Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gandari: Menyibak Karakter dan Sikap Perempuan

19 Desember 2014   00:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jukung adalah interpretasi satu bangsa yang berlayar mengarungi lautan, mencoba bertahan dari hempasan ganasnya gelombang pergolakan yang datang dari dalam mau pun dari luar tubuh bangsa itu dibawah pimpinan seorang nakoda. Gandari adalah sosok ibu yang senantiasa menjadi pendengar dan memiliki hasrat yang kuat untuk melindungi anak-anaknya. Maka tak heran bila di jelang akhir pementasan, satu sosok perempuan berbaju hitam hadir di atas pentas mewakili perempuan yang bertahun terpinggirkan. Mereka adalah kaum yang terus bergerak demi memperjuangkan keadilan meski samar akan diraih karena keadilan itu disembunyikan oleh sang waktu. Lewat sosok Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari Norma Irawan (Wawan); salah seorang korban peristiwa Semanggi I yang tewas tertembus peluru saat hendak menolong kawannya pada 13 Nopember 1998, kita bisa melihat sosok Gandari sebagai seorang perempuan yang tegas, tetap teguh dan sabar menyikapi dunia yang suram.
Di kekinian; Gandari adalah para perempuan yang sering dipandang sebelah mata oleh sekitarnyata yang tak mau melihat pergolakan emosi dari sisi mereka. Pergolakan yang mereka hadapi karena ketidakadilan yang diterima serta perihnya kehilangan anak-anak dan orang yang mereka cintai. Karakter kuat seorang perempuan dalam mempertahankan ambisi, yang berani mempertaruhkan segalanya demi ambisinya, meski akhirnya mungkin nasib tidak berpihak kepadanya.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu bagian dari pementasan Opera Tari Gandari (dok. Image Dynamics)"]

ASA
ASA
[/caption]

Yang tak melihat akan melihat
yang keji. Yang tak mendengar tak akan mendengar
yang dusta. Yang tak melangkah tak akan melangkah
sampai batas hutan
dan jalan masuk ke Astina

Ia hanya ingat. Ruang adalah
sisa masa lalu

Apa yang dulu dikatakannya kepada ibunya,
perempuan yang ketakutan?
“Aku tak ingin kau menangis, Ibu: ketika aku lahir,
kau biarkan para dewa mengambil mataku
dari ceruknya.”

Pada akhirnya yang tersisa adalah cahaya yang menyilaukan sudut pandang sehingga diperlukan sebuah bebat agar kemilaunya tak membutakan nurani. Sarat dengan kritik sosial yang terjadi dalam masyarakat di masa kini, Opera Tari Gandari berhasil mengobok-obok emosi. Maka, terjawab sudah tanya menggantung Yudhi Tajudin sang sutradara mengenai pesan yang ingin disampaikan tentang siapa Gandari? Saleum [oli3ve].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun