Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keluarga, Dekat di Genetik, Jauh di Hati

2 Desember 2020   19:00 Diperbarui: 2 Desember 2020   19:43 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yah, sampai pada pernyataan itu, sah-sah saja sih. Wajar malah. Kita semua toh memang merasakannya. Kita senang memiliki teman dan senang menjalin kedekatan dengan mereka. Thank God for friends. Yay.

Nah, tapi jadi masalah ketika kita tidak memiliki standar yang sama untuk keluarga,  jika kita mengabaikan saudara, keluarga, atau kerabat kita, karena kita merasa tidak memerlukan mereka. Alasannya mungkin demikian: "Kan kita sudah punya teman, atau tetangga. Ngapain juga repot-repot mikirin saudara, keluarga, atau kerabat, yang belum tentu ketemu setahun sekali, belum tentu cocok, belum tentu asik seperti teman-teman kita? Toh, dengan begitu, kita juga tidak merugikan siapa-siapa."

Itu benar, jika dipikir berdasar logika.

Namun, keluarga adalah anugerah Tuhan. Mereka bukan orang-orang tak relevan dalam kehidupan kita, yang tak punya arti. Meski jauh, belum tentu memiliki banyak kecocokan atau kesamaan dengan kita, mereka tetap harus mendapat tempat dalam kehidupan kita.

Mereka tak harus memiliki kedekatan relasi dengan kita untuk tetap dihargai dan diberikan ruang dalam hati dan hidup kita. Pastilah ada maksud Tuhan mengapa kita menjadi keluarga atau memiliki pertalian saudara dengan mereka, meski mungkin kita tidak mengetahui alasan detailnya, bahkan sampai mati. Jangan sampai kita mengabaikan, menganggap tidak penting, atau mengalienasi keberadaan mereka.  Menghilangkan atau menganggap tidak penting keberadaan saudara, keluarga, atau kerabat sama saja menolak kedaulatan atau kehendak Tuhan.

Memang, yang namanya keluarga tentu tak lepas dari masalah, ketidakcocokan, dan konflik. Hal-hal itu tidak bisa dinafikan memang menjadi penyebab retak atau rusaknya hubungan keluarga. Tapi, jika dengan teman kita saja bisa mengupayakan untuk kembali berbaikan, mengapa tidak dengan keluarga sendiri? Dengan teman bisa mesra, tetapi mengapa dengan keluarga kita malah kian menjaga jarak? Menjadi manusia yang berintegritas berarti juga tidak memiliki double standart dalam berelasi.

Yang lebih parah lagi adalah jika kita mengabaikan keluarga, sanak saudara, atau kerabat hanya karena alasan perbedaan status sosial, status ekonomi, pendidikan, asal, atau karena kita memang tidak mau repot-repot menjalin relasi dengan mereka.

Selain itu, budaya dan peran orangtua untuk membuat anak-anak memiliki relasi yang baik dengan saudara, keluarga, dan kerabat sangatlah penting. Sejak kecil, orangtua sebaiknya sering mengajak mereka untuk mengenal keluarga-keluarga yang lain, baik yang memiliki kekerabatan dekat maupun yang jauh, yang tinggal dekat maupun jauh, yang tua maupun muda.

Anak-anak yang memiliki orangtua yang mau srawung (baca: bersosialisasi, berinteraksi) dengan sanak saudaranya, besar kemungkinan akan juga menjalin relasi yang baik dengan sanak saudaranya. Namun, jika hal semacam itu tidak pernah diteladankan atau diajarkan kepada anak-anak, jangan harap mereka akan mau berelasi dan menjaga ikatan kekeluargaan atau persaudaraan dengan baik pada masa mendatang.

Tapi, bagaimana cara untuk bisa mulai menjalin relasi baik dengan saudara, keluarga, dan kerabat?

Pertama, jangan bersikap basa-basi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun