Sepasang bayang meretas pekatnya malam, melangkah perlahan mengikuti titik cahaya yang terpancar dari sebuah jukung yang menyepi di dermaga. Berjalan di depan seorang perempuan muda yang meminjamkan bahunya sebagai tumpuan tangan untuk memandu langkah lelaki dengan kepala memutih yang mengekor di belakangnya. Dari kejauhan terlihat di atas buritan, berdiri gagah sang nakoda memimpin sekelompok manusia yang menyembul dari dalam perut jukung yang terburai. Dengan sekali hentakan, gesekan nada pilu mereka dengungkan lewat rintihan yang menyayat hati pada semesta mengiring langkah tergesa manusia di luar perahu yang menari mengejar asanya.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Kolaborasi penari Jepang dan Indonesia dalam Opera Tari Gandari (dok. Image Dynamics)"][/caption]
Di kanan depan jukung, sebuah menara tegak dengan angkuhnya. Pada puncaknya seorang perempuan berparas ayu dengan tubuh dibalut pakaian merah menyala, berdiri dalam senyap. Dipandanginya semesta sebelum semuanya menjadi gelap dalam tangkapan matanya. Pula suara derap langkah manusia di kaki menara yang berjalan patah-patah, melompat, berlari dan bersidekap segera berlalu hingga yang tersisa hanya bayangan yang terekam dalam memorinya.
Lamat temaram merembesi semesta yang muram hingga wajah sepasang bayang yang berjalan dalam gelap tertimpa paparan cahayanya. Bibir perempuan muda itu pun bergerak melantunkan sebait syair:
Lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal …
Ia, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu
menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya
Itulah potongan kisah Gandari yang dipentaskan dalam Opera Tari Gandari di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki 12 -13 Desember 2014 lalu. Gandari dipersunting Destarata, putera mahkota Kerajaan Hastinapura yang tak bisa naik tahta karena terlahir dengan mata tak dapat melihat. Atas nama kesetiaan, Gandari rela berkorban agar turut merasakan apa yang dirasakan oleh Destarata. Ia bersikukuh menjalankan keputusannya untuk membebat matanya dengan sehelai kain hitam selama matahari belum terbenam.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Kelompok musik Asko|Schönberg - Slagwerk Den Haag dari Belanda dengan Bas Wiegers (dok. Image Dynamics)"]
Gandari adalah sosok perempuan dalam Mahabharata yang kiprahnya teramat sangat jarang diangkat ke permukaan. Kalaupun ada bagian dirinya yang ditunjukkan ke khalayak maka bisa dipastikan itu sebatas pada peran antagonis dan ambisinya memiliki kuasa di Hastinapura. Tak banyak yang menyentuh sisi perempuannya, bagaimana rasanya menjadi istri dari seorang pangeran buta; pun mencoba memahami posisinya sebagai ibu Kurawa yang bertumbuh dengan bibit kebencian dalam diri mereka kepada Pandawa.
Dari sisi ini, Goenawan Mohamad menyibak karakter puteri Prabu Ghandara lewat puisi Gandari. GM mencoba mengupas derita, perjuangan, kesabaran dan kesetiaan Gandari menjalani harinya mendampingi Destarata dan melupakan angannya untuk menjadi pendamping Pandu. Tentang kepedihannya kehilangan anak-anaknya dalam perang Barathayuda. Puisi yang kemudian menjadi inspirasi Tony Prabowo menggarap musik Gandari sebagai musik latar dari sebuah opera tari. Untuk mewujudkan impian itu, Tony pun bekerjasama dengan koreografer Jepang, Akiko Kitamura dalam menciptakan gerak tari berdasarkan digital musik yang ada; mengajak Yudi Ahmad Tajudin sebagai sutradara dan Teguh Ostenrik untuk penata artistik. Kolaborasi lintas seni dan lintas negara pun mewujud lewat gerak tari 3 (tiga) orang penari Jepang dan 3 (tiga) orang penari Indonesia, suara penyanyi soprano Belgia, Katrien Baerts serta paduan suara Batavia Madrigal Singers melagukan puisi Gandari dipadu dengan iringan musik dari kelompok musik Asko|Schönberg – Slagwerk Den Haag dari Belanda dengan Bas Wiegers sebagai konduktor.
Untuk menyelami pesan Opera Tari Gandari tak hanya sekedar mencoba mencari sosok Gandari dari pementasan ini. Karena semua pekerja seni dan ornamen panggung yang terlibat di dalamnya memiliki andil untuk membangun imaji para penikmat seni dalam menarik pesan yang diinterpretasikan lewat gerak tari, gesekan dawai biola, celo, perkusi para pemusik, petikan puisi yang dilantunkan paduan suara, solois maupun yang dinarasikan oleh Landung Simatupang dan Sita Nursanti.
Jukung adalah interpretasi satu bangsa yang berlayar mengarungi lautan, mencoba bertahan dari hempasan ganasnya gelombang pergolakan yang datang dari dalam mau pun dari luar tubuh bangsa itu dibawah pimpinan seorang nakoda. Gandari adalah sosok ibu yang senantiasa menjadi pendengar dan memiliki hasrat yang kuat untuk melindungi anak-anaknya. Maka tak heran bila di jelang akhir pementasan, satu sosok perempuan berbaju hitam hadir di atas pentas mewakili perempuan yang bertahun terpinggirkan. Mereka adalah kaum yang terus bergerak demi memperjuangkan keadilan meski samar akan diraih karena keadilan itu disembunyikan oleh sang waktu. Lewat sosok Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari Norma Irawan (Wawan); salah seorang korban peristiwa Semanggi I yang tewas tertembus peluru saat hendak menolong kawannya pada 13 Nopember 1998, kita bisa melihat sosok Gandari sebagai seorang perempuan yang tegas, tetap teguh dan sabar menyikapi dunia yang suram.
Di kekinian; Gandari adalah para perempuan yang sering dipandang sebelah mata oleh sekitarnyata yang tak mau melihat pergolakan emosi dari sisi mereka. Pergolakan yang mereka hadapi karena ketidakadilan yang diterima serta perihnya kehilangan anak-anak dan orang yang mereka cintai. Karakter kuat seorang perempuan dalam mempertahankan ambisi, yang berani mempertaruhkan segalanya demi ambisinya, meski akhirnya mungkin nasib tidak berpihak kepadanya.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu bagian dari pementasan Opera Tari Gandari (dok. Image Dynamics)"]
Yang tak melihat akan melihat
yang keji. Yang tak mendengar tak akan mendengar
yang dusta. Yang tak melangkah tak akan melangkah
sampai batas hutan
dan jalan masuk ke Astina
Ia hanya ingat. Ruang adalah
sisa masa lalu
Apa yang dulu dikatakannya kepada ibunya,
perempuan yang ketakutan?
“Aku tak ingin kau menangis, Ibu: ketika aku lahir,
kau biarkan para dewa mengambil mataku
dari ceruknya.”
Pada akhirnya yang tersisa adalah cahaya yang menyilaukan sudut pandang sehingga diperlukan sebuah bebat agar kemilaunya tak membutakan nurani. Sarat dengan kritik sosial yang terjadi dalam masyarakat di masa kini, Opera Tari Gandari berhasil mengobok-obok emosi. Maka, terjawab sudah tanya menggantung Yudhi Tajudin sang sutradara mengenai pesan yang ingin disampaikan tentang siapa Gandari? Saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H