Armand tersenyum dan mengangguk.
--------------------------------
          Aku harap kali ini takdir tidak mempermainkanku.
         Kata-kata Nanda sungguh menyesakkan dada Armand karena dia tahu persis episode-episode kehidupan yang dilalui Nanda.
        "Mama Papaku akan bercerai. Baguslah, aku jengah selalu mereka mendengar bertengkar atau memecahkan piring di rumah."
        Nanda bercerita kepadanya tanpa rasa sedih ketika mereka duduk di kelas 4 SD. Armand tak tahu bagaimana harus bersikap taktala dirinya sendiri baru pulang dari berlibur bersama ayah ibunya. Keluarganya harmonis, ayah dan  ibu Armand tak pernah memecah piring.
        "Kau tak ikut acara perpisahan sekolah di Bali?"
        "Mamaku tak punya cukup uang untuk membiayai perjalanan itu. Mama terlampau malu untuk selalu merepotkan kakekku. Kakek sudah menanggung uang sekolahku dan itu lebih dari cukup. Kamu selamat bersenang-senang di Bali ya, oleh-olehnya dong," jelas Nanda dengan senyuman lebar.
        Percakapan ini terjadi di bangku kelas 3 SMP. Lagi-lagi Armand tak tahu cara yang pantas untuk memberikan tanggapan.
        "Selamat ya, wah kau masuk Fakultas Kedokteran. Kawanku nih orang pintar dan hebat rupanya. Tak sia-sia aku jadi kawanmu nih."
        Ucapan selamat dari Nanda begitu terdengar tulus, namun ada rasa sungkan dari diri Armand untuk bertanya balik rencana pendidikan Nanda dan tampaknya Nanda cukup memahami itu sehingga Nanda bercerita dengan sendirinya.