Kekerasan kepada anak bukan lagi permasalahan yang asing di Indonesia terlebih dalam kekerasan fisik, dalam tahun 2020 dibulan januari sampai juni terdapat 3.928 kasus kekerasan anak.Â
Tapi kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, contohnya kekerasan yang menyerang mental anak.Â
Pembentukan mental sang anak memang diperlukan terlebih lagi dalam membentuk mental sang anak agar lebih baik.Â
Namun terkadang orang tua tidak memahami cara-cara yang baik dalam menyampaikan pelajaran dalam membentuk mental sang anak. Malah terjatuhnya kedalam kekerasan emosional kepada sang anak.
Kekerasan yang menyerang mental sang anak ini menyangkut emosional, dimana kekerasan emosional melakukannya dengan cara yakni meremehkan atau mempermalukan anak, mengancam anak, dan mengatakan yang buruk-buruk tentang sang anak.Â
Semua itu memicu kepada perilaku sang anak ke masa depan terlebih lagi jika sang anak sudah pandai bergaul maka akan terlihat bagaimana keadaan lingkungan pergaulan mereka.Â
Pola lingkungan pergaulan inilah yang menjadi tolak ukur sang anak yang dapat dijadikan hasil dari pengolahan mental sang anak. Kekerasan emosional dapat dilakukan orang tua karena beberapa alasan, antara lain untuk membentuk mental baja agar tidak mudah mengeluh, berperilaku semestinya dilihat dari jenis kelamin, agar menjadi bekal survive dikala dewasa, menjadi anak yang pemberani dll.
Banyaknya angka kekerasan kepada anak menggambarkan kurangnya ilmu dalam mendidik sang anak untuk bekal masa depan sang anak itu sendiri.Â
Di Indonesia sendiri hal ini juga yang dipengaruhi oleh pernikahan dibawah umur dimana usia tersebut sebenarnya belum matang untuk membangun rumah tangga sehingga labilnya perilaku dan pikiriran dapat melakukan tindak kekerasan terhadap anak.Â
Menurut data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diolah KPPPA, sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama.
Sekitar 97% permohonan dispenasi itu dikabulkan, yang berarti perkawinan diizinkan. Permohonan dispensasi pada semester pertama tahun 2020 itu sendiri meningkat drastis dibanding dengan data keseluruhan tahun 2019, yakni dengan 23.700 permohonan dan selama ini kebanyakan di bawah tangan.Â
Sebelumnya 95 persen itu illegal. Menurut data KPPPA, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,21% di tahun 2017 dan turun ke angka 10,82% tahun 2019.Â
Menurunnya angka ditahun 2019 kebawah tidak memungkinkan longgarnya perkawinan dini hanya saja tidak tercatat dihukum melainkan bertindak ilegal.
Dalam mendidik anak harus diketahui bahwa sang anak adalah harapan bagi orang tua, dan orang tua sendiri harus tau bagaimana cara agar mendidik anak dengan baik tanpa adanya kekerasan.Â
Yang paling utama adalah orang tua harus mendekatkan dirinya kepada ajaran-ajaran agama, dimana agama akan mengajarkan cara-cara yang baik dalam mendidik anak.Â
Orang tua sebagai teladan bagi anak-anaknya harus berperilaku baik dan tidak semena-mena. Tidak menunjukkan kekerasan didepan sang anak termasuk bertengkar dengan suami/istri.Â
Sang anak memiliki memori yang kuat dalam mengingat suatu momen yang paling berharga dalam hidupnya dan bisa diingat sampai dewasa, hal ini juga harus diketahui bagi orang tua.Â
Oleh karena itu orang tua harus mendidik dengan cara memorable bagi sang anak tanpa adanya kekerasan emosional, dan jika anak bandel kita harus sabar dan terus ingatkan kalo perilaku tersebut tidak baik.
Ada hal yang harus perlu diingat, dalam kekerasan pasti meninggalkan dampak-dampak terutama dampak negatif pada anak dan tidak terkecuali pada kekerasan emosional.Â
Ada dampak-dampak yang harus diketahui dari kekerasan emosional antara lain, Kehilangan kepercayaan diri, Terlihat depresi dan gelisah, Sakit kepala atau sakit perut yang tiba-tiba, Menarik diri dari aktivitas sosial seperti dari teman-teman, atau orangtua, Perkembangan emosional terlambat, Sering bolos sekolah serta penurunan prestasi, kehilangan semangat untuk sekolah, Menghindari situasi tertentu, dan Kehilangan ketrampilan bahkan sampai meninggal dunia karena bunuh diri.Â
Tidak hanya itu, harus diperhitungkan bahwa besar kemungkinan sang anak mengalami gangguan perkembangan otak dan sistem saraf hal ini yang akan berdampak pada fisik dan psikis dalam jangka yang Panjang kedepannya.
Regulasi pemerintah berperan penting terhadap masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Peraturan yang bersifat mengarah dan memaksa harus ditakuti oleh setiap warga negara, hal ini juga yang menjadi landasan hukum di negara Indonesia.Â
Oleh karena itu pemerintah harus membuat regulasi yang dapat meminim tindakan kekerasan kepada anak, yang bersifat keras dan memaksa, dan juga regulasi tentang pernikahan dini.Â
Cara ini agar bisa menekan angka pernikahan dibawah umur di Indonesia, cara dari regulasi inilah yang ampuh sebelum menunggu kesadaran dari masyarakat.Â
Juga perlunya sosialisasi tentang regulasi dalam menikah agar masyarakat sadar, dan sasaran utamanya adalah para pelajar yang masih dibawah umur.
Adanya data meningkatnya pernikahan dini, memicu terjadinya keluarga minim pengetahuan terhadap mengasuh anak dengan baik. Juga diperlukannya sosialisai dalam mendidik anak tanpa adanya kekerasan emosional maupun fisik.Â
Sosialisasi dengan menargetkan para pelajar yang dibawah umur adalah tindakan yang tepat karena di Indonesia masih banyak anak yang putus sekolah dikarenakan menghamili atau hamil duluan.Â
Sementara itu sang anak kelak beberapa tahun kedepan akan menjadi orang sukses bahkan bisa menjadi seorang pemimpin negara dan kitalah sebagai orang tua maupun calon orang tua, harus memiliki pondasi kuat dalam mendidik sang anak dan juga pengetahuan yang lebih.Â
Jika tidak maka masa depan sang anak akan buruk karena kurangnya perhatian dan respon dari kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H