Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngaji Rasa, Ngaji Diri

2 Februari 2017   10:47 Diperbarui: 2 Februari 2017   10:58 14333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A man is as he think.... Kalimat tersebut aku dapatkan dari sebuah tulisan Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI tahun 60-an ketika dia selesai menonton sebuah film dari Cekoslovakia (sekarang Rep. Ceko) tentang seorang dokter pribumi sana yang ditempatkan oleh NAZI di gudang. Ditugaskan menjadi penjaga gudang lebih tepatnya. Dia harus menyembunyikan identitas kedokterannya tersebut. Hingga pada suatu hari dia tak bisa menolak tuntutan hati nuraninya untuk membantu seorang tentara yang terluka dan lari ke gudang tempat dia bertugas ‘munafik’ sebagai penjaga gudang tersebut. A man is as he think....

Sabtu, 14 Januari 2017. Kala itu ba’da Isya. Aku sengaja meluangkan waktu untuk mencari ‘sinyal’ (Para Pencari Sinyal, -PPS). Tempat hotspot tentunya. Begitulah dunia serba teknologi sekarang menamainya. Kebetulan aku sedang libur kuliah semester ganjil. Aku tidak mengambil mata kuliah KKN pada semester ini. Pertama, memang tidak berniat KKN di semester ini, dan kedua, SKS pengambilan mata kuliahku minus dua (-2). Kuhabiskan hari liburku di kampung halamanku, tanah kelahiranku, lemah cai­­-ku, Cianjur.

Berbekal barang pengakses kemana saja bak pintu kemana sajanya Doraemaon, notebook, aku menggendong tas coklat kesayanganku dan membawa smartphone-ku. Kulangkahkan kakiku dari rumah di belakang Masjid Agung Cianjur menuju arah timur, Alun-alun Kabupaten yang berjarak -/+ 150 M. Jaket merah marun kebangsaaanku, Jaket Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Padjadjaran kukenakan. Sekadar untuk menahan angin malam yang menerpa tubuh dan terasa cukup menusuk tulang. Apalagi angin pada Satnight itu bertiup amat kencang. Huuusshhh.

Beberapa menit berjalan dari rumah menuju Alun-alun Kabupaten, akhirnya aku sampai di tempat yang menjadi tujuanku sebagai Para Pencari Sinyal pada malam itu (maklum, aku sering ini seorang fakir. Fakir kuota), yakni Taman Baca Alun-alun Masjid Agung Cianjur. Alun-alun yang sudah ada sejak awal abad ke-19 ini menjadi tempat bermainku pada saat aku masih bocah. Ya, masa TK sampai SD. Dengan segala macam kekonyolan yang aku dan teman-temanku buat tentunya. Tak akan kusebut disini. Di Taman Baca itu ada satu sumber pemancar sinyal wifi. Bak air ajaib yang dahulu sempat heboh di daerahku, ‘sumber energi’ bagi ‘manusia-manusia mekanik’ ini sangat vital keberadaannya. Di Taman Baca ini dari pagi sampai sore bahkan malam hari selalu saja penuh oleh kaum fakir generasi millenial. Fakir kuota maksudku.

Setelah sampai di pelataran ruang baca, aku lepas sandal kebangsaan Swallow-ku. Berwarna biru. Sebiru dan seluas lautan. Warna biru seringkali mewakili luasnya ilmu. Ya, luasnya ilmu. Bagai samudera, ilmu akan terus dicari oleh manusia. Ilmu sangat berguna bagi kehidupan manusia. Manusia yang paling bermanfaat adalah manusia yang berilmu dan mengamalkan ilmunya pada manusia lainnya. Dengan ilmu manusia bisa saja sombong. Tetapi dengan ilmu pula, manusia akan menyadari betapa sedikitnya ilmu yang ia miliki dibandingkan dengan Ilmu Sang Pencipta. Bilamana samudera yang biru luas itu dijadikan tinta untuk menuliskan Ilmu Kepunyaan Sang Pencipta, maka puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan, hingga jumlah tak terhingganya lautan hitungan manusia tidak akan cukup untuk menuliskan Ilmu Sang Pencipta. Masih mau mengenakan jubah-Nya (sombong) Sang Pencipta ?

Aku langsung mengeluarkan notebook-ku. Kunyalakan, dan kutunggu beberapa saat hingga stand by. Di hadapanku, sebelum aku duduk sila di hadapan notebook-ku, ada seorang pria yang sedang diam termenung. Beberapa saat sebelum itu, aku melihatnya seperti berdzikir. Entah komat-kamit apa dia. Pada awalnya tak kupedulikan. Tak lama berselang, notebook-ku sudah stand by siap untuk kugunakan men-download film anime Bleach. Waktu itu aku mengunduh episode anime ini dari 167-189. Bersamaan dengan siapnya aku untuk berselancar di dunia maya, dia pun mulai berbicara. We cannot not communicate kata orang-orang ilmu komunikasi. Aku pun berbincang ringan dengannya.

