Selain itu, kita tidak boleh mengabaikan adanya lobi politik dan prioritas anggaran lainnya yang mungkin mempengaruhi realisasi janji ini. Dalam situasi ekonomi yang terbatas, pemerintah harus memutuskan alokasi anggaran berdasarkan prioritas.Â
Jika ada tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan anggaran dialokasikan untuk sektor lain, seperti infrastruktur atau pertahanan, janji makan gratis bisa saja dipotong atau diperkecil skalanya.Â
Dalam kasus ini, seperti yang dijelaskan oleh Bruce Bueno de Mesquita dalam teorinya tentang selectorate, politisi mungkin lebih memprioritaskan kepentingan kelompok elit yang membantu mereka berkuasa dibandingkan janji kepada masyarakat luas.
Mengapa Penting Menjaga Kualitas Janji Politik
Janji makan gratis memiliki potensi untuk memberikan dampak positif yang sangat besar bagi kesejahteraan anak-anak Indonesia. Namun, jika janji ini direduksi menjadi kebijakan yang tidak substansial seperti mengganti komponen makanan dengan yang lebih murah dan kurang bergizi maka program ini berisiko kehilangan esensi utamanya. Publik tentu mengharapkan program yang benar-benar dapat meningkatkan kualitas hidup siswa, bukan hanya sekadar memenuhi janji secara formal.
Dalam hal ini, penting bagi masyarakat untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam hal bagaimana janji tersebut akan diwujudkan. Setiap perubahan atau penyesuaian pada program ini harus dijelaskan secara terbuka dan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kesehatan dan gizi siswa. Jika janji tersebut diubah tanpa konsultasi publik, atau dilakukan secara diam-diam.
Kritik terhadap Janji Politik yang Tidak Ditepati
Dalam praktiknya, kegagalan janji politik tidak hanya mengecewakan masyarakat tetapi juga dapat menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Ketika pemilih terus-menerus dihadapkan pada janji-janji yang tidak terpenuhi, rasa frustrasi terhadap sistem politik bisa meningkat. Ini dapat mengarah pada apatisme politik, di mana masyarakat merasa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu karena janji-janji politik selalu diabaikan.
Pada akhirnya, janji politik yang tidak ditepati mencerminkan ketidakseimbangan antara harapan dan realitas. Di satu sisi, politisi merasa perlu untuk membuat janji yang ambisius demi menarik perhatian pemilih dan memenangkan suara. Namun, di sisi lain, realitas ekonomi, keterbatasan birokrasi, dan tekanan politik dari kelompok-kelompok elit sering kali menghalangi realisasi janji tersebut. Ini menciptakan lingkaran setan di mana pemilih terus merasa dikecewakan, sementara politisi terus menawarkan janji-janji populis yang tidak realistis.
Masyarakat Harus Lebih Kritis dan Menuntut Transparansi
Sebagai masyarakat, kita perlu memahami bahwa janji politik tidak selalu sejalan dengan realitas pemerintahan. Ambiguitas janji politik dan ketidaksesuaian dengan realitas ekonomi adalah dua faktor utama yang sering menjadi penghalang dalam memenuhi janji-janji tersebut. Untuk mengatasi hal ini, kita harus menjadi pemilih yang lebih kritis dan menuntut transparansi dari para politisi. Bukan hanya janji yang harus diperhatikan, tetapi juga bagaimana janji tersebut akan diwujudkan, dari mana sumber daya akan didapatkan, dan apa konsekuensi ekonominya.