Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngaji Rasa, Ngaji Diri

2 Februari 2017   10:47 Diperbarui: 2 Februari 2017   10:58 14333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih asyik dengan noteboook-ku sambil mendengarkan cerita PM. Beberapa episode anime Bleach telah kuunduh. Sisa tinggal beberapa. Hingga PM bercerita tentang kisahnya berziarah ke Sukabumi. Ternyata di teras Taman Baca Alun-alun ini dia sedang merebahkan dirinya setelah melakukan perjalanan ziarah ke daerah Karanghawu di Sukabumi bagian selatan. Di bukit tempat terdapatnya makam yang dianggap oleh sebagian orang sebagai makam dari Nyi Roro Kidul yang tersohor mitosnya itu PM kembali berdzikir, berikhtiar agar diberikan petunjuk oleh Sang Pencipta bagaimana harus menjalani kehidupan ini.

PM mengaku tidak memerdulikan orang-orang yang berpandangan sinis kepadanya terkait kebiasaan berziarahnya tersebut. “Abdi mah ziarah ngadu’akeun si mayit, lain menta ti si mayit”. Seperti biasa dia melakukan perjalanan ziarah ini dengan berjalan kaki. Pada saat perjalanan pulang dari Sukabumi menuju Cianjur PM mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Dia diberi satu unit telepon genggam oleh orang yang baik hati. Pada awalnya PM menolak, namun secara ikhlas pemilik telepon genggam itu memberikan telepon genggamnya itu. Dia hanya membawa kartu SIM-nya karena terdapat nomor-nomor penting di dalamnya. PM mengaku selama ini tidak memiliki telepon genggam karena baginya kurang ada gunanya. “Ah da abdi mah tara nganggo nu kitu atuh A, kanggo naon?” tutur PM.

Berangkat dari Sukabumi pada waktu pagi ba’da Shubuh PM tiba kembali di Cianjur pada ba’da Maghrib. Dia menyusuri jalur rel kereta untuk sampai ke kampung halamannya ini. Berjalan kaki bung, berjalan kaki ! Aku masih teringat ketika aku mengajak seorang kawan perempuanku untuk berjalan kaki kesana-kemari. Belum sampai satu-dua jam dia sudah mengeluh lelah. Heran. Apa dia tidak membaca sejarah ? Bagaimana ketangguhan istri-istri prajurit TNI Divisi Siliwangi ketika mendampingi suaminya hijrah dari Jawa Barat menuju ibu kota Republik pada waktu itu Yogyakarta diakibatkan disetujuinya Perjanjian Renville ? Berjalan kaki. Mudah-mudahan hobi naik gunungku mengantarkanku menemukan bidadari ber-carrier.

PM akhirnya memasuki terowongan kereta api Lampegan di daerah Kec. Campaka, Kab. Cianjur. Terowongan yang dibangun pada 1883 ini lumayan panjang serta tidak memiliki alat penerangan di dalamnya. Berkas cahaya hanya terlihat dari ujung terowongan yang satu dan ujung terowongan yang lainnya di siang hari. Otomatis pada malam hari terowongan ini gelap gulita. PM memasuki terowongan ini tanpa bantuan alat penerangan. Untungnya dia sampai disini sebelum malam hari. Dia hanya mengandalkan cahaya di ujung terowongan yang lain agar bisa berjalan secara hati-hati. Di dalam terowongan PM mendapati sebuah tempat kecil mirip gua seukuran manusia dewasa.

Dia sengaja masuk kesana dalam kondisi gelap-gulita tersebut dan berjongkok, memejamkan matanya serta membayangkan bagaimana rasanya kematian, rasanya sendirian di alam kubur. “Oh, kieu meureunnya maot teh”, PM berujar kepadaku. Setelah selesai ngaji diri itu dia pun melanjutkan perjalanannya dipandu oleh binatang kecil yang bisa menyalakan tubuhnya yang kukenal dengan nama cika-cika. Binatang itu menghampirinya begitu saja tanpa dia minta. Pernah pula suatu ketika dia menolong seekor kodok yang terjebak di pusaran air. Dia ayunkan salah satu lengannya untuk melempar kodok tersebut ke tanah kembali. PM berkata,”Bangkong teh langsung siga ngomong nuhun ka abdi”. Dengan suara khas kodok tentunya.

PM yang tidak memiliki E-KTP dan tidak memiliki KK pula akhirnya ada di hadapanku pada Sabtu malam tersebut. Mungkin sudah ada yang menjadi penyusun skenario pertemuanku dengannya. Tanpa diminta dia memberikanku pelajaran akan pentingnya bersyukur dengan segala kondisi yang ada. Berusaha terus-menerus untuk mengubah nasib adalah naluri dari manusia. Bukankah Tuhan tak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu berusaha untuk mengubahnya sendiri ?  Terima kasih aku ucapkan cucu Adam yang entah nomor berapa ini. Terakhir dia berkata padaku, “Sing beunghar hate, beunghar harta A”.

Hatur nuhun Kang Pardi mugia urang tiasa tepang deui.

Oky Nugraha Putra,

Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Padjadjaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun