“Iya, pasti Ndri, gue akan ke bandara besok sebelum ke kantor,”
“Lo boleh ajak Tari. Dia sempurna buat lo,” ujar Andri seraya bangkit dari sofanya. “See you tomorrow Nggar, thank you for coming. And, you know, sorry,”
Hanggar tersenyum, dan menepuk bahu Andri, “At least, lo jujur, Ndri,”
Andri tersenyum pahit, kemudian berbalik melangkah menuju pintu keluar.
“Ndri!” panggil Hanggar.
Andri menoleh.
“Jangan hapus akun Skype gue di sana ya, suatu saat gue bakal ngenalin lo sama anak cucu gue. Hahaha,”
“Hahaha. I will do the same, but.. Yeah, maybe later. Time heals,” sahutnya sambil tersenyum. “Bye, Nggar!”
Hanggar masih terduduk di sofanya, menyaksikan sosok Andri keluar kafe dan menuju Civic hitamnya yang terparkir di parkiran tanpa memperhatikan derasnya hujan yang turun dan membasahi tubuhnya.
Betapa mengejutkannya sore ini. Dan Hanggar masih saja terperangah bagaimana bisa selama 12 tahun ia tidak pernah tahu, bahwa sahabatnya ternyata memendam perasaan. Sahabat terdekatnya. Sahabat tempatnya bercerita ini itu. Sahabat yang dulu sama-sama menjadi senior idola junior-junior sekolah. Sahabat yang bahkan awalnya sempat ditaksir oleh Tari.
Sahabatnya yang tampan, Andriano Stevo.
15:55. Di satu sudut kafe di kawasan Kemang.
Masih hujan. Basah kuyup. Dan dingin.