Dunia kita melihat bahwa produktif berarti hidup bekerja keras, menghasilkan output, memiliki banyak (uang), dan memiliki hidup yang sukses.Â
Sebaliknya, secara umum, orang memandang bahwa hidup yang tidak produktif itu adalah hidup yang kurang banyak bekerja dan menghasilkan, dan kurang lebih berakhir pada ketidaksuksesan.
Benarkah?
Ya dan tidak.
Ya, bahwa hidup yang produktif bisa ditandai dengan hidup yang bekerja dan menghasilkan. Bahwa sebagai makhluk ciptaan yang serupa dan segambar dengan Allah, kita menjadi ciptaan yang juga dipanggil untuk berkarya dan berkreasi, sebagaimana Allah juga menciptakan dan bekerja.Â
Namun, berbeda dengan pandangan dunia secara umum, orang percaya menyadari bahwa menjadi produktif bukan berarti bekerja sebanyak-banyaknya. Hidup yang produktif juga bukan bertujuan untuk menghasilkan uang, materi, atau demi kepentingan diri sendiri semata.
Lalu, apa definisi hidup yang produktif itu?
Hidup yang produktif dalam iman yang saya yakini bukan berarti bekerja sekeras-kerasnya dan sebanyak-banyaknya jika pada akhirnya itu berarti hanya untuk kepentingan diri sendiri, sekadar menghasilkan materi, atau demi prestasi diri.
Hidup yang produktif juga bukan hidup yang sibuk dan tidak terlihat berdiam diri. Sebab, dalam diam dan tidak terlihat melakukan apa-apa pun, kita bisa menjadi produktif,
Hidup yang produktif adalah hidup yang berguna bagi Allah dan menjadi berkat. Bekerja keras dan menghasilkan banyak output hanya akan menjadi produktif dalam kaca mata iman, jika itu menyentuh kedua esensi di atas.
Produktif, karena itu, tidak berkaitan sama sekali dengan pemenuhan kepentingan dan tujuan diri sendiri. Sebab, menjadi produktif berarti bertujuan untuk memuliakan Allah, di mana dalam proses atau hasilnya kita menjadi berkat bagi yang lain.
Dengan definisi ini, kita bisa mengubah mindset dan pandangan yang selama ini mungkin kurang tepat tentang produktivitas. Banyak orang atau kegiatan yang selama ini kita anggap tidak produktif, sesungguhnya sangat produktif. Mereka mungkin tidak tampak menghasilkan barang, usaha, atau jasa tertentu yang dianggap sebagai output produktif paten oleh dunia.Â
Namun, di balik itu, sesungguhnya merekalah yang mungkin selama ini "bekerja" dan berupaya keras untuk mengusahakan kesejahteraan dalam keluarga, kota, masyarakat, bangsa, dan negara kita, bahkan dunia.
Sebagai contoh, para ibu rumah tangga. Karena mereka tidak bekerja sebagai wanita karir, bukan berarti mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak produktif. Apa yang mereka lakukan tiap hari dalam mendidik dan mengasuh anak serta mengusahakan kesejahteraan keluarga adalah sangat berarti dan berharga.
Lalu, orang tua dan lansia. Meski mereka sudah pensiun dan berumur, tetapi apa yang mereka lakukan untuk mendukung keluarga, menjaga cucu, mendoakan, dan mungkin melayani di gereja dan masyarakat dalam berbagai bentuk, adalah satu manfaat yang dapat kita semua rasakan, secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai anggota keluarga, gereja, maupun masyarakat.
Yang lebih salah kaprah lagi ketika kita mulai menggolongkan beberapa pihak sebagai tidak produktif jika mereka tidak menghasilkan (banyak) uang/materi sebagai output dari apa yang mereka kerjakan.Â
Ada banyak orang yang melakukan kerja sosial, pelayanan, serta kegiatan-kegiatan yang tidak menghasilkan uang sama sekali, misalnya: relawan-relawan NGO/LSM, relawan-relawan masyarakat dalam berbagai konteks dan situasi, aktivis dan pelayan gereja, relawan pengajar di daerah terpencil, penggerak PKK, posyandu, karang taruna, kelompok seni/budaya lokal, atau para pekerja sosial masyarakat,
Apa yang mereka perbuat dan lakukan bisa jadi malah lebih produktif dan berharga karena menghasilkan kebaikan bagi orang atau pihak lain, meski mungkin bukan keuntungan kepada mereka secara pribadi.Â
Lebih jauh lagi, kegiatan yang sepertinya dilakukan dalam diam, seperti doa, adalah hal yang sesungguhnya sangat produktif dan berkuasa untuk mengubah banyak hal dan situasi. Namun, untuk hal terakhir yang disebutkan ini kemungkinan besar hanya dapat diamini dan diimani oleh mereka yang memiliki spiritualitas dan kehidupan rohani yang matang.
Nah, kembali pada judul tulisan ini. Apakah hidup yang produktif itu adalah hidup yang sukses?
Ya dan tidak.
Ya, jika sukses itu dilihat sebagai suatu kehidupan yang tunduk dan taat kepada Tuhan serta menjadi berkat bagi sesama, dalam wujud dan hasil apa pun.
Sebaliknya, mungkin tidak, jika ukuran sukses hanya dipandang semata sebagai output fisik dan materi, popularitas, dan kerja fisik atau otak yang terlihat. Sebanyak apa pun kerja atau hasil yang diperoleh, tetapi jika itu hanya berguna bagi diri sendiri, itu tidak lain hanya semacam upaya bertahan hidup atau mencari pengaruh, pengakuan, dan kekuasaan.
Karena itu, mari jangan anggap remeh orang tua atau mereka yang lemah tidak berdaya karena kondisi atau keterbatasan fisiknya. Mungkin saja, dalam keterbatasannya, mereka menghabiskan setiap hari dan waktunya untuk berdoa. Tanpa kita sadari, sesungguhnya doa-doa merekalah yang menopang kesejahteraan dan keselamatan keluarga, komunitas, dan masyarakat kita.Â
Dalam pandangan Allah, saya percaya, mereka-mereka ini jauh lebih produktif dari kita yang setiap hari sibuk-sibuk melakukan ini itu dan tampak menghasilkan di sana sini, tetapi ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Mari memiliki hidup yang produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H