Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 telah memberikan dampak signifikan pada berbagai sektor, termasuk stabilitas ekonomi makro di Indonesia. Dari awal pelaporan kasus COVID-19 pada 2 Maret 2020 hingga langkah-langkah pemulihan ekonomi
di tahun-tahun berikutnya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi (Junaedi Dedi et al., 2021)
Dampak Langsung Pandemi terhadap Pertumbuhan Ekonomi
   Pada awal pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengendalikan penyebaran virus. Kebijakan ini melibatkan langkah-langkah seperti penutupan sekolah, larangan mudik, serta pembatasan perjalanan internasional dan domestik. Meskipun langkah-langkah ini penting untuk mengurangi risiko penyebaran COVID-19, dampaknya terhadap aktivitas ekonomi sangat
signifikan. Penutupan berbagai sektor usaha dan pengurangan mobilitas masyarakat menyebabkan penurunan konsumsi dan investasi secara drastis, sehingga memperlambat laju perekonomian (Romdiati Haning & Noveria Mita, 2021).
   Menurut data International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2020, dampak ekonomi akibat kebijakan PSBB terlihat jelas dalam angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada kuartal kedua tahun 2020, ekonomi mengalami kontraksi sebesar -5,3%, penurunan tajam dari pertumbuhan positif 3% yang tercatat pada kuartal pertama tahun yang sama. Kontraksi ini menjadi yang terdalam sejak krisis moneter tahun 1998, menunjukkan dampak serius pandemi terhadap stabilitas ekonomi nasional (Junaedi Dedi et al., 2021). Penurunan konsumsi rumah
tangga, yang biasanya berkontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menjadi faktor utama dalam perlambatan ekonomi ini. Hal ini juga diperburuk oleh penurunan investasi akibat ketidakpastian ekonomi global dan domestik.
Kebijakan Fiskal sebagai Respons Pandemi
Pemerintah Indonesia merespons krisis ini dengan mengeluarkan paket kebijakan fiskal besar-besaran untuk mendorong pemulihan ekonomi. Pada Maret 2020, pemerintah mengumumkan paket stimulus sebesar Rp405 triliun, yang kemudian meningkat menjadi Rp677,2 triliun pada Juni 2020 (Junaedi Dedi et al., 2021). Paket stimulus ini mencakup beberapa aspek, antara lain:Â
1. Dukungan terhadap sektor kesehatan: Anggaran tambahan untuk meningkatkan
kapasitas pengujian dan perawatan pasien COVID-19.
2. Bantuan sosial: Perluasan program bantuan seperti bantuan pangan, subsidi listrik, dan
transfer tunai bersyarat bagi rumah tangga miskin.
3. Dukungan UMKM: Subsidi bunga, penjaminan kredit, dan restrukturisasi pinjaman
untuk UMKM.
4. Insentif pajak: Pengurangan tarif pajak penghasilan badan dari 25% menjadi 22% untuk
meringankan beban korporasi.
Langkah-langkah ini membantu menahan dampak buruk pandemi, meskipun tantangan implementasi di lapangan, seperti keterlambatan penyaluran dana bantuan, menjadi hambatan.
Kebijakan Moneter dalam Menjaga Stabilitas Ekonomi
   Bank Indonesia (BI) juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas makroekonomi melalui kebijakan moneter. BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin hingga mencapai 4% pada pertengahan 2020 (Novalina Ade, 2021). Selain itu, BI meluncurkan berbagai kebijakan untuk mendukung likuiditas di pasar, termasuk:
1. Penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) bank.
2. Peningkatan durasi operasi repo hingga 12 bulan.
3. Pelaksanaan lelang harian untuk swap valuta asing.
BI juga bekerja sama dengan pemerintah melalui skema burden sharing untuk mendanai kebutuhan belanja publik selama pandemi. Dalam skema ini, BI membeli obligasi pemerintah di pasar perdana untuk mendanai sektor kesehatan dan perlindungan sosial.
Dampak Pandemi pada Pasar Modal
   Pasar modal Indonesia tidak terhindar dari dampak pandemi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta mencatat penurunan tajam pada awal pandemi, mencerminkan ketidakpastian investor. Penelitian (Junaedi Dedi & Salistia Faisal, 2020)
menunjukkan bahwa dinamika IHSG dipengaruhi oleh kondisi internal, seperti kebijakan PSBB dan WFH, serta faktor eksternal seperti kondisi pasar di Tiongkok, Spanyol, dan Amerika Serikat.
   Meskipun ada pemulihan bertahap pada semester kedua 2020, volatilitas tetap menjadi tantangan besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons dengan mengizinkan perusahaan yang terdaftar untuk membeli kembali saham mereka tanpa persetujuan pemegang saham, yang
bertujuan menstabilkan pasar.Â
Pengaruh Pandemi terhadap Nilai Tukar Rupiah
   Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mengalami fluktuasi tajam selama pandemi. Penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel seperti jumlah kasus COVID-19, inflasi, dan operasi pasar konvensional memiliki korelasi signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Menariknya, uang beredar dalam arti sempit (M1) memiliki korelasi negatif terhadap kurs dolar, yang berarti peningkatan M1 cenderung memperkuat nilai rupiah faktor-faktor seperti inflasi dan kebijakan PSBB memiliki dampak negatif terhadap nilai rupiah. Ini menunjukkan bahwa pandemi menciptakan tekanan pada nilai tukar melalui berbagai saluran, termasuk
ketidakpastian pasar dan penurunan aktivitas ekonomi (Alfira Nisa et al., 2021).
Tantangan dan Prospek Pemulihan Ekonomi
   Pemulihan ekonomi Indonesia tergantung pada keberhasilan pengendalian pandemi dan efektivitas kebijakan ekonomi yang diterapkan. Dengan dimulainya fase transisi PSBB di
Jakarta pada Juni 2020, aktivitas ekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Namun, perpanjangan pembatasan sosial hingga September 2020 menunjukkan bahwa pemulihan penuh memerlukan waktu.
   IMF memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali positif pada tahun 2021, tetapi risiko ketidakpastian tetap ada, terutama jika gelombang baru pandemi muncul. Reformasi struktural, termasuk digitalisasi ekonomi dan peningkatan efisiensi anggaran, menjadi kunci untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Kesimpulan
   Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang luas dan mendalam terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia. Kebijakan fiskal dan moneter yang komprehensif berhasil menahan
sebagian dampak negatif, tetapi tantangan implementasi dan risiko ketidakpastian tetap menjadi hambatan utama. Kolaborasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan sektor swasta
diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan memastikan stabilitas jangka panjang. Dengan pembelajaran dari pengalaman ini, Indonesia dapat memperkuat ketahanan
ekonominya terhadap guncangan di masa depan. Keberlanjutan reformasi ekonomi dan investasi dalam sektor-sektor strategis akan menjadi fondasi penting dalam menghadapi era pasca-pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H