Hening.
“Dua belas tahun lo mungkin nganggap gue sebatas sahabat. Selama SMA lo pikir gue ga cemburu waktu lo ngejar-ngejar Tari dan minta bantuan gue buat pdkt? Lo pikir gue ga cemburu waktu lo akhirnya jadian sama Tari? Waktu lo kissing sama Tari di depan gue waktu prom? Bahkan ketika lo balik ke Indo, dan ngegandeng Tari ke reuni, dan bilang kalo kalian engaged, dan sampai akhirnya kalian sekarang udah berumah tangga, lo curhat semua cerita honeymoon lo ke gue, lo kira gue ga cemburu, hah? Tai, sakit banget, Nggar,”
“Ndri..”
“Well, it’s okay. Sori kalo gue terlalu nyeplos. Hahaha. Lebih baik gue jujur sekarang sama lo, biar nanti gue ga ada beban di sana. Ini juga salah satu alasan kenapa gue pengen banget kerja di oil company itu. Biar gue bisa pergi dari Indo, pergi dari lo, dan kenyataan. And I’ll start a new life there,”
Hening.
Hening.
“Kenapa lo ngga bilang sama gue dari awal, Ndri?”
“Lo kira gue punya nyali apa? Hahaha. Gue juga ngga mau bikin lo justru menghindar dari gue setelah tau kenyataannya. I wish i could throw it all away,”
Hanggar tersenyum pahit. Tidak ada sepatah kata yang dirasanya tepat untuk dilontarkan pada situasi seperti ini.
Andri memanggil pelayan dan membayar billnya.
“Gue pamit Nggar, gue harus packing. Besok pagi pesawat gue take off jam 6. And… If you don’t mind, lo bisa…”