A man is as he think.... Kalimat tersebut aku dapatkan dari sebuah tulisan Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI tahun 60-an ketika dia selesai menonton sebuah film dari Cekoslovakia (sekarang Rep. Ceko) tentang seorang dokter pribumi sana yang ditempatkan oleh NAZI di gudang. Ditugaskan menjadi penjaga gudang lebih tepatnya. Dia harus menyembunyikan identitas kedokterannya tersebut. Hingga pada suatu hari dia tak bisa menolak tuntutan hati nuraninya untuk membantu seorang tentara yang terluka dan lari ke gudang tempat dia bertugas ‘munafik’ sebagai penjaga gudang tersebut. A man is as he think....
Sabtu, 14 Januari 2017. Kala itu ba’da Isya. Aku sengaja meluangkan waktu untuk mencari ‘sinyal’ (Para Pencari Sinyal, -PPS). Tempat hotspot tentunya. Begitulah dunia serba teknologi sekarang menamainya. Kebetulan aku sedang libur kuliah semester ganjil. Aku tidak mengambil mata kuliah KKN pada semester ini. Pertama, memang tidak berniat KKN di semester ini, dan kedua, SKS pengambilan mata kuliahku minus dua (-2). Kuhabiskan hari liburku di kampung halamanku, tanah kelahiranku, lemah cai-ku, Cianjur.
Berbekal barang pengakses kemana saja bak pintu kemana sajanya Doraemaon, notebook, aku menggendong tas coklat kesayanganku dan membawa smartphone-ku. Kulangkahkan kakiku dari rumah di belakang Masjid Agung Cianjur menuju arah timur, Alun-alun Kabupaten yang berjarak -/+ 150 M. Jaket merah marun kebangsaaanku, Jaket Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Padjadjaran kukenakan. Sekadar untuk menahan angin malam yang menerpa tubuh dan terasa cukup menusuk tulang. Apalagi angin pada Satnight itu bertiup amat kencang. Huuusshhh.
Beberapa menit berjalan dari rumah menuju Alun-alun Kabupaten, akhirnya aku sampai di tempat yang menjadi tujuanku sebagai Para Pencari Sinyal pada malam itu (maklum, aku sering ini seorang fakir. Fakir kuota), yakni Taman Baca Alun-alun Masjid Agung Cianjur. Alun-alun yang sudah ada sejak awal abad ke-19 ini menjadi tempat bermainku pada saat aku masih bocah. Ya, masa TK sampai SD. Dengan segala macam kekonyolan yang aku dan teman-temanku buat tentunya. Tak akan kusebut disini. Di Taman Baca itu ada satu sumber pemancar sinyal wifi. Bak air ajaib yang dahulu sempat heboh di daerahku, ‘sumber energi’ bagi ‘manusia-manusia mekanik’ ini sangat vital keberadaannya. Di Taman Baca ini dari pagi sampai sore bahkan malam hari selalu saja penuh oleh kaum fakir generasi millenial. Fakir kuota maksudku.
Setelah sampai di pelataran ruang baca, aku lepas sandal kebangsaan Swallow-ku. Berwarna biru. Sebiru dan seluas lautan. Warna biru seringkali mewakili luasnya ilmu. Ya, luasnya ilmu. Bagai samudera, ilmu akan terus dicari oleh manusia. Ilmu sangat berguna bagi kehidupan manusia. Manusia yang paling bermanfaat adalah manusia yang berilmu dan mengamalkan ilmunya pada manusia lainnya. Dengan ilmu manusia bisa saja sombong. Tetapi dengan ilmu pula, manusia akan menyadari betapa sedikitnya ilmu yang ia miliki dibandingkan dengan Ilmu Sang Pencipta. Bilamana samudera yang biru luas itu dijadikan tinta untuk menuliskan Ilmu Kepunyaan Sang Pencipta, maka puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan, hingga jumlah tak terhingganya lautan hitungan manusia tidak akan cukup untuk menuliskan Ilmu Sang Pencipta. Masih mau mengenakan jubah-Nya (sombong) Sang Pencipta ?
Aku langsung mengeluarkan notebook-ku. Kunyalakan, dan kutunggu beberapa saat hingga stand by. Di hadapanku, sebelum aku duduk sila di hadapan notebook-ku, ada seorang pria yang sedang diam termenung. Beberapa saat sebelum itu, aku melihatnya seperti berdzikir. Entah komat-kamit apa dia. Pada awalnya tak kupedulikan. Tak lama berselang, notebook-ku sudah stand by siap untuk kugunakan men-download film anime Bleach. Waktu itu aku mengunduh episode anime ini dari 167-189. Bersamaan dengan siapnya aku untuk berselancar di dunia maya, dia pun mulai berbicara. We cannot not communicate kata orang-orang ilmu komunikasi. Aku pun berbincang ringan dengannya.
Namanya Pardi Maulana (selanjutnya kutuliskan inisialnya saja, PM). Usianya 40 tahun. PM berasal dari Kp. Pangkalan, Desa Majalaya, Kec. Cikalong Kulon, Kab. Cianjur. Mirisnya dia tak tahu pasti tanggal dan bulan dia lahir. Dia hanya mengira-ngira saja bahwa dia sudah berada di dunia ini selama 40 tahun (tahun 1977 ?). Dia sekarang tinggal bersama sang nenek di kampungnya yang dekat dengan kompleks pemakaman Cikundul. Makam Dalem Cikundul yang dianggap sebagai bupati pertama Cianjur. PM mengaku tak memiliki ijazah sekolah formal. Semenjak kelas 4 SD dia sudah berhenti duduk di sekolah untuk mengenyam pendidikan. Alasannya ? Klasik. Biaya.
PM sedari kecil sudah yatim-piatu karena ibunya meninggal setelah mengantarkan kehadirannya di dunia dan sang ayah yang pergi begitu saja tanpa ada rimbanya. Meskipun mengaku memiliki kakak, kakaknya tidak sanggup untuk membiayai sekolah PM. Dia pun bercerita bahkan kebutuhan untuk uang saku agar bisa sekadar jajan di sekolah pun dia dapatkan dari hasil menjual kantong keresek di pasar Cikalong. Ini pun tak sehari-dua hari. Butuh waktu beberapa hari dalam seminggu agar PM bisa mendapatkan uang saku untuk jajan di sekolah. Keadaan ini mungkin berbeda dengan kita. Kebutuhan uang jajan selalu dipenuhi oleh kedua orang tua. Ketika masih seusia PM tentunya.
Beranjak ke masa SMP, SMA, hingga sebagian orang yang beruntung untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi masih dipenuhi kebutuhan akan uang sakunya oleh kedua orang tuanya. Yang bersyukur ? Ada. Yang mengeluh, protes, bahkan memaki dan memberontak kepada kemampuan ekonomi orang tuanya yang sebenarnya berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan uang jajan ini ? Ada. Mungkin banyak ! Mereka bukan tak mau memenuhi kebutuhan uang jajan anak-anaknya. Tetapi mereka menggunakan pertimbangan rasional. Bukan lapar mata yang menuruti hawa nafsu a la sebagian kawula muda. Kasihan orang tua yang seperti itu. Sudah ditekan dari atas oleh urusan-urusan pekerjaan, dihantam pula dari bawah oleh mutiara-mutiara kesayangan mereka, anak-anaknya. Semoga kita, aku, dan pembaca yang membaca tulisanku ini, tidak seperti itu. Bersyukurlah kita yang masih dipenuhi kebutuhannya oleh orang tua.
Kasihan juga aku. Sambil bercerita ngalor-ngidul, sesekali kuperhatikan wajah polos PM. Wajah tanpa kemunafikan. Wajah masyarakat biasa Indonesia. Wajah yang tak banyak keinginan. Wajah yang ingin hidup normal. Normal dalam ukuran masyarakat umum. Memiliki rumah, berumah tangga, beranak-pinak. “Pamarentah mah gampangnya A ngawangun sareng ngabongkar tempat teh. Abdi mah hoyong gaduh bumi nyalira ge nepi ka ayeuna teu acan wae. Hehehe”, ucapnya. Memang, bangunan Taman Baca Alun-alun tempat aku dan PM berbincang itu akan segera dibongkar oleh Pemkab Cianjur. Padahal baru saja diresmikan pada tahun 2013 menurut prasasti yang tertera di salah satu sisi tembok bangunan tersebut.
