Mohon tunggu...
Oky Firman
Oky Firman Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

I still learn to survive in the next level in my life, don’t give up and stay wake up

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Anak Tanpa Kekerasan Emosional

12 Januari 2021   14:42 Diperbarui: 12 Januari 2021   15:15 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan kepada anak bukan lagi permasalahan yang asing di Indonesia terlebih dalam kekerasan fisik, dalam tahun 2020 dibulan januari sampai juni terdapat 3.928 kasus kekerasan anak. 

Tapi kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, contohnya kekerasan yang menyerang mental anak. 

Pembentukan mental sang anak memang diperlukan terlebih lagi dalam membentuk mental sang anak agar lebih baik. 

Namun terkadang orang tua tidak memahami cara-cara yang baik dalam menyampaikan pelajaran dalam membentuk mental sang anak. Malah terjatuhnya kedalam kekerasan emosional kepada sang anak.

Kekerasan yang menyerang mental sang anak ini menyangkut emosional, dimana kekerasan emosional melakukannya dengan cara yakni meremehkan atau mempermalukan anak, mengancam anak, dan mengatakan yang buruk-buruk tentang sang anak. 

Semua itu memicu kepada perilaku sang anak ke masa depan terlebih lagi jika sang anak sudah pandai bergaul maka akan terlihat bagaimana keadaan lingkungan pergaulan mereka. 

Pola lingkungan pergaulan inilah yang menjadi tolak ukur sang anak yang dapat dijadikan hasil dari pengolahan mental sang anak. Kekerasan emosional dapat dilakukan orang tua karena beberapa alasan, antara lain untuk membentuk mental baja agar tidak mudah mengeluh, berperilaku semestinya dilihat dari jenis kelamin, agar menjadi bekal survive dikala dewasa, menjadi anak yang pemberani dll.

Banyaknya angka kekerasan kepada anak menggambarkan kurangnya ilmu dalam mendidik sang anak untuk bekal masa depan sang anak itu sendiri. 

Di Indonesia sendiri hal ini juga yang dipengaruhi oleh pernikahan dibawah umur dimana usia tersebut sebenarnya belum matang untuk membangun rumah tangga sehingga labilnya perilaku dan pikiriran dapat melakukan tindak kekerasan terhadap anak. 

Menurut data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diolah KPPPA, sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama.

Sekitar 97% permohonan dispenasi itu dikabulkan, yang berarti perkawinan diizinkan. Permohonan dispensasi pada semester pertama tahun 2020 itu sendiri meningkat drastis dibanding dengan data keseluruhan tahun 2019, yakni dengan 23.700 permohonan dan selama ini kebanyakan di bawah tangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun