Mohon tunggu...
Olivia Armasi
Olivia Armasi Mohon Tunggu... Mengurus Rumah Tangga -

Peduli politik itu peduli terhadap sesama..... Nulis itu sulit, merangkai kata itu susah.... Mantan pelajar yang sedang belajar membaca, belajar komentar & belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara RJ Lino, Ahok dan Budi Gunawan, Perlukah Revisi UU KPK?

14 Februari 2016   22:51 Diperbarui: 16 Februari 2016   15:45 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RJ Lino, Ahok dan Budi Gunawan adalah orang-orang yang baik. Melalui kiprah di bidang dan jabatannya masing-masing mereka memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negara.

Richard Joost Lino (RJL), seorang CEO fenomenal dalam waktu singkat merubah wajah Pelindo II. RJ Lino yang concern terhadap pentingnya kualitas SDM, mengirim karyawan-karyawan terbaik Pelindo menempuh pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya. Bukan hanya itu, RJ Lino dengan inovasi-inovasinya berhasil menaikkan aset Pelindo II dari 6,5 trilyun menjadi 40 trilyun. Karena kerja kerasnya,  Pelindo II mendapatkan berbagai penghargaan. Bahkan KPK sebagai Lembaga anti rasuah tak ketinggalan. Tahun 2012 KPK memberikan penghargaan bergengsi, Pelindo II ditetapkan sebagai lembaga dengan integritas tertinggi kelima di Indonesia.

Basuki Tjahaya Purnama (BTP), siapa tak kenal Ahok sebagai pendekar yang berani mati memberantas mafia korupsi di DKI. Kewenangannya sebagai Gubernur dimanfaatkan secara maksimal. Bukan saja merubah wajah birokrasi Pemprov DKI. Bagi Ahok semua program adalah prioritas. Pendidikan, kesehatan, perumahan, banjir, transportasi, dll. Hasilnyapun sangat dirasakan warga DKI.

Budi Gunawan (BG), lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1983. Menjadi ajudan Presiden Megawati adalah prestasi yang sangat luar biasa. Membutuhkan perjuangan yang sangat berat menyingkirkan kandididat-kandidat lainnya. Semenjak itu karirnyapun mencorong sangat cemerlang. Di usia 43 tahun berhasil menyandang pangkat bintang dipundaknya. Budi Gunawan adalah Jenderal termuda dalam sejarah Polri.

Walaupun memiliki prestasi, mereka bertiga mempunyai kesamaaan tidak mengenakkan yaitu sama-sama berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Kasus RJL, disebabkan laporan masyarakat di 2014 Pengadaan QCC (2010) dan tanpa perhitungan kerugian negara dari BPKP/BPK. Kasus BG diduga gratifikasi, penyelidikan dilakukan oleh KPK berdasarkan laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dari PPATK. Sedangkan BTP, disebabkan laporan masyarakat pengadaan tanah ex RS Sumber Waras disertai laporan BPK terdapat potensi kerugian negara. RJL dan BG sama-sama telah ditetapkan sebagai tersangka, BTP masih belum jelas hingga saat ini.

RJL dan BG melakukan upaya hukum Pra-peradilan. Pimpinan KPK (Irjen Polisi) Basaria Panjaitan optimis upaya RJL tidak dikabulkan. Dan memang benar, Hakim Udjiati menolak semua seluruh permohonan RJL. Upaya Praperadilan BG diterima oleh Hakim Sarpin dan dibatalkan status tersangkanya. RJL dicopot dari jabatannya sebagai CEO IPC, BG diangkat menjadi Wakapolri dan BTP masih Gubernur DKI hingga saat ini.

Dari ketiga kasus dugaan korupsi, RJL yang nasibnya paling naas. Kasus portable crane ditangani (Komjen Polisi) Budi Waseso. Dijadikan tersangka kasus QCC(2010) oleh pimpinan KPK sebelumnya (Irjen Polisi) Taufiqurahman Ruki dan sekarang ditangani oleh Pimpinan KPK (Irjen Polisi) Basaria Panjaitan.

Semoga hal ini cuma kebetulan dan tidak ada kaitannya walaupun yang menangani kasus RJL sama-sama korps polisi. ^_^

BG nasibnya lumayan baik. Setelah upaya pra-peradilannya dikabulkan status tersangkanya dibatalkan, KPK ikhlas tidak keberatan menerima keputusan Hakim Sarpin. Dan tidak berusaha melakukan upaya penyelidikan lebih lanjut karena berkas LHP Kasus rekening gendut BG telah raib. Walaupun tidak jadi dilantik menjadi Kapolri dan namanya terlanjur tercemar tapi masih lumayan diberi kepercayaan oleh Pemerintah menjadi Wakapolri. Hukum harus adil, jika memang tidak terbukti bersalah, harus dikembalikan harkat & martabatnya plus bonus jabatan strategis.^_^

Kasus BTP, akibat perseteruan dengan oknum BPK DKI. Sangat kental aroma kepentingan politik yang menungganginya. Tapi untuk sementara masih paling beruntung. Karena dalam kasus ex Sumber Waras, KPK sangat hati-hati, tidak gegabah. Walaupun laporan dilampiri LHP BPK DKI dan KPK juga telah meminta audit investigasi ke BPK RI.

Mestinya laporan suatu kasus ditindak lanjuti secara obyektif. Bukan hanya karena heboh di media. Dengan kewenangannya jika melihat ada nuansa lain dibalik kasus tersebut, diselidiki dengan instrumen KPK yang ada. Permintaan audit pada lembaga yang sama menjadi tanda tanya. Apakah mungkin BPK RI hasil auditnya berbeda dengan BPK DKI?^_^

BPK adalah lembaga yang sebenarnya perlu di revolusi seleksi pimpinannya. Mengingat BPK mempunyai kewenangan yang begitu besar. Padahal tidak ada yang bisa menjamin BPK bebas dari kepentingan politik, karena pimpinan BPK adalah kader-kader parpol.

Kembali ke KPK, melihat ketiga kasus diatas dan kasus-kasus lain yang menimpa Antasari, Bibit, Candra, Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, Novel Baswedan dengan senjata UU KPK yang ada, ternyata "KPK TIDAK SAKTI dan BISA TIDAK ADIL”. Komisioner dan instrumen KPK juga manusia, sangat mungkin oknumnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Kasus "Cicak & Buaya Jilid I,II" yang dialami Bibit, Candra, Samad, Bambang W. KPK dibuat kocar-kacir. #SaveKPK, publikpun harus beramai-ramai unjuk kekuatan ikut menekan proses hukum yang dialami mereka. Presiden ditekan untuk bersikap menggunakan kekuasaannya. Memang kemudian proses hukum tidak berlanjut. Tapi apakah selamanya KPK harus meminta pertolongan masyarakat jika menghadapi serangan balik? ^_^ 

Bagaimana jika menghadapi oknum-oknum petinggi TNI yang selama ini sama sekali tak tersentuh.? Dengan UU yang ada, KPK berani? ^_^

Pemerintah & Jokowi melihat, UU KPK memang perlu direvisi untuk “DIPERKUAT DAN LEBIH ADIL” bukan diperlemah. Momentum revisi UU KPK, entah inisiatif Pemerintah atau DPR mestinya dimanfaatkan oleh publik untuk ikut mendorong dan menekan. Agar revisi UU KPK menjadikan KPK lebih sakti dan digdaya.

Ikutan usul, revisi UU KPK antara lain : (1) Untuk penyadapan tetap wajib harus ada. Karena kasus-kasus suap dan gratifikasi tanpa penyadapan akan sulit sekali pembuktiannya. (2) Pimpinan KPK dan penyidik KPK memiliki kekebalan hukum (3) KPK memiliki kewenangan SP3. (4) Agar tidak disalah gunakan kewenangan tersebut harus diawasi dengan sangat ketat. Karena wewenang absolut tanpa pengawasan akan sangat berbahaya. Siapa yang paling tepat mengawasi, cari formula yang ideal.

Kekebalan hukum perlu, hingga masa tugasnya di KPK berakhir. Belajar dari pengalaman "cicak vs buaya". Jika harus  mengalami nasib seperti pimpinan dan penyidik KPK sebelumnya. Mengingat pekerjaan di KPK sangat beresiko tinggi. Harusnya komisioner maupun penyidik diperlakukan seperti intelejen negara.

Kewenangan SP3 dengan pengawasan yang sangat ketat. Jika perlu di uji publik sebelum sebuah perkara dihentikan. Belajar pengalaman dari kasus RJ Lino. Komisioner KPK yang baru dipaksa dan terpaksa memproses kasus yang sebenarnya belum lengkap barang buktinya. Tanpa SP3 KPK akan kesulitan menangani kasus yang minim barang bukti. Padahal KPK dihadapkan pada ekspektasi publik dan harus menjaga wibawanya. Kecuali jika KPK berhadapan dengan orang-orang yang terlalu kuat, wibawa KPK sepertinya tidak begitu penting. ^_^

Dalam kasus RJL mungkin memang terjadi kesalahan administratif karena kekeliruan penafsiran aturan tentang pengadaan. Harus dibedakan kasus kekeliruan kebijakan/administrasi dan korupsi. Bagaimanapun, hukum adalah untuk mengawal pembangunan ekonomi bangsa. Jika kasus-kasus seperti RJL menjadi kasus Tipikor dan KPK konsisten memprosesnya, maka penjara di Indonesia tidak akan muat.

Kasus RJ Lino berdampak sangat besar. Mengapa bangsa ini begitu lambat salah satunya adalah karena banyak aturan-aturan yang belum sempurna, saling tumpang tindih dan sangat butuh terobosan.

Seperti contoh, kemungkinan keterlambatan atau tidak tercapainya target listrik 35.000 MW bukan karena teknologi atau modal akan tetapi masalah regulasi. Kasus RJ Lino mempengaruhi para profesional, birokrat mengikuti pepatah Jawa, "Alon-alon waton kelakon", LEBIH BAIK LAMBAT ASAL SELAMAT.  ^_^

Maka dari itu, jika kepentingan negara lebih besar. Sebuah kasus yang minim bukti atau lebih pada kekeliruan administratif karena terobosan kebijakan, harus di SP3. Tanpa SP3 menjadi dilematis bagi KPK. Institusi KPK dipertaruhkan, tidak mungkin menuntut bebas. Jika dipaksakan harus ke pengadilan, KPK harus menang. Berarti harus ada korban tak bersalah yang masuk penjara.

Apalagi, hakim juga manusia bukan malaikat. Subyektifitas hakim akan sangat tinggi apalagi kasus tipikor dan diliput oleh media. Hakim cenderung akan mengikuti arus yang mengemuka atau jika berbeda harus siap mental dicap sebagai hakim yang pro koruptor. Mungkin Indonesia butuh lebih banyak hakim-hakim seperti hakim Sarpin yang berani melawan arus mainstream. ^_^

Atau yang lebih ekstrim. Jika kita memang sudah merasa cukup dengan UU KPK yang ada. Tidak perlu direvisi untuk diperkuat. Tidak kuatir kisah bersambung "cicak & buaya". Pimpinan KPK adalah jenderal-jenderal TNI/Polri Aktif. Atau sebaliknya, karena kepentingan negara pembangunan nasional jangan sampai terhambat adanya “kriminalisasi”. Maka CEO-CEO BUMN, Pejabat eselon I, Menteri lebih baik dijabat oleh jenderal-jenderal TNI/Polri Aktif. Fakta membuktikan KPK dengan senjata UU-nya tidak bisa menyentuh mereka. Dan kita rakyat juga fine-fine saja tidak pernah komplain. ^_^

 

foto: suaramerdeka.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun