Pada masa awal-awal menjadi seorang pendidik, saya belajar suatu hal penting dari seorang anak. Bahkan, ia terus menginspirasi saya hingga sekarang. Kita sebut saja anak ini bernama Midi.
Semenjak kedatangannya ke sekolah kami, Midi sudah menjadi buah bibir. Kabar yang diterima membuat kami terheran-heran. Kok ada yah anak yang tak mau berbicara sama ortunya hingga berbulan-bulan lamanya, menutup diri di kamarnya, tak pernah olahraga, tak terurus tubuh gempalnya hingga kuku kakinya menjuntai panjang tak pernah dipotong. Midi memutuskan sudah tidak mau bersekolah lagi. Ia juga tidak mau berinteraksi dengan teman sebayanya. Dan, komputerlah teman aktivitas kesehariannya.
Mengapa Midi bisa menjadi seperti ini? Inilah pelajaran yang saya peroleh : Midi adalah korban bullying atau penindasan di sekolahnya dahulu. Midi ditindas oleh kawan-kawannya. Perlu diketahui bahwa Midi adalah seorang anak yang masuk skala kategori jenius dalam uji psikotesnya. Hingga suatu waktu terus merosot tajam kemampuan akademis dan mentalnya, hingga kemudian memutuskan untuk tidak mau kembali ke sekolah.
Mari kita cermati bersama fenomena bullying ini lebih jauh.
Sebuah studi yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 lalu melaporkan fakta mencengangkan terkait bullying di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami bullying di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni sebesar 70%.
Selain itu, (kita masih harus mengelus dada) data dari Badan PBB untuk Anak (UNICEF) melaporkan studinya bahwa 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami bullying. Dari data ini menunjukkan bullying di Indonesia lebih sering dialami oleh anak perempuan.
Bullying atau penindasan adalah bentuk dari perilaku agresif dengan kekuatan dominan pada perilaku yang dilakukan dengan tujuan mengganggu anak lain atau korban yang lebih lemah darinya. Victorian Departement of Education and Early Childhood Development mendefinisikan bullying terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psikologis, mengancam properti, reputasi atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang dan terus-menerus.
Pada dasarnya bullying melibatkan tiga pihak: penindas, korban, dan penonton. Penindas dan korban memiliki posisi yang amat jelas; yang satu merasa ‘senang dan puas’, yang lainnya merasa sedih dan terhina. Nah, yang galau itu para penonton. Dan nyatanya sebagian besar anak atau remaja adalah penonton. Mungkin termasuk anak-anak kita.
Sebagai orang tua dan pendidik, rasanya tidak bijak bila kita ikut mengecam ketakutan dan sikap diam mereka. Karena sesungguhnya ketakutan dan sikap diam tersebut adalah normal. Jadi, sebelum mereka kita didik menjadi pemberani untuk menentang segala penindasan, ajaklah mereka untuk tidak sekedar menjadi penonton. Banyak hal yang dapat mereka lakukan apabila mereka kembali melihat berbagai bentuk penindasan.
Pertama, katakan kepada mereka; jika kamu belum berani untuk membela kawanmu, jangan ikut menonton atau bahkan menertawakan. Bullying bukanlah tontonan. Para penindas itu sesungguhnya ingin mencuri perhatian, maka jangan kamu kasih perhatian dengan menontonnya.
Coba belajar untuk mengalihkan perhatian saat ada kawanmu yang sedang ditindas. Kamu bisa tiba-tiba mengatakan di depan si penindas: “Eh itu Pak Guru sudah datang, yuk masuk kelas!” Atau kamu bisa ajak anak yang tertindas untuk menemanimu ke kantin. Tarik tangannya dan katakan, “Yuk temani aku jajan!” Tujuannya agar tindakan penindasan tidak mendapat perhatian.
Jangan pernah berpikir untuk membalas dendam. Karena kamu nanti akan berubah menjadi penindas.
Saran di atas adalah cara yang cukup efisien ketika anak-anak kita masih bimbang dalam melawan penindasan.
Ketika penindasan masih terus berlangsung di depan mata, ajarkan mereka untuk melapor kepada guru untuk mendapatkan pertolongan. Beri pengertian kepada mereka bedanya mengadu dan melapor. Sebab anak-anak biasanya tidak suka disebut sebagai tukang ngadu. Mengadu pada dasarnya hanya berfokus pada pelaku/penindas agar jera karena mendapat hukuman. Sedangkan melapor bertujuan agar peristiwa penindasan tidak terjadi lagi dan si tertindas tertolong. Sehingga dengan ini anak kita tidak bimbang dengan si penindas, tapi juga ingin menolong.
Kadang yang saya lihat, kebanyakan kita sebagai orang tua mendorong anaknya untuk sekedar berani tanpa mempedulikan perasaan anak sesungguhnya. Kalau ada yang menindas kamu di sekolah, kamu harus lawan yah, jangan takut. Pokoknya harus berani! Jangan cengeng. Di saat anak-anak kita sedang memupuk keberaniannya untuk berpihak kepada kebenaran, yang mereka perlukan adalah dukungan dari kita sebagai orang tuanya. Nasihat dan teladan yang baik. Jika kita malah mendesaknya untuk menunjukkan keberaniaannya, memaksa mereka untuk melawan, mencela dan meremehkan ketika mereka menunjukkan ketakutannya, sadarlah bahwa kita telah memosisikan diri menjadi orang tua penindas bagi anak-anak kita di rumah.
Catatan akhir. Midi sekarang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Psikologi di Unpad, terakhir kabar yang saya dengar ia beberapa kali diundang untuk mempresentasikan paper penelitinya di luar negeri bersama dosennya.
Terima kasih telah membaca dan berbagi :)
Note : silahkan bagi Anda yang ingin menambahkan kiat-kiatnya dipersilahkan :) agar lebih banyak anak yang berani melawan tindakan bullying.
Maaf bila ada khilaf. Terima kasih banyak
(data yang tercantum dan kajian keilmuan diolah dari berbagai sumber)