW bukan karena teknologi atau modal akan tetapi masalah regulasi. Kasus RJ Lino mempengaruhi para profesional, birokrat mengikuti pepatah Jawa, "Alon-alon waton kelakon", LEBIH BAIK LAMBAT ASAL SELAMAT. ^_^
Maka dari itu, jika kepentingan negara lebih besar. Sebuah kasus yang minim bukti atau lebih pada kekeliruan administratif karena terobosan kebijakan, harus di SP3. Tanpa SP3 menjadi dilematis bagi KPK. Institusi KPK dipertaruhkan, tidak mungkin menuntut bebas. Jika dipaksakan harus ke pengadilan, KPK harus menang. Berarti harus ada korban tak bersalah yang masuk penjara.
Apalagi, hakim juga manusia bukan malaikat. Subyektifitas hakim akan sangat tinggi apalagi kasus tipikor dan diliput oleh media. Hakim cenderung akan mengikuti arus yang mengemuka atau jika berbeda harus siap mental dicap sebagai hakim yang pro koruptor. Mungkin Indonesia butuh lebih banyak hakim-hakim seperti hakim Sarpin yang berani melawan arus mainstream. ^_^
Atau yang lebih ekstrim. Jika kita memang sudah merasa cukup dengan UU KPK yang ada. Tidak perlu direvisi untuk diperkuat. Tidak kuatir kisah bersambung "cicak & buaya". Pimpinan KPK adalah jenderal-jenderal TNI/Polri Aktif. Atau sebaliknya, karena kepentingan negara pembangunan nasional jangan sampai terhambat adanya “kriminalisasi”. Maka CEO-CEO BUMN, Pejabat eselon I, Menteri lebih baik dijabat oleh jenderal-jenderal TNI/Polri Aktif. Fakta membuktikan KPK dengan senjata UU-nya tidak bisa menyentuh mereka. Dan kita rakyat juga fine-fine saja tidak pernah komplain. ^_^
foto: suaramerdeka.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H