Tanganku yang sedang menggerak-gerakan kursor tanda panah di notebook serta mengetik “Download anime Bleach Episode 167-189” di search engine Google ini mengirim sinyal nano-elektrik melalui neuron-neuron yang jumlahnya banyak di dalam tubuh manusia kepada pusat pengendali tubuh, Otak, agar otak memerintahkan kedua mataku memerhatikan lebih serius cerita salah satu manusia Indonesia ini. Sulitnya ! Konsentrasiku terbagi dua pada akhirnya. Antara mengunduh anime itu, dan memerhatikan PM ini. Ini mungkin introspeksi bagi kita untuk memerhatikan lebih serius orang yang sedang berbicara kepada kita. Siapapun dia, darimana pun asalnya.
Tanpa pertimbangan bibit, bebet, bobot yang sangat feodalistis itu. Aku teringat perkataan salah seorang sahabat dan juga menantu Rasul saw., Ali bin Abi Thalib, bahwa perhatikan bicaranya, bukan orangnya. Maksudnya pesan yang disampaikannya. Jangan melihat orang yang menyampaikan pesan itu. Orang baik atau jahat, selama apa yang diucapkannya mengandung kebaikan, kebermanfaatan, dan kebenaran, maka dengarkan, simak, ambil, dan simpan dalam memori kita. Sampai yang paling penting, amalkan !
PM mengaku hidup nomaden. Nomaden lokal di wilayah Cikalong Kulon. Kadangkala tinggal di rumah neneknya, beberapa waktu kemudian tinggal di rumah kakaknya. Begitu siklus tempat tinggalnya berputar selama ini. Pekerjaannya tidak tetap. Kebanyakan adalah menjadi kuli bangunan. Dengan penghasilan seadanya dari hasil dia berpeluh itu dia masih mampu untuk membalas kebaikan kakaknya dengan selalu membantu keluarga kakaknya membeli beras. Rp.10.000,00-Rp.20.000,00 uang hasil jerih payahnya dia sisihkan untuk membeli beras membantu mengisi perut saudaranya. Jika tak sedang bekerja, dia hanya diam saja di rumah membantu sebisanya. PM tak mau merepotkan saudaranya. Dengan kondisi rumah saudaranya yang sempit, dia menaruh pakaiannya di kardus, tidak di lemari. Sungguh orang yang mau berkompromi terhadap keadaan dengan tetap bisa tersenyum tulus.
Sering berziarah
PM mengaku sering pergi berziarah ke makam para wali penyebar Islam di Pulau Jawa. Dia sempat pergi berziarah dari awal tahun 2014 hinga awal tahun 2015 (1 Januari 2014-1 Januari 2015, satu tahun penuh !) ke arah timur Pulau Jawa. Yang membuatku tak habis pikir adalah dia pergi berziarah dengan berjalan kaki ! Ya, berjalan kaki. Di zaman yang serba modern ini dimana kendaraan sudah bermacam-macam jenisnya masih ada manusia yang bertindak layaknya pengelana pada masa kerajaan-kerajaan tradisional dahulu. PM mengawali perjalanan panjangnya menyusuri jalan-jalan di Pulau Jawa ini dari Cianjur menuju Bandung. Dari Bandung dia mengambil jalur selatan.
Dia berziarah terlebih dahulu ke makam Syaikh Abdul Muhyi Wali Agung Pamijahan, Tasikmalaya yang terkenal itu. Dari makam Syaikh Abdul Muhyi tersebut, PM berbelok ke arah utara, arah Pantura dimana dia menjadikan Cirebon sebagai tujuan ziarah selanjutnya. Menuju makam Sunan Gunung Djati tepatnya. Selesai berziarah disana PM melanjutkan perjalanan berjalan kaki menyusuri jalur bersejarah, Pantura, Pantai Utara Jawa yang pembangunannya dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). De Groote Postweg yang terkenal itu banyak menelan korban jiwa. Contohnya ketika jalur ini akan dibangun di daerah Sumedang.
Ketika sampai di wilayah Sumedang tepatnya di Gunung Kunci, terjadi kesulitan pembangunan akses jalan raya ini diakibatkan kondisi alamnya yang terdiri dari batuan cadas yang sulit berkompromi dengan alat-alat pemecah batu sederhana milik orang pribumi. Akhirnya karena tak mau rakyat Sumedang yang menjadi korban bertambah banyak, maka Pangeran Arya Adipati Kusumaningrat IX Bupati Sumedang pada waktu itu menentang pembangunan ini. Momen ini diabadikan dengan pembuatan patung bersalaman tangan kanan dan tangan kiri antara Daendels dan Kusumaningrat IX di daerah jalan yang sekarang terkenal dengan nama Cadas Pangeran tersebut.
Dari Cirebon PM sampai di Demak untuk berziarah disana. Setelah Demak, dia tiba di Kudus. Pelancong rohani ini akhirnya tiba di Gresik, tujuan akhir ziarahnya. Di makam Sunan Gresik, Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Selama perjalanan ziarah ini dia tidak memikirkan sama sekali kebutuhan-kebutuhan yang umumnya dipikirkan oleh kebanyakan orang. Makan, minum, mandi, tidur yang menjadi hak tubuhnya dia penuhi seadanya. Sikapnya yang seakan no problem dalam kehidupan ini menjadikan dia manusia yang leumpeung. Sikap hidup yang pasrah, tawakal kepada Sang Pencipta setelah berusaha sekuat daya yang kita miliki.
Dia beristirahat di masjid-masjid yang dia temui sepanjang perjalanannya. Dia mulai berjalan kaki pada saat ba’da Shubuh dan akan berhenti ketika sudah terdengar adzan di perjalanan dan akan segera mencari masjid terdekat untuk menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta. Istirahatnya dia lakukan pada waktu salat itu. Setelah itu dia akan kembali melanjutkan perjalanannya sampai malam tiba. PM menuturkan jika dia kuat dia akan berjalan kaki hingga pukul 00.00 WIB. Sekiranya kakinya sudah tidak sanggup berjalan pada hari itu maka dia akan berhenti berjalan pada sekitaran pukul 21.00-22.00 WIB.
Ngaji Rasa, Ngaji Diri
PM mengatakan bahwa alam ini butuh untuk kita kenali. Alam ini butuh untuk kita sapa. Alam ini butuh teman. Hikmah yang dia ambil selama ini ketika dia bepergian kemana saja dengan berjalan kaki adalah Ngaji Rasa. Mengaji Rasa. Berusaha untuk bersatu dengan alam, mengetahui apa yang alam kehendaki, merasakan apa yang dirasakan oleh alam. Kupikir aku sependapat dengan apa yang PM utarakan. Selama ini dengan serba cepatnya, instannya, dinamisnya pergerakan manusia di segala bidang kehidupan seakan-akan membuat mereka lupa bahwasanya alam butuh dimengerti. Bukan alam saja yang harus mengerti keinginan manusia yang sebagian dituntut oleh hawa nafsunya itu, tapi harus ada hubungan timbal-balik diantara keduanya.
Fasilitas yang sudah diberikan Sang Pencipta ini bagaimana caranya dikelola secara berkesinambungan tak hanya untuk kebutuhan generasi sekarang namun kita juga harus menyiapkan fasilitas ini untuk generasi yang akan datang setelah kita, anak-cucu kita yang entah di masanya seperti apa keadaannya, zeitgeist-nya. Jika manusia generasi sekarang terlalu rakus akan fasilitas natural ini, maka tak menutup kemungkinan hilangnya es di kutub utara yang telah diprediksi para ilmuwan (aku pun membaca sebuah berita di salah satu harian online nasional bahwa lapisan es di salah satu bagian bumi akan menghilang selamanya akibat ulah manusia) akan diikuti oleh fasilitas natural lainnya di dunia ini. Dari lapisan es hingga flora dan fauna.
Aku masih asyik dengan noteboook-ku sambil mendengarkan cerita PM. Beberapa episode anime Bleach telah kuunduh. Sisa tinggal beberapa. Hingga PM bercerita tentang kisahnya berziarah ke Sukabumi. Ternyata di teras Taman Baca Alun-alun ini dia sedang merebahkan dirinya setelah melakukan perjalanan ziarah ke daerah Karanghawu di Sukabumi bagian selatan. Di bukit tempat terdapatnya makam yang dianggap oleh sebagian orang sebagai makam dari Nyi Roro Kidul yang tersohor mitosnya itu PM kembali berdzikir, berikhtiar agar diberikan petunjuk oleh Sang Pencipta bagaimana harus menjalani kehidupan ini.
PM mengaku tidak memerdulikan orang-orang yang berpandangan sinis kepadanya terkait kebiasaan berziarahnya tersebut. “Abdi mah ziarah ngadu’akeun si mayit, lain menta ti si mayit”. Seperti biasa dia melakukan perjalanan ziarah ini dengan berjalan kaki. Pada saat perjalanan pulang dari Sukabumi menuju Cianjur PM mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Dia diberi satu unit telepon genggam oleh orang yang baik hati. Pada awalnya PM menolak, namun secara ikhlas pemilik telepon genggam itu memberikan telepon genggamnya itu. Dia hanya membawa kartu SIM-nya karena terdapat nomor-nomor penting di dalamnya. PM mengaku selama ini tidak memiliki telepon genggam karena baginya kurang ada gunanya. “Ah da abdi mah tara nganggo nu kitu atuh A, kanggo naon?” tutur PM.
Berangkat dari Sukabumi pada waktu pagi ba’da Shubuh PM tiba kembali di Cianjur pada ba’da Maghrib. Dia menyusuri jalur rel kereta untuk sampai ke kampung halamannya ini. Berjalan kaki bung, berjalan kaki ! Aku masih teringat ketika aku mengajak seorang kawan perempuanku untuk berjalan kaki kesana-kemari. Belum sampai satu-dua jam dia sudah mengeluh lelah. Heran. Apa dia tidak membaca sejarah ? Bagaimana ketangguhan istri-istri prajurit TNI Divisi Siliwangi ketika mendampingi suaminya hijrah dari Jawa Barat menuju ibu kota Republik pada waktu itu Yogyakarta diakibatkan disetujuinya Perjanjian Renville ? Berjalan kaki. Mudah-mudahan hobi naik gunungku mengantarkanku menemukan bidadari ber-carrier.
PM akhirnya memasuki terowongan kereta api Lampegan di daerah Kec. Campaka, Kab. Cianjur. Terowongan yang dibangun pada 1883 ini lumayan panjang serta tidak memiliki alat penerangan di dalamnya. Berkas cahaya hanya terlihat dari ujung terowongan yang satu dan ujung terowongan yang lainnya di siang hari. Otomatis pada malam hari terowongan ini gelap gulita. PM memasuki terowongan ini tanpa bantuan alat penerangan. Untungnya dia sampai disini sebelum malam hari. Dia hanya mengandalkan cahaya di ujung terowongan yang lain agar bisa berjalan secara hati-hati. Di dalam terowongan PM mendapati sebuah tempat kecil mirip gua seukuran manusia dewasa.
Dia sengaja masuk kesana dalam kondisi gelap-gulita tersebut dan berjongkok, memejamkan matanya serta membayangkan bagaimana rasanya kematian, rasanya sendirian di alam kubur. “Oh, kieu meureunnya maot teh”, PM berujar kepadaku. Setelah selesai ngaji diri itu dia pun melanjutkan perjalanannya dipandu oleh binatang kecil yang bisa menyalakan tubuhnya yang kukenal dengan nama cika-cika. Binatang itu menghampirinya begitu saja tanpa dia minta. Pernah pula suatu ketika dia menolong seekor kodok yang terjebak di pusaran air. Dia ayunkan salah satu lengannya untuk melempar kodok tersebut ke tanah kembali. PM berkata,”Bangkong teh langsung siga ngomong nuhun ka abdi”. Dengan suara khas kodok tentunya.
PM yang tidak memiliki E-KTP dan tidak memiliki KK pula akhirnya ada di hadapanku pada Sabtu malam tersebut. Mungkin sudah ada yang menjadi penyusun skenario pertemuanku dengannya. Tanpa diminta dia memberikanku pelajaran akan pentingnya bersyukur dengan segala kondisi yang ada. Berusaha terus-menerus untuk mengubah nasib adalah naluri dari manusia. Bukankah Tuhan tak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu berusaha untuk mengubahnya sendiri ? Terima kasih aku ucapkan cucu Adam yang entah nomor berapa ini. Terakhir dia berkata padaku, “Sing beunghar hate, beunghar harta A”.
Hatur nuhun Kang Pardi mugia urang tiasa tepang deui.
Oky Nugraha Putra,
Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Padjadjaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H