Janji-janji politik sering menjadi pilar kampanye dalam setiap pemilu. Salah satu janji politik yang menonjol dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 adalah gagasan Prabowo Subianto tentang kebijakan makan gratis bagi siswa sekolah.Â
Janji ini, jika dilihat dari perspektif sosial, berpotensi besar untuk mengatasi permasalahan gizi dan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Namun, dalam sejarah politik, tidak semua janji politik berakhir dengan realisasi.Â
Beredar diberbagai sosial media maupun surat kabar bahwa beberapa penyesuaian akan dilakukan dalam rangka menjalankan janji politik makan gratis.Â
Misalnya Nasi diganti mie instan, dan susu sapi diganti susu ikan. Hal ini mengundang pertanyaan: Mengapa janji politik tidak selalu sesuai dengan pelaksanaannya ataupun berakhir tidak selalu ditepati?
Untuk memahami fenomena ini,Tulisan ini berusaha menganalisis politik janji secara lebih mendalam, mengaitkannya dengan gagasan kebijakan makan gratis yang diusung oleh Prabowo, serta mengapa janji-janji politik, termasuk yang populer dan bernilai positif, tidak selalu dapat diimplementasikan.
Politik JanjiÂ
Dalam literatur politik, janji politik sering kali dipandang sebagai kontrak sosial tidak tertulis antara kandidat dengan pemilihnya. Teori kontrak sosial, yang diperkenalkan oleh filsuf seperti Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau, menjelaskan bahwa pemimpin mendapatkan legitimasi dari rakyat dengan berjanji untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan mereka. Dalam konteks politik modern, janji politik berfungsi sebagai alat untuk menarik dukungan dan membangun kepercayaan di antara pemilih.Â
Menurut Anthony Downs dalam bukunya An Economic Theory of Democracy(1957), janji politik sering kali digunakan sebagai strategi oleh kandidat untuk memaksimalkan jumlah suara.Â
Downs menjelaskan bahwa pemilih cenderung memilih kandidat yang membuat janji-janji yang sejalan dengan kepentingan mereka. Namun, teori ini juga mencatat bahwa realisasi janji politik tidak selalu terjamin, karena adanya berbagai kendala struktural dan politik yang dihadapi oleh kandidat saat mereka berkuasa.
Salah satu teori yang relevan dalam menjelaskan kegagalan janji politik adalah teori "principal-agent problem" yang dijelaskan oleh Michael Jensen dan William Meckling (1976).Â
Dalam teori ini, rakyat (pemilih) dianggap sebagai prinsipal, sementara politisi (terpilih) berperan sebagai agen. Ketika seorang politisi terpilih, ia mungkin memiliki insentif untuk bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya atau kepentingan elit tertentu, alih-alih memenuhi janji kepada pemilihnya.Â
Kesenjangan informasi antara pemilih dan politisi memungkinkan politisi untuk bertindak tidak sesuai dengan janji mereka tanpa segera mendapat sanksi politik.
Kebijakan Makan Gratis Prabowo: Janji yang Menggiurkan?
Janji Prabowo Subianto untuk memberikan makan gratis kepada siswa sekolah merupakan salah satu gagasan yang menarik perhatian banyak pemilih. Kebijakan ini memiliki potensi besar untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia, terutama di kalangan keluarga kurang mampu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa program makan gratis di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik dan kesejahteraan siswa.Â
Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam laporannya menyebutkan bahwa program makan gratis di sekolah dapat membantu mengurangi stunting dan meningkatkan perkembangan kognitif.
Namun, terlepas dari manfaat yang jelas, kebijakan ini juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah utamanya adalah ketersediaan anggaran. Mengingat skala kebijakan ini yang mencakup jutaan siswa di seluruh Indonesia, pemerintah memerlukan dana yang sangat besar untuk merealisasikan janji tersebut.Â
Herbert Simon, dalam Administrative Behavior (1947), menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam birokrasi sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya, di mana pemerintah harus memilih prioritas kebijakan berdasarkan ketersediaan anggaran dan kapasitas administrasi.
Lebih lanjut, pelaksanaan kebijakan ini akan menghadapi tantangan logistik yang besar. James Q. Wilson, dalam bukunya Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It (1989), menjelaskan bahwa birokrasi pemerintah sering kali lamban dan tidak fleksibel dalam merespons tantangan baru. Meskipun janji politik terdengar sederhana, implementasinya memerlukan jaringan distribusi yang luas, pengawasan terhadap kualitas makanan, serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam konteks janji politik Prabowo Subianto yang menawarkan makan gratis bagi siswa sekolah, gagasan ini juga mulai menimbulkan kekhawatiran apakah kebijakan tersebut dapat benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya.Â
Salah satu indikasi yang mungkin muncul adalah adanya penyesuaian atau penggantian dalam komponen program, misalnya, mengganti nasi dengan mi atau susu sapi dengan susu ikan untuk menyesuaikan dengan keterbatasan anggaran.
Janji yang Ambigu dan Peluang untuk Menghindari Tanggung Jawab
Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Paul Cairney, politik janji sering kali dibuat dengan ambiguitas yang sengaja. Janji makan gratis dari Prabowo pada permukaannya terdengar sangat jelas dan menarik, tetapi tanpa rincian yang spesifik tentang menu yang dijanjikan, bagaimana logistik akan berjalan, atau sumber pembiayaan yang digunakan.Â
Dalam situasi ini, pemerintah dapat mengklaim bahwa mereka telah memenuhi janji, meskipun mungkin terjadi perubahan signifikan pada implementasinya, seperti mengganti nasi dengan mi instan atau susu sapi dengan susu ikan yang lebih murah dan lebih mudah diakses. Hal ini mengarah pada skenario di mana janji politik tampak dipenuhi di atas kertas, tetapi kualitas programnya tidak sesuai dengan ekspektasi publik.
Ambiguitas dalam janji makan gratis ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam interpretasi janji tersebut. Jika tidak ada penjelasan spesifik mengenai jenis makanan yang akan disediakan, politisi dapat dengan mudah mengubahnya sesuai dengan kondisi anggaran yang ada, sambil tetap mengklaim telah memenuhi janji.Â
Bagi masyarakat, ini bisa dianggap sebagai pelanggaran janji atau setidaknya penyimpangan dari harapan awal. Namun, dari perspektif politisi, perubahan ini dapat dianggap sebagai solusi pragmatis untuk mengatasi keterbatasan anggaran.
Realitas Ekonomi dan Keterbatasan Anggaran
Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Andreas Schedler dalam The Politics of Unfulfilled Promises (1998), banyak janji politik yang gagal terealisasi karena tidak kompatibel dengan realitas ekonomi.Â
Dalam kasus kebijakan makan gratis ini, kita bisa melihat bahwa janji ambisius ini mungkin menghadapi tantangan besar terkait biaya. Menyediakan makanan gratis setiap hari untuk jutaan siswa di seluruh Indonesia tentu memerlukan anggaran yang sangat besar. Anggaran pendidikan yang ada mungkin tidak mampu menampung tambahan beban tersebut tanpa mengorbankan sektor lain yang juga penting.
Sebagai hasilnya, pemerintah mungkin dipaksa untuk mencari alternatif yang lebih murah, seperti mengganti komponen makanan yang awalnya dijanjikan. Mengganti nasi dengan mi instan atau susu sapi dengan susu ikan bisa menjadi cara untuk menekan biaya sambil tetap mengklaim bahwa program makan gratis tetap berjalan.Â
Namun, keputusan seperti ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas gizi dari makanan yang disediakan, serta apakah kebijakan ini masih sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu meningkatkan kesehatan dan gizi siswa.
Lobi Politik dan Prioritas Anggaran
Selain itu, kita tidak boleh mengabaikan adanya lobi politik dan prioritas anggaran lainnya yang mungkin mempengaruhi realisasi janji ini. Dalam situasi ekonomi yang terbatas, pemerintah harus memutuskan alokasi anggaran berdasarkan prioritas.Â
Jika ada tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan anggaran dialokasikan untuk sektor lain, seperti infrastruktur atau pertahanan, janji makan gratis bisa saja dipotong atau diperkecil skalanya.Â
Dalam kasus ini, seperti yang dijelaskan oleh Bruce Bueno de Mesquita dalam teorinya tentang selectorate, politisi mungkin lebih memprioritaskan kepentingan kelompok elit yang membantu mereka berkuasa dibandingkan janji kepada masyarakat luas.
Mengapa Penting Menjaga Kualitas Janji Politik
Janji makan gratis memiliki potensi untuk memberikan dampak positif yang sangat besar bagi kesejahteraan anak-anak Indonesia. Namun, jika janji ini direduksi menjadi kebijakan yang tidak substansial seperti mengganti komponen makanan dengan yang lebih murah dan kurang bergizi maka program ini berisiko kehilangan esensi utamanya. Publik tentu mengharapkan program yang benar-benar dapat meningkatkan kualitas hidup siswa, bukan hanya sekadar memenuhi janji secara formal.
Dalam hal ini, penting bagi masyarakat untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam hal bagaimana janji tersebut akan diwujudkan. Setiap perubahan atau penyesuaian pada program ini harus dijelaskan secara terbuka dan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kesehatan dan gizi siswa. Jika janji tersebut diubah tanpa konsultasi publik, atau dilakukan secara diam-diam.
Kritik terhadap Janji Politik yang Tidak Ditepati
Dalam praktiknya, kegagalan janji politik tidak hanya mengecewakan masyarakat tetapi juga dapat menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Ketika pemilih terus-menerus dihadapkan pada janji-janji yang tidak terpenuhi, rasa frustrasi terhadap sistem politik bisa meningkat. Ini dapat mengarah pada apatisme politik, di mana masyarakat merasa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu karena janji-janji politik selalu diabaikan.
Pada akhirnya, janji politik yang tidak ditepati mencerminkan ketidakseimbangan antara harapan dan realitas. Di satu sisi, politisi merasa perlu untuk membuat janji yang ambisius demi menarik perhatian pemilih dan memenangkan suara. Namun, di sisi lain, realitas ekonomi, keterbatasan birokrasi, dan tekanan politik dari kelompok-kelompok elit sering kali menghalangi realisasi janji tersebut. Ini menciptakan lingkaran setan di mana pemilih terus merasa dikecewakan, sementara politisi terus menawarkan janji-janji populis yang tidak realistis.
Masyarakat Harus Lebih Kritis dan Menuntut Transparansi
Sebagai masyarakat, kita perlu memahami bahwa janji politik tidak selalu sejalan dengan realitas pemerintahan. Ambiguitas janji politik dan ketidaksesuaian dengan realitas ekonomi adalah dua faktor utama yang sering menjadi penghalang dalam memenuhi janji-janji tersebut. Untuk mengatasi hal ini, kita harus menjadi pemilih yang lebih kritis dan menuntut transparansi dari para politisi. Bukan hanya janji yang harus diperhatikan, tetapi juga bagaimana janji tersebut akan diwujudkan, dari mana sumber daya akan didapatkan, dan apa konsekuensi ekonominya.
Dengan demikian, tanggung jawab kita sebagai pemilih bukan hanya mendengarkan janji, tetapi juga mempertanyakan kelayakan janji tersebut. Hanya dengan cara ini kita dapat mendorong politik yang lebih bertanggung jawab dan memastikan bahwa janji yang dibuat selama kampanye benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat.
Okza Hendrian., M.A
Penulis adalah Researcher dan Analyst di Sygma Research and Consulting, fokus pada demokratisasi, prilaku pemilih dan kebijakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H