Namanya Pardi Maulana (selanjutnya kutuliskan inisialnya saja, PM). Usianya 40 tahun. PM berasal dari Kp. Pangkalan, Desa Majalaya, Kec. Cikalong Kulon, Kab. Cianjur. Mirisnya dia tak tahu pasti tanggal dan bulan dia lahir. Dia hanya mengira-ngira saja bahwa dia sudah berada di dunia ini selama 40 tahun (tahun 1977 ?). Dia sekarang tinggal bersama sang nenek di kampungnya yang dekat dengan kompleks pemakaman Cikundul. Makam Dalem Cikundul yang dianggap sebagai bupati pertama Cianjur. PM mengaku tak memiliki ijazah sekolah formal. Semenjak kelas 4 SD dia sudah berhenti duduk di sekolah untuk mengenyam pendidikan. Alasannya ? Klasik. Biaya.

PM sedari kecil sudah yatim-piatu karena ibunya meninggal setelah mengantarkan kehadirannya di dunia dan sang ayah yang pergi begitu saja tanpa ada rimbanya. Meskipun mengaku memiliki kakak, kakaknya tidak sanggup untuk membiayai sekolah PM. Dia pun bercerita bahkan kebutuhan untuk uang saku agar bisa sekadar jajan di sekolah pun dia dapatkan dari hasil menjual kantong keresek di pasar Cikalong. Ini pun tak sehari-dua hari. Butuh waktu beberapa hari dalam seminggu agar PM bisa mendapatkan uang saku untuk jajan di sekolah. Keadaan ini mungkin berbeda dengan kita. Kebutuhan uang jajan selalu dipenuhi oleh kedua orang tua. Ketika masih seusia PM tentunya.

Beranjak ke masa SMP, SMA, hingga sebagian orang yang beruntung untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi masih dipenuhi kebutuhan akan uang sakunya oleh kedua orang tuanya. Yang bersyukur ? Ada. Yang mengeluh, protes, bahkan memaki dan memberontak kepada kemampuan ekonomi orang tuanya yang sebenarnya berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan uang jajan ini ? Ada. Mungkin banyak ! Mereka bukan tak mau memenuhi kebutuhan uang jajan anak-anaknya. Tetapi mereka menggunakan pertimbangan rasional. Bukan lapar mata yang menuruti hawa nafsu a la sebagian kawula muda. Kasihan orang tua yang seperti itu. Sudah ditekan dari atas oleh urusan-urusan pekerjaan, dihantam pula dari bawah oleh mutiara-mutiara kesayangan mereka, anak-anaknya. Semoga kita, aku, dan pembaca yang membaca tulisanku ini, tidak seperti itu. Bersyukurlah kita yang masih dipenuhi kebutuhannya oleh orang tua.

Kasihan juga aku. Sambil bercerita ngalor-ngidul, sesekali kuperhatikan wajah polos PM. Wajah tanpa kemunafikan. Wajah masyarakat biasa Indonesia. Wajah yang tak banyak keinginan. Wajah yang ingin hidup normal. Normal dalam ukuran masyarakat umum. Memiliki rumah, berumah tangga, beranak-pinak. “Pamarentah mah gampangnya A ngawangun sareng ngabongkar tempat teh. Abdi mah hoyong gaduh bumi nyalira ge nepi ka ayeuna teu acan wae. Hehehe”, ucapnya. Memang, bangunan Taman Baca Alun-alun tempat aku dan PM berbincang itu akan segera dibongkar oleh Pemkab Cianjur. Padahal baru saja diresmikan pada tahun 2013 menurut prasasti yang tertera di salah satu sisi tembok bangunan tersebut.

Tanganku yang sedang menggerak-gerakan kursor tanda panah di notebook serta mengetik “Download anime Bleach Episode 167-189” di search engine Google ini mengirim sinyal nano-elektrik melalui neuron-neuron yang jumlahnya banyak di dalam tubuh manusia kepada pusat pengendali tubuh, Otak, agar otak memerintahkan kedua mataku memerhatikan lebih serius cerita salah satu manusia Indonesia ini. Sulitnya ! Konsentrasiku terbagi dua pada akhirnya. Antara mengunduh anime itu, dan memerhatikan PM ini. Ini mungkin introspeksi bagi kita untuk memerhatikan lebih serius orang yang sedang berbicara kepada kita. Siapapun dia, darimana pun asalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun