Mohon tunggu...
Oktaviani NS
Oktaviani NS Mohon Tunggu... Freelancer - Free human being

Still learning and will never stop. Kindly check https://gwp.id/story/121331/tentang-luka for more.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Standar Ganda yang Tak Asing di Indonesia

6 Agustus 2020   22:28 Diperbarui: 6 Agustus 2020   22:38 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Standar atau tolak ukur yang dibangun oleh masyarakat di lingkungan sosial dengan pola pikir yang berbeda menimbulkan banyak pertentangan antar kepala. Standar ganda pada kecendurangan gender kerapkali menjadi tolak ukur yang utama.

Laki-laki berbadan 'kotak-kotak' yang bertelanjang dada dan berwajah tampan, dapat dimaklumi, toh ada nilai 'jual'. Kalau berwajah di bawah standar, siap-siap dihujat habis.

Sedangkan, bila perempuan memakai baju sedikit terbuka dan berhias dianggap 'memancing', tapi bila tertutup dianggap sok alim, berlebihan, atau memaksa.

Dikutip dari Keith Thomas (1959) awal mula standar ganda yang berakar di Inggris selama beberapa abad menunjukkan bahwa hukum dan konstitusi mengamini hubungan seksual bagi laki-laki sebelum menikah ataupun di luar pernikahan, sedangkan perempuan tidak boleh memiliki hubungan di luar pernikahan. Hal ini tentu menimbulkan ketidakadilan standar yang dimiliki gender berbeda ini.

Semakin berkembangnya teknologi digital di mana orang dari berbagai wilayah dengan budaya yang berbeda bisa saling bertukar pendapat, menambah banyak daftar standar yang harus disetujui. Tidak hanya berhenti di kecenderungan gender, tapi pekerjaan, kemolekan, dan cara berpakaian juga tidak luput ikut masuk ke daftar standar.

Selain kecenderungan gender, kasus standar ganda yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah masalah warna kulit. Warna kulit di Indonesia sangat beragam, dari kuning langsat, putih 'susu', putih pucat, sawo matang, sampai cokelat. Hal ini tentu tidak terlepas dari letak geografis Indonesia yang memang sangat berbeda dari provinsi satu dengan yang lain.

Sayangnya, keberagaman yang ada bukan dijadikan sebagai harta kekayaan, melainkan cemoohan yang sering ditemukan.

Tak mungkin dilupa kasus yang baru-baru ini merebak di antara kalangan mahasiswa. Mantan BEM dari bagian barat Indonesia yang pada September 2019 lalu paling depan menyuarakan pendapatnya dapat diterima dengan baik, bahkan sampai diundang ke televisi dan istana.

Sedangkan, BEM dari bagian timur Indonesia yang menentang rasisme malah dituduh melakukan makar dengan ancaman 10 tahun  penjara. Walaupun akhirnya tuntutan tidak dikabulkan, tapi mereka tetap harus menjalani hukuman 10-11 bulan di dalam sel.

Selain standar warna kulit, kemolekan atau beauty privilege yang menjadi tolak ukur utama membuat ketimpangan semakin nyata.

Dalam kasus lain, seseorang yang memenuhi standar kemolekan di Indonesia, baik laki-laki atau perempuan, jika memakai baju dengan warna atau model apapun akan dianggap 'bagus', atau jika saat melakukan suatu hal yang dianggap tidak wajar akan selalu mendapat pembelaan, "Untung cakep."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun