Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Karya Baik Tuhan di Tengah Pandemi Covid-19

20 Mei 2020   10:36 Diperbarui: 14 Juni 2021   17:16 3328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: Megafon (Unsplash, Amanda Lins)

"Pada sisi lain, di balik kerugian-kerugian yang terjadi akibat pandemi Covid-19, ada banyak kesempatan dan kebaikan yang muncul dari tengah-tengah itu. "

C.S. Lewis, dalam tulisannya yang berjudul "The Problem of Pain" menuliskan kata-kata berikut, "God whispers to us in our pleasures, speaks in our conscience, but shouts in our pain: it is His megaphone to rouse a deaf world." 

(Allah berbisik kepada kita dalam kesenangan kita, berbicara dalam hati nurani kita, tetapi berteriak dalam rasa sakit kita: itu merupakan megafon-Nya untuk membangunkan dunia yang tuli).

Melalui tulisan itu, Lewis, seorang sastrawan, teolog, sekaligus apologis Kristen ternama, menyatakan pendapatnya bahwa kejahatan dan sakit penyakit atau penderitaan bukanlah alasan yang cukup untuk menolak Allah yang baik dan berkuasa.

 Manusia yang terbatas, tak akan pernah mampu menyelami hikmat dan pandangan Allah yang Mahakuasa melalui pandangannya yang sempit dalam memandang segala sesuatu. 

Baca juga : Ceriakan Anak-Anak di Masa Pandemi Covid-19 dengan Kegiatan Belajar dan Lomba Mewarnai

Dalam hikmat dan kedaulatan-Nya yang kekal, Allah dapat mendatangkan kebaikan, bahkan melalui kejahatan dan penderitaan.

Hal yang sama dapat kita terapkan dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini. Ada banyak orang mempertanyakan keberadaan Tuhan, atau paling tidak mempertanyakan alasan mengapa Ia mengizinkan pandemi ini terjadi. 

Jika Allah baik, mengapa Ia membiarkan penderitaan terjadi? Jika Ia memang berkuasa, mengapa virus sekecil itu dapat membawa dampak yang begitu besar kepada dunia ini?

Ada banyak lagi hal yang dapat mengguncangkan iman percaya kita, terlebih jika kita hanya "mampu" melihat apa yang tampak di permukaan. 

Tak dapat disangkal, terjadi banyak krisis, kehilangan, penderitaan, dan keputusasaan sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Satu krisis menuntun kepada krisis yang lain. 

Tidak hanya dalam segi kesehatan, pandemi ini juga membawa kesuraman dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, bahkan HAM.

Ada kecenderungan terjadinya peningkatan angka kriminalitas dan kekerasan selama dan sebagai akibat dari lockdown atau PSBB. 

Baca juga : Upaya Tenaga Pendidik di Tengah Pandemi Covid-19

Belum lagi, ada banyak keluarga yang terancam mengalami perpecahan sebagai akibat dari krisis keuangan, mental, atau relasi yang terjadi karena pandemi global ini. 

Negara-negara maju sekelas Eropa, Amerika, Jepang bahkan tak luput dari kecemasan akan terjadinya resesi ekonomi besar seiring tidak adanya kepastian kapan wabah ini akan berakhir.

Semua terkena dampak mengerikan akibat materi RNA bernama virus Corona. Dan, dengan menggunakan rasio, rasanya tak heran bila banyak orang mulai mempertanyakan Tuhan di tengah-tengah situasi saat ini.

Namun, di sisi lain, ketika kita meragukan Allah dan kuasa-Nya, dapat dipertanyakan pula seberapa besar kita sebagai orang percaya mengenal Allah sebagai pribadi yang kita sembah. 

Keraguan atau bahkan penghakiman kita kepada Allah justru memperlihatkan kekerdilan iman dan pengenalan kita akan Allah. Benarkah kita, dengan demikian, sudah sungguh mengenal Allah atau beriman kepada-Nya?

Mengeluh, takut, atau bersikap pasrah juga bukan sikap yang tepat jika kita adalah orang beriman yang dewasa. Jika saja kita peka dan mampu melihat segala sesuatu dari kaca mata iman yang benar, kita sesungguhnya dapat melihat bahwa melalui pandemi ini Allah juga berkarya dan melakukan hal-hal yang baik, meski kita belum atau tidak dapat melihatnya.

Meminjam kata-kata Lewis, Covid-19 sesungguhnya adalah megafon Allah untuk mengguncangkan kita dari tidur atau ketidaksadaran. 

Pandemi ini mengguncangkan kita dari zona nyaman yang sering membuat kita sulit bertumbuh. Virus ini juga telah meruntuhkan segala berhala dari dalam diri kita. 

Baca juga : Kemunculan Isu Sosial di Indonesia Akibat Pandemi Covid-19

Kesehatan, uang, pekerjaan, karir, hobi, keluarga, sudut pandang, kemapanan, kepandaian, bahkan diri sendiri menjadi sesuatu yang tak dapat kita andalkan saat ini. Jargon "I'm the captain of my soul!" hilang digdayanya.

 Kesombongan semacam ini ternyata harus diruntuhkan oleh materi sekecil virus Corona. Hanya Allah, penguasa tunggal sekaligus pribadi yang patut menjadi sandaran dalam kehidupan ini.

Pada sisi lain, di balik kerugian-kerugian yang terjadi akibat pandemi Covid-19, ada banyak kesempatan dan kebaikan yang muncul dari tengah-tengah itu. 

Dari berbagai berita atau seminar zoom yang saya ikuti, satu fakta yang dapat kita temukan ternyata berdonasi menjadi salah satu aktivitas daring tertinggi di samping kegiatan belanja, belajar, atau mencari informasi. Situasi sulit ini ternyata menggugah kepedulian dan rasa belas kasih kepada banyak orang.

Lalu, sebagai akibat dari SFH, WFH, atau lockdown, ada banyak kegiatan pembelajaran, diskusi, talk show, bahkan seminar yang dilakukan secara daring oleh berbagai pihak, dan secara gratis. 

Ini tentu satu fenomena yang tidak terjadi pada masa old normal sebelum pandemi berlangsung. Melalui berbagai kegiatan tersebut, kita jadi banyak belajar dan tahu, tanpa harus bersusah payah keluar rumah atau mengeluarkan biaya dengan harga mahal. 

Pandemi Covid-19 membuka kesempatan lebar bagi kita untuk kembali "bersekolah" dan mendapat banyak pengetahuan atau keterampilan.

New normal atau kelumrahan baru. Sebagai salah satu mekanisme bertahan untuk menghadapi perubahan kehidupan yang harus terjadi dengan adanya pandemi, kita dipaksa untuk melakukan hal-hal yang sebelumya tidak biasa kita lakukan, seperti mengenakan masker, mencuci tangan dengan sering atau menggunakan hand sanitizer.

Tidak melakukan kegiatan berkumpul dalam jumlah massa besar, belajar dan bekerja dari rumah dan secara daring, meningkatkan penggunaan jasa layanan pengantaran dan pembiayaan daring, webinars, meeting atau rapat bersama dengan mengunakan aplikasi khusus, atau tidak keluar rumah jika tidak perlu, yang berarti menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga di rumah.

Fenomena yang disebut situasi new normal atau normal baru ini memberi kita kesempatan untuk mengubah pola pikir, gaya hidup, serta kebiasaan, yang mungkin akan menjadi kebiasaan yang baik bagi masa depan. 

Meski hal normal baru ini mungkin tidak akan berlangsung selamanya, tetapi kita dapat mengakui bahwa ada banyak manfaat yang kita peroleh dari sana, dan dapat kita teruskan sebagai gaya hidup yang baru ke depan.

Di bidang teknologi, Covid-19 ini memaksa kita untuk hidup dan terbiasa dalam peradaban IOT (Internet of Things) dan era industri 4.0. Siap tidak siap, mau tidak mau, realita ini harus dijalani saat ini dan ke depan. 

Siapa yang tidak mau melangkah atau berjalan dengan cara ini, silakan tertinggal atau ditinggal. 

Tanpa pandemi, kita mungkin akan terus nyaman menggunakan cara-cara lama, yang justru membuat kita sulit untuk maju dan berkembang dalam hal penguasaan dan pemanfaatan teknologi.

Memang, masih ada banyak ketimpangan dan ketertinggalan dari anak bangsa sebagai akibat dari kurangnya sarana prasarana, infrastruktur, bahkan kemampuan ekonomi untuk dapat mengakses kemajuan informasi dan teknologi ini. 

Namun, tanpa dipaksa oleh keadaan pandemi ini, kita bisa bayangkan, betapa jauh lagi kita akan menjadi ketinggalan dalam segi penguasaan teknologi.

Situasi lockdown atau PSBB juga membuat banyak orang jarang menggunakan kendaraan bermotor atau mengoperasikan pabrik dan industri. Hal ini berdampak baik pada lingkungan hidup karena terjadi penurunan tingkat emisi Co2 dan polutan lain. 

Langit menjadi lebih cerah, pemandangan menjadi lebih baik, dan udara menjadi lebih segar untuk dihirup oleh banyak masyarakat dunia belakangan ini. Pengurangan pemakaian bahan bakar juga membuat kita menjadi lebih hemat energi. 

Mungkin ini hanya akan terjadi sementara, tetapi tetap tak bisa dipungkiri menjadi salah satu anugerah yang patut kita syukuri.

Seperti sudah saya singgung dalam tulisan sebelum ini, situasi pandemi ini juga memaksa gereja-gereja untuk berpikir ulang dan merombak cara-cara pelayanan serta penjangkauannya. 

Sudah saatnya gereja memandang teknologi sebagai alat yang bermanfaat dalam melayani Tuhan dan sesama. Bukan sebagai musuh yang harus dijauhi, gereja harus melihat teknologi dan platform digital sebagai ladang baru untuk bermisi yang siap digarap dan dituai. 

Tanpa memiliki pandangan atau visi semacam ini, gereja akan tumpul dan tidak relevan dalam menjawab tantangan zaman.

Masih ada banyak hal baik yang terjadi sebagai akibat pandemi ini, yang mesti dapat kita syukuri di balik segala kerugiannya. 

Meski keprihatinan dan kepekaan untuk mendukung mereka yang membutuhkan harus terus mengemuka dalam kehidupan kita saat ini, tetapi hendaknya pandangan kita tidak menjadi buta untuk dapat melihat karya Allah melalui situasi yang terjadi.

Tuhan baik. Di dalam ketidakmengertian kita, kita bisa percaya bahwa Ia senantiasa berkarya untuk mendatangkan kebaikan dan pertumbuhan, bahkan di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan akibat pandemi Covid-19.

Mari terus optimis dan bersyukur dalam menghadapi Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun