Fenomena ini mungkin tidak lagi asing buat kita saat ini. Hubungan kekeluargaan, terutama dalam konteks hubungan kekerabatan dalam keluarga besar, menjadi semakin renggang. Buat milenial dan generasi Z pada masa mendatang, keluarga mungkin malah sudah menjadi faktor yang kian tidak relevan dalam kehidupan mereka.
Tapi, apa sih sebenarnya arti dan makna keluarga dan kekeluargaan bagi kita?
Jawaban itu sedikit banyak akan menentukan respons kita atas judul di atas.
Keluarga sendiri adalah orang-orang yang memiliki pertalian darah atau ikatan kekerabatan dengan kita. Mereka sudah "ditakdirkan" menjadi orang-orang yang memiliki relasi keluarga dengan kita. Suka atau tidak suka, mereka adalah orang-orang yang Tuhan jadikan memiliki ikatan dengan kita by "blood" atau by "law". Kita tidak dapat menolak atau menafikan posisi mereka dalam kehidupan kita.
Dulu, mungkin ikatan keluarga jauh lebih penting dibanding ikatan pertemanan. Itu sebabnya banyak adat dan budaya yang memasukkan keluarga sebagai unsur yang penting. Acara pernikahan, pemakaman, kelahiran, berbagai syukuran, ulang tahun, atau arisan keluarga adalah acara-acara yang selalu melibatkan keluarga besar.
Orangtua zaman dulu juga kerap mengunjungi rumah sanak keluarganya, bukan hanya kerabat dekat, tetapi juga kerabat-kerabat yang jauh. Tak heran bila generasi di atas kita memiliki hubungan kekeluargaan yang lebih rekat dibanding relasi kekeluargaan dari generasi X, Y, generasi milenial, dan kemungkinan besar pada generasi-generasi selanjutnya. Nenek, kakek, dan orangtua kita jauh lebih baik dalam menjalin relasi persaudaraan dibanding kita.
Jarak, kesibukan, budaya, pekerjaan, prioritas, waktu, dan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi lalu menjadi faktor-faktor yang mengubah dan mempengaruhi relasi persaudaraan atau kekerabatan kita saat ini.
Boro-boro mengenal anak dari sepupu orangtua kita. Sekarang, bisa mengenal dan berelasi baik dengan saudara-saudara sepupu kita dari pihak ayah maupun ibu saja sudah sangat baik sekali. Di desa, fenomena ini mungkin belum terlalu terasa, meski tetap sudah bergeser dari generasi-generasi sebelumnya. Namun, di perkotaan hal ini sudah semakin umum, bahkan biasa.
Tanyalah pada generasi milenial atau anak-anak remaja kita, bagaimana relasi mereka dengan keluarga besarnya. Pasti jarang yang akan menyebut kata "akrab" atau "dekat". Sesuatu yang dulu justru menjadi jawaban lumrah bagi kita.
Anehnya, hal ini justru berbanding terbalik dengan relasi pertemanan. Banyak orang yang justru sekarang makin memiliki relasi pertemanan yang sangat baik dan luas jangkauannya. Selain teman sekolah dan kuliah (yang tetap dijalin baik, meski sudah bertahun-tahun), ada juga teman kerja, teman komunitas kegiatan, teman gereja, temannya teman, teman pasangan, teman pelayanan, teman gaul, teman tapi mesra, dsb, dst.
Berbeda dengan keluarga, teman adalah orang yang kita kenal dari berbagai tempat, komunitas, atau kegiatan di mana kita terlibat di dalamnya, yang kemudian kita pilih untuk menjadi akrab dan dekat. Berbeda juga dengan keluarga yang sudah menjadi "takdir", kita bisa memilih siapa yang dapat menjadi teman atau sahabat kita dan kemudian menghabuskan banyak waktu bersama mereka. Oleh karena itulah kita lalu menjadi lebih nyaman berelasi dengan teman dibanding dengan saudara atau keluarga, sebab relatif ada banyak persamaan dan waktu yang kita miliki bersama teman dan sahabat.
Yah, sampai pada pernyataan itu, sah-sah saja sih. Wajar malah. Kita semua toh memang merasakannya. Kita senang memiliki teman dan senang menjalin kedekatan dengan mereka. Thank God for friends. Yay.
Nah, tapi jadi masalah ketika kita tidak memiliki standar yang sama untuk keluarga, Â jika kita mengabaikan saudara, keluarga, atau kerabat kita, karena kita merasa tidak memerlukan mereka. Alasannya mungkin demikian: "Kan kita sudah punya teman, atau tetangga. Ngapain juga repot-repot mikirin saudara, keluarga, atau kerabat, yang belum tentu ketemu setahun sekali, belum tentu cocok, belum tentu asik seperti teman-teman kita? Toh, dengan begitu, kita juga tidak merugikan siapa-siapa."
Itu benar, jika dipikir berdasar logika.
Namun, keluarga adalah anugerah Tuhan. Mereka bukan orang-orang tak relevan dalam kehidupan kita, yang tak punya arti. Meski jauh, belum tentu memiliki banyak kecocokan atau kesamaan dengan kita, mereka tetap harus mendapat tempat dalam kehidupan kita.
Mereka tak harus memiliki kedekatan relasi dengan kita untuk tetap dihargai dan diberikan ruang dalam hati dan hidup kita. Pastilah ada maksud Tuhan mengapa kita menjadi keluarga atau memiliki pertalian saudara dengan mereka, meski mungkin kita tidak mengetahui alasan detailnya, bahkan sampai mati. Jangan sampai kita mengabaikan, menganggap tidak penting, atau mengalienasi keberadaan mereka. Â Menghilangkan atau menganggap tidak penting keberadaan saudara, keluarga, atau kerabat sama saja menolak kedaulatan atau kehendak Tuhan.
Memang, yang namanya keluarga tentu tak lepas dari masalah, ketidakcocokan, dan konflik. Hal-hal itu tidak bisa dinafikan memang menjadi penyebab retak atau rusaknya hubungan keluarga. Tapi, jika dengan teman kita saja bisa mengupayakan untuk kembali berbaikan, mengapa tidak dengan keluarga sendiri? Dengan teman bisa mesra, tetapi mengapa dengan keluarga kita malah kian menjaga jarak? Menjadi manusia yang berintegritas berarti juga tidak memiliki double standart dalam berelasi.
Yang lebih parah lagi adalah jika kita mengabaikan keluarga, sanak saudara, atau kerabat hanya karena alasan perbedaan status sosial, status ekonomi, pendidikan, asal, atau karena kita memang tidak mau repot-repot menjalin relasi dengan mereka.
Selain itu, budaya dan peran orangtua untuk membuat anak-anak memiliki relasi yang baik dengan saudara, keluarga, dan kerabat sangatlah penting. Sejak kecil, orangtua sebaiknya sering mengajak mereka untuk mengenal keluarga-keluarga yang lain, baik yang memiliki kekerabatan dekat maupun yang jauh, yang tinggal dekat maupun jauh, yang tua maupun muda.
Anak-anak yang memiliki orangtua yang mau srawung (baca: bersosialisasi, berinteraksi) dengan sanak saudaranya, besar kemungkinan akan juga menjalin relasi yang baik dengan sanak saudaranya. Namun, jika hal semacam itu tidak pernah diteladankan atau diajarkan kepada anak-anak, jangan harap mereka akan mau berelasi dan menjaga ikatan kekeluargaan atau persaudaraan dengan baik pada masa mendatang.
Tapi, bagaimana cara untuk bisa mulai menjalin relasi baik dengan saudara, keluarga, dan kerabat?
Pertama, jangan bersikap basa-basi.
Bersikaplah ramah, tulus dan terbuka kepada  mereka.
Sempatkan berkunjung jika ada waktu, daya, dan kesempatan, terutama pada keluarga yang sudah lansia dan kesepian. Saya sendiri punya orangtua yang tinggal jauh dari saya, yang tidak bisa sering-sering saya tengok dan temui. Akan senang sekali rasanya jika saya mengetahui ada anggota keluarga lain yang peduli dan mau menyempatkan waktu untuk menengok mereka.
Upayakan membezuk, menengok, dan menghibur jika ada keluarga yang sakit atau tertimpa masalah. Kita bisa menjadi berkat hanya dengan peduli dan berdoa bersama mereka.
Bentuk komunitas grup keluarga via layanan media sosial atau chat, dan manfaatkan kemajuan teknologi untuk berelasi dan menjaga ikatan persaudaraan. Mulai saja dari keluarga yang paling dekat dan sudah kita kenal. Dari sana, kita bisa mengembangkan relasi kepada sanak keluarga dan kerabat yang lebih jauh dan luas.
Selagi ada waktu, sediakan ruang dalam hidup kita untuk menjalin relasi dan menjaga ikatan kekeluargaan. Momen-momen Natal, Lebaran, Tahun Baru, Paskah, atau hari-hari libur keagamaan lainnya jadi waktu yang tepat untuk saling berkunjung dan menunjukkan perhatian. Bukankah akan terasa miris jika kita sampai bertemu dengan anggota keluarga yang lain hanya pada momen pemakaman. It's too late .... Basi.
Keluarga harusnya menjadi kata yang berkonotasi hangat, ramah, guyup, rukun, dekat, dipercaya. Dengan keluarga, seharusnya kita tidak berbasa-basi, jauh, bahkan asing.
Seperti halnya kita, anggota keluarga yang lain juga tidak bisa menolak ketika kita menjadi orang yang harus mereka anggap sebagai keluarga.
Jadi, daripada saling menjauh dan menolak, mari kita saling menerima saja. Toh, kerukunan selalu membawa kebaikan.
Tuhan senang jika kita rukun.
"Halo, bagaimana kabarnya, .... ?"
Itu bisa jadi satu kalimat yang baik untuk memulai.
Yuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H